Baru-baru
ini saya mengikuti konferensi pers di Fakultas Kedokteran Univeritas
Gadjah Mada. Mereka memprotes Rancangan Undang-Undang Pengendalian
Produk Tembakau (RUU PTT) yang berseberangan dengan pemikiran UGM.
Keberatan umum yang disampaikan adalah tidak ada pasal yang menyebutkan
komponen dampak penggunaan produk tembakau terhadap kesehatan yang
jelas. Contohnya, penghilangan gambar dampak konsumsi tembakau
dibungkus rokok yang menurut UGM justru mudah dipahami oleh perokok
aktif berpendidikan rendah.
Setidaknya ada 5 keberatan yang disampaikan UGM soal RUU itu. Adapun pihak pembuat RUU sandingan, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM balas menjawab keberatan itu kira-kira begini,” “Justru draft ini menyeimbangkan dari hulu ke hilir, bukan hanya dampak kesehatan saja, petani kan juga harus dipikirkan.”
Dua alasan yang dikemukan keduanya sama-sama punya argumen yang kuat. Pendapat UGM tentu saya sangat setuju karena punya niat baik menyadarkan perokok untuk berhenti. Terlebih melindungi perokok pasif seperti saya. Tetapi karena saya juga punya rasa kemanusiaan terhadap petani tembakau dan jutaan orang yang bergantung dari pekerjaan mereka di pabrik rokok, maka pendapat PUSDEK UGM juga perlu diapresiasi.
Saya akan kembali ke dalam kehidupan sehari-hari. Jujur, saya tidak tahu apakah ada atau tidaknya undang-undang itu akan membuat para perokok itu “biadab”. Mengapa begitu? Datanglah ke tempat-tempat public seperti terminal bus, stasiun kereta api, bandara, angkutan umum. Kita akan dengan mudah menyaksikan para perokok plempas plempus, nyaris tidak berperasaan tanpa mempedulikan lingkungan sekitar.
Beberapa kali saya kerap memberitahu yang bersangkutan agar tak merokok, eh yang ditegur malah marah . Golongan tak berperasaan di sini bukan mereka yang tak berpendidikan saja. Mereka yang masuk kategori kaum intelektual juga melakukan hal ini. Ruang rapat gedung DPR, di kantor pemerintah, tempat nongkrong para wartawan.
Ada perokok yang sungguh saya benci karena tega melakukan ini. Pertama perokok naik mobil dan membuang punting rokoknya begitu saja di tengah jalan. Kedua, naik motor sambil merokok. Ada alasan mendasar saya mengapa benci dengan perokok tak biadab ini. Mereka sadar nggak ya, kalau abu rokok yang berapi itu bisa mengenai mata orang di belakangnya. Pernah nggak mereka terpikir jika suatu saat akibat perbuatan mereka, korban yang ada di belakangnya jadi buta, misalnya. Atau bisa juga ketika mata mereka kelilipan, motor yang dikendarai hilang keseimbangan dan terjadilah tabrakan, lalu si korban mati. Siapa tahu? Sudahkah mereka berpikir sejauh itu bahwa tindakan mereka yang menjadi “kebiasaan” itu telah merugikan pihak lain?
Saya sendiri pernah menjadi korban perokok sialan yang naik motor. Mata saya merah kena abunya, dan tidak bekerja sampai mata saya sembuh. Bagaimana orang yang merokok naik motor tadi? Jelas dia tidak tahu menjadi penyebab “ketidakwarasannya” merokok yang sungguh tak biadab. Kedua, beberapa waktu lalu, saya rontgen paru-paru karena mengeluh dada saya sesak. Dokter menanyakan pada saya, apakah saya merokok. Tentu saja saya jawab “tidak”. Ternyata hasil rontgen memperlihatkan ada bercak-bercak dan paru-paru saya tidak bersih. Dokter pun menanyakan apakah lingkungan pekerjaan saya perokok. Gotcha. Saya jadi korban perokok yang sungguh tak “Biadab” ini. Saya bukan orang satu-satunya. Teman satu kos saya juga bernasib seperti saya. Dia lebih parah lagi. Harus membeli obat yang mahal dan disarankan tidak masuk kantor beberapa minggu untukrecovery.
Boleh-boleh saja, sih, merokok, apalagi dengan dalih hak asasi manusia, siapapun berhak merokok. Merokok memang hak, tapi mbok yang waras, dong! Sebagai perokok pasif, saya mohon, merokoklah pada tempat tertutup. Bila perlu cuma kalian sendiri saja yang menikmatinya. Bukankah merokok hanya untuk kenikmatan bibir belaka. Jadi beronanilah dengan bibir kalian sendiri. Jangan mengajak korban yang tidak tahu apa-apa karena asap yang telah kalian hempaskan.
Semoga perokok di manapun berada “waras” dan biadab.
Yogyakarta, 10 November 2011
Setidaknya ada 5 keberatan yang disampaikan UGM soal RUU itu. Adapun pihak pembuat RUU sandingan, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM balas menjawab keberatan itu kira-kira begini,” “Justru draft ini menyeimbangkan dari hulu ke hilir, bukan hanya dampak kesehatan saja, petani kan juga harus dipikirkan.”
Dua alasan yang dikemukan keduanya sama-sama punya argumen yang kuat. Pendapat UGM tentu saya sangat setuju karena punya niat baik menyadarkan perokok untuk berhenti. Terlebih melindungi perokok pasif seperti saya. Tetapi karena saya juga punya rasa kemanusiaan terhadap petani tembakau dan jutaan orang yang bergantung dari pekerjaan mereka di pabrik rokok, maka pendapat PUSDEK UGM juga perlu diapresiasi.
Saya akan kembali ke dalam kehidupan sehari-hari. Jujur, saya tidak tahu apakah ada atau tidaknya undang-undang itu akan membuat para perokok itu “biadab”. Mengapa begitu? Datanglah ke tempat-tempat public seperti terminal bus, stasiun kereta api, bandara, angkutan umum. Kita akan dengan mudah menyaksikan para perokok plempas plempus, nyaris tidak berperasaan tanpa mempedulikan lingkungan sekitar.
Beberapa kali saya kerap memberitahu yang bersangkutan agar tak merokok, eh yang ditegur malah marah . Golongan tak berperasaan di sini bukan mereka yang tak berpendidikan saja. Mereka yang masuk kategori kaum intelektual juga melakukan hal ini. Ruang rapat gedung DPR, di kantor pemerintah, tempat nongkrong para wartawan.
Ada perokok yang sungguh saya benci karena tega melakukan ini. Pertama perokok naik mobil dan membuang punting rokoknya begitu saja di tengah jalan. Kedua, naik motor sambil merokok. Ada alasan mendasar saya mengapa benci dengan perokok tak biadab ini. Mereka sadar nggak ya, kalau abu rokok yang berapi itu bisa mengenai mata orang di belakangnya. Pernah nggak mereka terpikir jika suatu saat akibat perbuatan mereka, korban yang ada di belakangnya jadi buta, misalnya. Atau bisa juga ketika mata mereka kelilipan, motor yang dikendarai hilang keseimbangan dan terjadilah tabrakan, lalu si korban mati. Siapa tahu? Sudahkah mereka berpikir sejauh itu bahwa tindakan mereka yang menjadi “kebiasaan” itu telah merugikan pihak lain?
Saya sendiri pernah menjadi korban perokok sialan yang naik motor. Mata saya merah kena abunya, dan tidak bekerja sampai mata saya sembuh. Bagaimana orang yang merokok naik motor tadi? Jelas dia tidak tahu menjadi penyebab “ketidakwarasannya” merokok yang sungguh tak biadab. Kedua, beberapa waktu lalu, saya rontgen paru-paru karena mengeluh dada saya sesak. Dokter menanyakan pada saya, apakah saya merokok. Tentu saja saya jawab “tidak”. Ternyata hasil rontgen memperlihatkan ada bercak-bercak dan paru-paru saya tidak bersih. Dokter pun menanyakan apakah lingkungan pekerjaan saya perokok. Gotcha. Saya jadi korban perokok yang sungguh tak “Biadab” ini. Saya bukan orang satu-satunya. Teman satu kos saya juga bernasib seperti saya. Dia lebih parah lagi. Harus membeli obat yang mahal dan disarankan tidak masuk kantor beberapa minggu untukrecovery.
Boleh-boleh saja, sih, merokok, apalagi dengan dalih hak asasi manusia, siapapun berhak merokok. Merokok memang hak, tapi mbok yang waras, dong! Sebagai perokok pasif, saya mohon, merokoklah pada tempat tertutup. Bila perlu cuma kalian sendiri saja yang menikmatinya. Bukankah merokok hanya untuk kenikmatan bibir belaka. Jadi beronanilah dengan bibir kalian sendiri. Jangan mengajak korban yang tidak tahu apa-apa karena asap yang telah kalian hempaskan.
Semoga perokok di manapun berada “waras” dan biadab.
Yogyakarta, 10 November 2011
No comments:
Post a Comment