Masihkah Kalian Punya Sensasi Yang Belum Terwujud?
Saya
punya. Mungkin buat orang lain bukan sensasi, tetapi buat saya ‘iya’.
Memang sih sensasi saya norak. Tapi namanya juga angan-angan, nggak
ada salahnya kan? Siapa tahu mewujud . Pertanyaan itu diajukan oleh
salah satu kawan ketika kami “nyangkruk “ bertahun lalu. Sembari
menyeruput coklat, minuman kegemaran saya, kami menghabiskan cerita
sensasi ini sampai berbusa-busa.
Tadi malam, obrolan
sensasi juga terjadi kala saya dan seorang kawan menyeruput coklat.
Kali ini saya yang memulainya. Tak jelas bagaimana awalnya, tahu-tahu
obrolan sensasi menghangat. Terbersitlah ide menuliskannya dlam note.
Nggak penting, mungkin.
Tapi akhir-akhir ini saya mesti
banyak menulis guna menciptakan atmosfir menulis setelah saya padamkan
selama empat bulan. Apa alasannya, tidak penting untuk diceritakan.
Terlebih kawan saya menagih tulisan ini pagi tadi. Wah saya memang
perlu diingatkan, biar nggak “nggambleh”. Jadi mari kita bahas sensasi
impian saya.
“Saya ingin berciuman dengan orang yang saya
cintai di lift yang angka lantainya lebih dari 25,” kata saya kepada
dia. Saya berhenti sejenak, menyeruput cuklat bertabur keju di depan
saya. Hemmm nikmatnya. Mata teman saya terbeliak. “Hah? Nggak biasa
ini?,” katanya. “Ya namanya juga sensasi, pasti agak anehlah,” jawab
saya buru-buru. “Sensasinya dimana?,” tanyanya lagi. “Berciuman di lift
yang punya lantai di atas angka 25 itu butuh waktu agak lama, lho?.
Setidaknya 10 menit bolak balik. Belum lagi kalau di tiap lantai ada
yang tiba-tiba masuk. Nah deg-degannya itu yang pasti bikin sensasi
tersendiri. Antara menikmati ciuman itu sendiri dan harus berkonsentrasi
jika “ting …ting” tanda ada orang masuk. Gugup pastilah, apalagi kalau
ketahuan orang.
Teman saya manggut-manggut. Ekspresinya
sulit saya ceritakan. Tapi kurang lebih “Wong aneh tenan ki koncoku.”
hihihihi. Memandanginya, saya cuma cengar cengir dan mengulum senyum.
Cerita
tentang gugup itu sendiri, bukan perkara sederhana untuk saya. Gugup ,
buat saya adalah sensasi yang menggetarkan. Coba kalian ingat, kapan
terakhir kali gugup. Gugup yang saya ceritakan bukan karena ketahuan
korupsi lho. Dalam konteks ini, gugup yang sedang saya bincangkan
ketika kita sedang bersuka-suka dengan teman, pacaran baru tetapi
masih malu-malu, ketemu temen baru, atau ya gugup karena tidak ada
alasan. (aih kalau ini nggak mungkin). Pendek kata, getaran kegugupan
itu sendiri, sensasinya juga tak terjemahkan. Bikin gagu, jantung
berdegup lebih kencang, ngomong salah-salah, atau bertindak juga jadi
kacau. Nah, begitulah. “Bikin hidup lebih hidup,” kata sebuah iklan.
Nah,
dalam kitannya mewujudkan sensasi itu, percaya tidak, saya pernah
sampai mengamati dengan detil, gedung mana saja yang memiliki lantai di
atas 25 tingkat. Karena dulu saya tinggal di Jakarta, apalagi kerap
melakukan tugas jurnalistik, saya jadi tahu gedung-gedung mana saja
yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Jam berapa kantor itu padat
pengunjung, jam berapa sela. Benar-benar niat ya?
Tapi
seperti cerita bersambung, kisah impian sensasi ini belum berakhir.
Bisa ditebak bukan? Saya belum pernah melakukannya, meski saya punya
pacar dalam beberapa masa. Ehem.
Sensasi kedua yang
ingin saya lakukan adalah bersama yang tercinta menyaksikan kembang api
di Singapura. Lalu apa sensasinya? Ini sebenarnya kisah yang sempat
saya simpan rapat. Alasannya, sederhana, takut orang punya pikiran yang
tidak-tidak. Tapi sudah saya buang persepsi itu karena tidak ada
yang perlu ditakutkan.
Kejadiannya tahun 2002. Saya
melancong ala backpacker dengan dua sahabat saya Zara dan Siska. Pada
waktu itu, saya hanya memberikan budgjet Rp 3 juta dlam perjalanan ke
ke tiga negara Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selama dua minggu
perjalanan itu, keuangan sudah menipis di Thailand. Dua sahabat saya
memutuskan naik pesawat dari Thailand ke Indonesia. Saya ngotot
tinggal. Alasannya sederhana. Saya ingin membuktikan Rp 3 juta itu bisa
nggak sih keliling ke tiga negara?
Saya naik perjalanan
darat dari Thailand ke Singapura sendirian. Hehehe cukup heroiklah. Satu
malam di bus, bener-bener garing. Dari Singapura perjalanan mestinya
berlanjut ke Batam menuju Jakarta dengan pesawat.
Dasar
naluri petualangan saya, duit tak sampai Rp 500.000 masih ngotot
tinggal semalam di Singapura. Ya…hari itu tanggal 31 Desember, saya
menginjakkan kaki kembali di Singapura. Biar agak keren (norak
betul) saya pingin bertahun baru di Singapura. Aih…rasanya waktu itu
agak keren juga ya kalau pas lagi nongkrong sama teman-teman, ditanya,”
Tahun baru kemana?” Lalu saya jawab “Singapura.” Yeksss… ingat itu
saya jadi malu. Norak norak. Saya pingin mauk ke got kalau ingat
kenorakan itu. hiiii.
Jadi begitulah. Saya memutuskan,
biar badai topan melanda, saya harus bertahun baru di Singapura. Pesta
kembang api-lah yang menjadi magnitnya. Ini karena saya dengar, pesta
kembang api di Singapura keren banget. Kembang api seperti nafas hidup
saya. Saya suka sekali. Kesenangannya sulit dilukiskan.
Nah,
Inilah awal cerita sensasi itu. Di stasiun MRT Jurong (saya agak
lupa) saya melihat bule yang lagi bengong. Tampangnya kelihatan baik.
Saya menyapanya. Dia bilang mau cari motel. Keinginan kami sama.
Dasar sok tahu, saya bilang, saya punya referensi hotel yang biayanya
murah antara lain daerah Tanjung Katong. Ketika kami telepon, hotel
penuh semua. Saya memang konyol, malam tahun baru di negeri yang
menjadi tujuan wisata, belum pesan hotel. Waduh…saya mulai panic.
Atas
rekomendasi dari warga Singapur, kami diminta ke Little India. Di
kawasan itu, menurut cerita mereka, ada banyak pilihan hotel yang
harganya miring. Dan tibalah kami di hotel, ketika petang menjelang.
Begitu tiba di hotel, astaganaga. Saya hampir pingsan. Mahal amat.
Jelek amat. Nggak ada pendingin, puanasnya minta ampun, kumuh. Yang
bikin saya melotot, kok bisa ya kawasan kayak gini bisa jadi jualan
wisatanya Singapura. Halah. Indonesia jauh-jauh lebih asyik dan menarik
deh. Saya sudah mau balik badan, cabut dari tempat itu. Tetapi Tobias,
nama turis Jerman itu, melarang saya. Dia bilang, “Kan cuma untuk tidur
sebentar saja. It’s oke-lah,” katanya.
Dan yaelah
astaganaga. Harga kamarnya waktu itu 35 $ dengan kurs Rp 5500. Sial,
sial, sial. Bener-bener negara seiprit yang nggak yeye banget soal
kemahalannya. Sebagai perbandingan, saya menginap di Thailand dan
Malaysia dengan tarif Rp 125.000 hotel sudah AC dan dapat makan pagi.
Di Hotel Khaosan Road, kami lebih gila lagi, nginep Cuma Rp 20.00
semalam, tetapi jauh lebih manusia ketimbang kamar yang saya masuki di
Singapur. Nggondok buanget.
Tobias sendiri juga terlihat
kaget dengan tarif untuk hotel sejelek itu. Lantaran si backpacker
ini sudah menghabiskan uangnya sebesar Rp 120 juta untuk keliling
dunia, maka kondisi keuangannya juga sudah menipis. Singapura adalah
tujuan terakhirnya ke Asia. Selanjutnya dia akan mengunjungi Australia
dan kembali ke Jerman. Dengan duit yang makin cekak, dia mengatakan
harus mengirit perjalanan.
Tak terduga, yang bikin saya
melotot, dia berujar pada pemilik hotel. “Boleh nggak saya menginap di
atap hotel ini.” Saya terbeliak. Hah edan. Backpacker ya backpacker
sih, tapi saya ndak seedan itu, menginap di atas atap. Hiii. Tapi
saya diam saja. Jelas saja si pemilik hotel tak memperbolehkan. Tobias
garuk-garuk kepala. Hemmm…sedetik kemudian, dia bilang pada saya.
“Hemmm…kamu keberatan tidak kalau kita share sewa kamar? Mata saya
melotot. Mungkin dia menangkap kecemasan saya. Dia bilang, “Kamu akan
baik-baik saja, kita hanya sharing biaya kamar.” Sedetik saya
berpikir. Tapi jujur, matanya terlihat baik, dan bukan tipe yang
aneh-aneh.
Wadeuww….saya tolah toleh…Gugup….nah gugup
memang sensasi yang asyik,kan? Si Tobias bilang, dia akan tidur di
lantai kalau memang tempat tidurnya hanya satu, meskipun harga kamar
dibagi dua. Hihihihi… Akhirnya saya mengangguk setuju. Ternyata,
tempat tidur kami bersusun kayak jaman tanksi perang. Bahannya bukan
kayu, tetapi dari besi. Kalau kejedot kepala, lumayan juga tuh. Dan
saya bener-benr kejedut malam itu. Tobias mengambil tempat tidur di
atas, saya di bawah. Saya yakin aman, karena untuk naik dan turun ke
tempat tidur agak susah.
Rupanya Tobias juga ingin
menyaksikan pesta kembang api. Begitu tiba di hotel, dia mencari
informasi ke Orchard Road. Saya memilih di hotel, mandi, dan istirahat.
Tobias datang 2,5 jam kemudian. Rupanya, dia jalan kaki dari Little
India. (pantesan lama banget sampai hotel). Lokasi pesta kembang api itu
di pinggir laut, Marina Bay. Katanya yang paling ramai dan terbesar
pada perayaan Tahun Baru. Dari little India, Tobias mengajak saya
jalan kaki. Katanya dekat. Tapi ternyata 1,5 jam perjalanan. Gempor
kaki saya. Alamakjan. Jalan sama bule memang doyannya pake kaki.
Dalam
hati saya, jangan sampai pulang jalan kaki lagi. Saya bilang ke dia.
“Naik taksi deh, saya bayar nggak papa pulangnya.” Tobias cuma tertawa
kecil. Dan begitu sampai, lautan manusia sudah memenuhi kawasan Marina
Bay. Untung kami tak terlewat gara-gara jalan kaki itu. Seperti yang
saya tebak, hampir sebagian besar orang berpasangan. Duduk di pinggir
laut, angin cukup kencang bikin saya agak masuk angin. Saking asyiknya
ngobrol, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Dan ledakan api
nan indah itu tibalah….wowww…saya bahkan masih mengingat keindahannya
hingga sekarang.
Pesta kembang api yang agak bikin
bibir saya menganga adalah pesta kembang api di halaman mall Lippo
Karawaci tiap akhir pekan beberapa puluh tahun silam. Tapi alamakjan,
kembang api Singapura benar-benar istimewa. Kembang api itu
diluncurkan dari tengah laut. Langit bersih…dan siiiiiiiuttttttt
duaaarrrr. Bulat bertingkat, ada yang seperti kerucut, ada yang
seperti ekor naga. Saya seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru.
Wow…wow…indah sekali. Seolah-olah sayalah yang menikmatinya sendirian.
Saya bahkan lupa ada Tobias di sebelah saya.
Saya
benar-benar terhipnotis dengan pesta kembang api itu. Tiba-tiba Tobias
berteriak pada saya. “Ini sangat cantik, di negara saya saja, saya belum
pernah menyaksikan yang seindah ini,” katanya. Dalam hati saya
mengatakan. “Wah syukur deh berarti aku nggak terlalu udik, mengagumi
pesta kembang api ini. Dia yang dari negara maju saja terkagum-kagum
hihi.” Tobias tak henti-hentinya memotret ke langit bertaburan
kembang api.
Setengah jam diluncurkan…dan inilah saat
menjelang detik pergantian tahun. “10,9, 8, 7,6,5,4,3,2,1,” teriak
massa. Dan kembang api itu meluncur dari tengah laut seperti rentetan
mesiu jaman perang. Bersaut-sautan. Ledakan-ledakan api yang membentuk
api indah begitu membius saya. Tempik sorak dari lautan manusia
terdengar. Happy new year…. Langit Marina Bay terang benderang oleh api
yang bermacam-macam bentuknya.
Dan ketika dongakan leher
kami terlepas dari langit, segera kami tersadar dengan pemadangan di
sekeliling kami. Kami berdua terkurung di antara pasangan-pasangan
yang saling berlumatan bibir. Hanya beberapa inci dari tempat kami
berdiri. Clap clup clap clup, bercipokan menyambut tahun baru. Mereka
mengepung kami dari depan, tengah, belakang. Saya dan Tobias sama-sama
getir. Kami berdua sama-sama jengah. Tetapi juga nggak bisa apa-apa.
Saya misuh-misuh dalam hati. “Jangkrik, kelamutan kabeh.” Tempat
sudah benar, suasana mendukung, malam kian melankolis, tetapi orang
di sebelah saya, bukan kekasih, hanya orang asing. Ah, sedih betul,
kawan.
Saking gugupnya Tobias dengan pemandangan di
sekitar, dia mengulurkan tangannya ke saya. Tapi lebih mirip kayak
teletabbies itu lho, yang suka bilang “Berpelukan.” Nah, seperti itulah.
Dan saya menyambut pelukan itu. “Bernada, happy new year,” katanya.
Matanya yang baik hati itu terlihat tulus. Lalu dia mencium pipi saya.
Hihihihi..Tahun baru dengan orang asing, dengan kepungan pasangan
berciuman sungguh tak enak, kawan.
Sambil memandang
langit dimana kembang api masih muncrat dengan indahnya, saya berucap
dalam hati. “Suatu saat saya akan ke sini, menikmati kembang api, di
malam tahun baru, berlumatan, jika perlu sampai pagi dengan orang yang
tercinta.” Jadi begitulah…sensasi yang saya impikan itu.
Dan
hem… bisa ditebak yang kedua kalinya. Impian sensasi itu belum
terwujud. Sudah beberapa kali mengunjungi Singapura, tetapi tidak
tahun baru, juga tidak dengan pacar. Aih….
Ending:
Tapi
meski itu pengalaman manis dan getir, setidaknya ada beberapa hal
berharga yang bisa saya bagikan. Satu, laki-laki dan perempuan dalam
satu kamar, tidak selalu harus “begituan” kata anak muda jaman
sekarang. Kedua, tiada taksi, tiada bus malam, apalagi ojeklah yauw
(dalam hati saya bersyukur tinggal di Indonesia punya tukang ojek.
Sumpah). Malam itu, meski kegembiraan saya begitu berwarna seperti
kembang api dan kegetirannya seperti menelan pil pahit, saya tak punya
pilihan lain untuk jalan kaki. Hem…1,5 jam. Lengkap sudah malam
pergantian tahun itu. Ketiga, percaya tidak, meski kami melewatkan
malam tahun bersama, kami sama-sama tak meninggalkan alamat email,
nomer telepon, atau apapun itu. Bahkan nama belakang keluarganya saja
saya tak tahu sampai sekarang. Jam 3 pagi kami sampai hotel, pukul
05.00 saya mengendap-endap keluar dari hotel. Sebelumnya kami sudah
berpamitan. Tobias masih mengantuk. Matanya keriyip-keriyip. Tapi dia
masih turun dari tempat tidur, memeluk saya. “Goodbye,” katanya. Saya
juga menjawab pendek.”Goodbye.”
Yogyakarta, 17 Juli 2011
No comments:
Post a Comment