Pages

Monday, November 28, 2011

Perlukah Seseorang Menggenggam Masa Lalu?

Apa yang Anda lakukan ketika seseorang yang Anda sayangi masih menyimpan foto-foto  perempuan yang pernah dia puja di telepon selulernya? Jawaban saya, kalau masih ada  seseorang yang masih menjalin  hubungan pada lelaki itu, tentulah dia orang yang tak waras.  Tentu saya orang yang waras. Karena itu, betapapun   menyayangi dia,  maka saya akan buru-buru angkat kaki meninggalkan dia, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.  Lebih baik asmara saya ambyar ketimbang  berlama-lama dengan orang yang hatinya mendua. Terlebih lagi, jika  pasangan kita  “tidak sadar’ bahwa  apa yang sudah dilakukannya  telah menyakiti pasangannya. Itu lebih gawat lagi.

 Memang, dibutuhkan  introspeksi  dan refleksi yang mendalam  dari seseorang untuk menyadari bahwa  kita menjadi  penyebab hancurnya sebuah hubungan.  Sayang, hanya sedikit orang yang melakukannya.  Alih-alih menyadari kesalahannya, biasanya  orang yang menghadapi hal demikian justru mengacungkan telunjuknya, menyalahkan orang lain. Nah,  orang yang tak menyadari dirinya dan enggan  berbenah diri biasanya punya mekanisme  menyerang orang lain untuk menutupi  kekurangannya.

Fokus tulisan ini sebenarnya bukan soal hubungan asmara. Tetapi lebih  pada pengalaman berbagi   tentang  masa lalu. Hubungan asmara hanyalah salah satu contoh untuk memudahkan saya  berbagi pengalaman.  Mengapa saya selama  ini survive, setidaknya  tidak pernah mengalami frustasi yang dalam,  atau paling parah mencoba bunuh diri  karena persoalan pekerjaan,  asmara, keluarga?  Jawabannya, karena  saya  tak ingin bersetubuh dengan  masa lalu.  Begitu sudah lewat, saya  cenderung menjalani  hidup ke depan, tanpa menoleh lagi ke belakang.  Rasanya  hidup begitu ringan, nyaris tanpa beban.

Saya punya teman, dia sudah bercerai, dan mati-matian ingin mencari suami  karena alasan ekonomi.  Alih-alih membangun hubungan baru, teman saya ini justru melakukan sesuatu yang menurut saya justru menghambat  relasinya dengan teman-teman prianya.  Dia masih menyimpan benda pemberian mantan suaminya  ketika masa  pacaran dulu, padahal  peristiwanya sudah lewat  20  tahun.  Bisa dipastikan hari-harinya muram, relasinya terhambat,  lantaran menggenggam masa lalu yang sebenarnya tak perlu.

Belakangan  ketika menekuni meditasi dalam dua tahun terakhir, saya baru tahu bahwa apa yang saya lakukan selama ini sudah on the track.  Mengingat-ingat masa lalu  hanyalah  menghambat seseorang  menjadi manusia tercerahkan atau menjadi  manusia bebas.  Dalam meditasi yang saya ikuti, masa lalu merupakan  sampah atau kotoran pikiran.  Ibarat hardisk, jika terus mengisinya dengan file  tanpa  pernah  dikosongkan, maka  komputer   bisa “hang”. Demikian pula masa lalu.  Jika pikiran ini terus menerus diisi masa lalu, lambat laun kemampuan berpikir kita pun  lambat laun  kacau.

Nah, bagaimana agar  tidak terjebak pada masa lalu. Prinsip kekinian, saat ini, kini, dan  di sini  diajarkan dalam meditasi. Dengan kekinian,  kita terus dilatih untuk sadar/eling. Menyadari terus menerus pikiran yang penuh masa lalu.  Tak mudah memang.  Saya pun belum sepenuhnya  terlepas dari  kotoran masa lalu. Dengan tekun berlatih  sadar setiap saat, maka niscaya, pikiran akan berhenti dengan sendirinya.  Dan setiap saat  kita  dengan ringan  akan mengucapkan  selamat tinggal pada masa lalu.

Yogyakarta, 7 November 2011

Yang terus berlatih  sadar setiap saat

Sunday, November 27, 2011

Kuwera 14 dan Romo Mangun

Teman-teman Kuwera 14, sore tadi, ketika matahari lagi "cuti" menunjukkan sinarnya, aku menyusuri kos kita tercinta, Asrama Kuwera.  Ini adalah  asrama putri milik almarhum Romo Mangun. Entahlah,  ada  kerinduan yang membuncah  mengunjungi tmpat yang menumbuhkan masa remajaku.


Aku jelas tidak lupa dengan gang kita. Tapi hari ini aku tetap kelewatan hehe. Kawasan pertokoan   seperti menutupi gang kita. Ayo taruhan, kalian pasti juga bakalan kelewatan. Begitu masuk, plang Gang Kuwera sudah ada di mulut gang. Bedanya, jalan masuk menuju kos kita  ada polisi tidur. Dulu, nggak ada kan? Nah persis sebelum masuk kos kita tercinta ada tulisan gini "Sudah ada  polisi tidur masih ngebut? katro" hehehe....mungkin orang-orang jaman sekarang nggak punya aturan ya, sampai tulisan semacam itu harus dipasang.


Nggak lama kemudian aku sampai di  rumah bata merah khas arsitektur Romo.  Masih cantik. Keharuan menyeruak,  dadaku sesak. Ada sesuatu yang tak terjelaskan. Aku lalu memandangi bagian luarnya. cukup lama. Untuk bangunan, memang  tak terlalu banyak berubah. Beberapa ada penambahan ruangan. Tapi seingatku almarhum Romo sudah melakukan beberapa perubahan. Lamunanku pun melayang beberapa puluh tahun silam. Ruang bawah tanah, rumah panggung, dan bata merah serta certa anak-anak kos di dalamnya.


Mas Biworo  dan  Pak Harwanto yang ramah menyambut kedatanganku. Kuceritakan bahwa aku anak kos yang pingin melihat -lihat kondisi asrama dan minta  ijin memotretnya. Pak Harwato, lantas mengantarkan aku  melihat-lihat seluruh ruangan kos kita plus kediaman Romo yang  tertata apik.


Kalaupun ada yang  kusayangkan,  ruang bawah tanah tempat pacaran sudah tak terpakai lagi.Cerita bawah tanah ini sempat punya sejarah pait. Aku sempat ditembak anak UAJY, temannya  Mbak Lisa. Kemana dia ya?  Nembak Sabtu malam minggu, jalan-jalan, eh besoknya Minggu diputus. Sialan. Alasannya sederhana. Dia merasa aku tidak mencintainya hanya gara-gara aku cuma ndak menjawab "iya" hahahaha. Dodol banget ih.Selanjutnya, ruang bawah tanah ini yang akhirnya  kuanggap tempat apes. Dan kayaknya bener deh. Beberapa kali scr nggak sengaja aku melihat mbak-mbak menangis teruhuk-uhuk dengan sang pacar, atau lagi bertengkar.  Dalam hatiku bilang "Tuh bener kan ruang bawah tanah itu pembawa sial." (ni  mah kukarang-karang aja)


Kamarku paling depan sudah jadi ruang rapat kantor Dinamika Edukasi Dasar (DED). Sementara kamar Mbak Retno, Mbak Wlis, Mbak Wuri, Mbak Utik, Mbak Ita tetap masih sama seperti 18 tahun lalu. Sekarang tempat itu kosong. Hanya terisi kalau ada pelatihan para guru. Masih ada dua kolam ikan. Ada satu ikan segede bagong. Sementara kamar hantu hihihihi yang bergaya panggung itu sudah dimatikan. Lha nggak ada kuncinya. Suatu Maghrib aku merasa ada yang menabrak tubuhku...tapi ndak kelihatan rupanya...hiiiiii....Hayo siapa yang pernah melihat "Mbak Maria" hantu cantik penunggu Gang Kuwera?


Ruang tempat kita menonton televisi item putih itu (kos kita nggak boleh ada telepon dan TV karena romo yang tidak memperbolehkan) tetap menjadi ruang rekreasi. Cuma, ada TV gede dan pasti berwarna pula. Ya ampyun lamunanku melayang pada Film Mahabarata...Inget nggak? Kita memelototi TV item putih segede  "sak neker" alias 14 inci  untuk menonton  cerita Mahabarata di TPI pukul 11.00. Dan apesnya itu pas pelajaran sekolah. Tentu saja, demi bisa menonton itu, aku membolos.


Begitu teng istirahat ke dua aku raib..(dan hebatnya ndak ketahuan meski iku berjalan beberapa bulan hihihhihi) Aku hanya masuk kalau ada ulangan di kelas ( ya ampyun kok bandits banget ya ) Kalau ditanya ama Mbak Din atau Mbak retno kubilang "ada rapat, ada yang meninggal, pelajaran kosong." Hiiiiihihiiii...


Ah ya ada insiden kecil. Ruangan di tempat Romo MAngun itu kan serupa   labirin.  Labirin itulah yang  bikin aku tersesat...Semula aku ditemani Pak Harwanto, penunggu rumah..Mungkin karena aku kelamaan menyusuri  tempat ini, eh tahu-tahu di bapak ilang. Masuk ruangan sini,   keluar di pintu yang sama. Begitu terus ampe tiga kali....hiihihi...Mana sudah agak gelap karena Yogya sepagian mendung.Aku panggil2 si bapak ndak kedengaran. Aku agak panik...(apalagi sempat kepikiran yang aneh-aneh hehehe) terus aku bilang ke  Romo Mangun, "Jalan keluarnya  dong, Mo?"  hehee tapi yang terakhir booong dong. Becanda. Aku akhirnya nemu jalan  keluar setelah melihat  sepatuku dari atas.


Terimakasih untuk Romo Mangunwijaya yang sudah menyediakan kos nan unik, damai, dan menyejukkan. Pendidikan yang memanusiakan begitu terasa sampai sekarang. Aku inget ketika beliau hadir saat salah satu dari kita merayakan ulang tahun. Atau setiap saat aku menyaksikan beliau di wawancarai oleh wartawan  asing. Gaya norakku itu kerap terbaca Romo Mangun, sehingga beliau bilang, "Mau ikut diwawancara." hihihi. aku langsung kabur. Mungkin wawancara Romo Mangun itu pula yang  kelak menginspirasi aku jadi wartawan.


Hal yang paling kuingat dari beliau adalah ketika menyaksikan kaca belakang mobilnya beberapa kali pecah dilempar orang tak dikenal. Karena kamarku letaknya paling depan, praktis aku selalu mendengar suara "brak" itu.  Setidaknya tiga kali aku menyaksikan kaca mobil  milik Romo pecah. Mobil putih itu merknya carry yang biasa dipakai untuk menjemput anak-anak Kalicode atau SD Mangunan yang ingin ke Kuwera. Romo Mangun keluar dan begitu melihat mobilnya pecah cuma bilang, "Sudah nggak papa. Itu hanya orang iseng saja." Suatu kali ada orang berteriak-teriak di depan Romo. "Kristenisasi." Lalu ...mereka pergi. Romo Mangun tidak pernah emosi menanggapinya.

Seingetku, beliau justru  kerap emosi dengan tukang yang salah letak menempatkan material yang tidak sesuai dengan kemauan Romo. Tentu saja aku mendengarnya, karena renovasi bersebelahan dengan kamarku. Dan ya ampyun...Romo Mangun paling hobi bongkar pasang rumah. So aku dah terbiasa dengan dag deg dog bunyi pukul dan alat tukang lainnya.

Nah, begitulah ceritaku siang menjelang sore tadi. Kapan yuk kita reuni anak-anak Romo Mangun. Berkunjung ke Kuwera dan ke makamnya. Maaf ya Mo, aku belum pernah sekali pun mengunjungi Romo meski aku satu kota dengan beliau sekarang ini.

Salam

Bernada Rurit

Saturday, November 26, 2011

Once a bully always a bully

Bully alias penindas (bener bukan ini sebutan bahasa Indonesianya?) sudah ada sejak jaman saya sekolah dulu, tapi dulu belum ada ada istilah ini.
Dulu (saya nggak tau masih ada atau tidak sekarang) malah resmi ada acara bullying di tahun ajaran baru dengan nama ospek alias gojlokan. Acara yang dari dulu sampai sekarang saya tidak tahu apa kegunaannya selain untuk memberangus calon siswa dari awal. Mungkin supaya semua manut sama gurunya, maklum jaman dulu kan kita tidak boleh beropini.

Saya ingat betul hari pertama masuk SMA (jaman dulu SMU namanya SMA dik :P) memakai seragam, rambut dikucir, kemudian dapat grup yg dibina oleh dua kakak kelas. Selama seminggu kami mendapatkan tugas yang bahkan untuk saya saat itu absurd sekali, mengumpulkan tanda tangan dari kakak kelas lah, para penonton yang nonton gojolokan dari pagar lah....mungkin maksudnya untuk membina mental agar berani. Tapi yang saya rasakan saat itu hanyalah kegembiraan kakak kelas bisa mempermalukan adik-adik kelasnya.

Tentunya pengalaman saya ini bukan hal baru di Indonesia. Dan juga tentunya bukan saya satu-satunya adik kelas yang ditindas di sekolah, bahkan ada teman yang sering ditamparin oleh kakak kelas, kalau saya sekedar dimaki-maki saja. Saya perhatikan, penindasan tersebut sudah berakar dan turun temurun. Saya untungnya bisa mengakhiri penindasan ini di saya, tapi saya lihat beberapa teman meneruskan tradisi tersebut dengan menindas adik kelas dan juga teman-teman yang lebih lemah. Oya saya lupa cerita bahwa saya dulu sekolah di sekolah yang isinya perempuan semua.
Kenapa saya menulis tentang ini adalah karena sekarang, belasan tahun kemudian...saya bertemu lagi dengan beberapa teman lama tersebut dan ternyata tidak banyak perubahan yang terjadi. Sifat bullying ini masih saja ada. Bedanya karena kami tidak lagi tinggal di satu kota, bullying ini dilakukan online alias cyber bullying. Saya sih tertawa saja membaca bullying online ini, tapi ada beberapa teman yang betul-betul sedih ditindas ramai-ramai, walaupun online.
Masa anak-anak dan remaja adalah masa-masa pembentukan karakter dan apabila di masa tersebut anak atau remaja tersebut menjadi seorang penindas, saya yakin karakter tersebut tidak bisa hilang dari dalam dirinya. Maka itu saya bilang sekali penindas selalu penindas, once a bully always a bully.

Bagaimana menurutmu?