Saya ingat ketika di bangku sekolah dasar, kami punya acara rujakan bareng teman-teman. Ide rujakan ini kami buat karena masing-masing punya
pohon sendiri, ada yang memiliki pepaya,
mangga, jambu. Nenas dan timun, karena umumnya tidak kami miliki, maka membeli
di pasar salah satu solusinya. Tapi biasanya saya yang berinisiatif membelinya.
Nah, buah hasil kebun masing-masing
disatukan, lalu dibuatlah bumbu rujaknya. Asyik ya pesta rujakan ini?
Di kampung saya, rujakan lebih popular dengan sebutan
lutisan. Sebelum menentukan siapa pembuat bumbunya, saya bersama membuat ritual
hompimpahalaiyumgambreng. Hasil akhirnya pingsutan yang kalah akan menjadi
pembuat lutisan. Pembuat lutisan juga disesuaikan dengan si pembuat. Kami yang
menang cuma pasrah bongkokan dengan pembuat bumbu. Di larang protes jika bumbu
rujak rasanya tidak enak.
Apa hubungannya dengan cabe? Tentu ada. Secara umum bumbu
lutisan terdiri dari gula merah, cabe, asem, bawang putih, dan kacang tanah
yang digoreng. Tetapi ada yang punya kebiasaan menambahkan kencur agar segar. Ada pula yang menambahkan terasi, agar aromanya lebih kuat dan rasanya
lebih bernas. Nah, cabe inilah yang menentukan “serunya”
rujakan bersama di masa kecil saya.
Saya masih ingat, di kampung saya Sumatera Selatan itu,
ukuran cabe itu bukan berapa biji untuk satu kali lutisan? Tetapi berapa
kilogram cabe yang akan dimasukkan dalam rmuan lutis? Bayangkan saja
kepedasannya. Kalau bumbu lutisan biasanya warna dominannya adalah coklat gula
Jawa, maka lutisan bikinan kelompok masa kecil kami berwarna merah saga.
Biasanya kesepakatan kami selalu berakhir di angka
seperempat kilogram saja. Itu saja sudah membikin bibir kami semua jontor,
njedir, muka merah meruap, telinga sampai pekak (budeg) saking panasnya. Keringat
bercucuran di mana-mana. Dan ups…maaf umbel produksi dadakan ini meler
kemana-mana. Saya ingat karena kami masih belia, maka kami kerap mengenakan
ujung kaos bagian bawah atau kerah baju untuk
menyisihkan umbel itu. Yekssssss…kalau ingat betapa joroknya kami,
kadang-kadang jadi malu jika mengenangnya.
Ho hah ho hah…Cuma itu aja lontaran mulut kami sepanjang
acara lutisan bersama ini. Dan sekitar setengah jam kemudian acara pesta
rujakan ini bubar dengan diakhiri mengaduh-aduh kepedasan. Beberapa di antaranya
mengeluh perutnya sakit. Besoknya, ketika kami bertemu di sekolah satu sama
lain mengaku mencret-mencret. Toh, pesta rujakan dengan cabe gila-gilaan terus
berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian hanya menjadi kenangan manis
semata. Setamat SMP saya sudah pindah ke tanah Jawa dan menandai berakhirnya
pesta rujakan itu.
Kegilaan saya pada cabe terus terjadi. Di Yogyakarta,
rujakan saya beli melalui pedagang keliling yang memberi isyarat lewat
bunyi-bunyiannya yang khas. “tek…tek …tek…tek…” Kami biasanya anak-anak kos
langsung menghambur keluar. Berebutan pesan. Nah ini dia. Karena ritual rujakan
di kampung halaman dengan cabe yang melimpah, maka biasanya rujak pesanan saya dengan cabe 15 biji. Mbak-mbak kos sampai
melotot ngeri ketika saya pesan cabe sebanyak itu.
Dan suatu hari ketika saya menginjak bangku SMA, peristiwa
itu terjadilah. Saya mengeluhkan sakit perut yang tiada henti. Sampai-sampai
saya sulit berjalan. Dokter kemudian memberikan berita yang mengejutkan saya
harus dioperasi karena terkena usus buntu.
Cabe salah satu faktornya. Dan begitulah, sejak operasi itu,
cabe adalah satu benda yang harus saya jauhi. Sungguh mulut saya kuat menahan
kepedasannya, tetapi tidak untuk perut
saya. Setelah 17 tahun berlalu, perut saya kian tak mau diajak bekerjasama
dengan cabe.
Jika saya pesan gado-gado atau pecel dengan cabe satu biji
saja, perut saya melilit kesakitan. Hingga suatu hari saya merasakan dampak
cabe yang begitu hebat untuk tubuh saya. Saya pernah tidak bisa jalan, bahkan
untuk ke toilet sekalipun.
Sungguh menderita. Bagaimana obatnya? Saya biasanya minum
norit dan menghentikan konsumsi cabe sama sekali. Maka dua hari sakit itu
hilang sama sekali.
Tetapi gara-gara cabe itu pula, saya setidaknya sudah di
opname di rumah sakit tiga kali karena
usus atau lambungnya terluka. Tidak hanya mampu berjalan, saya
muntah-muntah dan diare sampai 25 kali
sehari. Jika sudah begini, di infuse dan
masuk rumah sakit satu-satunya solusi. Terakhir
sepekan lalu peristiwa itu terjadi. Tubuh ini lemas, lunglai, benar-benar
seperti tidak berfungsi.
Setelah sepekan dihajar muntah dan diare, rasa-rasanya saya
sudah mantap menyatakan “perang melawan
cabe”. Cabe dehhhhh…..
Yogyakarta, 9 Desmeber
2011.
No comments:
Post a Comment