Pages

Sunday, December 11, 2011

Cabe

Sanggupkah kalian menyantap sesuatu tanpa cabe di dalamnya?  Apalagi kalau yang disantap makanan jenis bakso, soto, mi kuah. Ya ampun! Makan tanpa cabe itu buat saya ibarat masak sayur tanpa garam, pacaran dengan kekasih tetapi tak pernah menikmati kecupannya. Hehhe yang terakhir mah agak lebay.  Tetapi asli makan sesuatu tanpa ho hah ho hah itu sungguh garing, tawar, nggak berasa apa-apa rasanya.


Saya ingat ketika di bangku sekolah dasar,  kami punya acara  rujakan bareng teman-teman.  Ide rujakan  ini kami buat karena masing-masing punya pohon  sendiri, ada yang memiliki pepaya, mangga, jambu. Nenas dan timun, karena umumnya tidak kami miliki, maka membeli di pasar salah satu solusinya. Tapi biasanya saya yang berinisiatif membelinya. Nah, buah hasil  kebun masing-masing disatukan, lalu dibuatlah bumbu rujaknya. Asyik ya pesta rujakan ini?

Di kampung saya, rujakan lebih popular dengan sebutan lutisan. Sebelum menentukan siapa pembuat bumbunya, saya bersama membuat ritual hompimpahalaiyumgambreng. Hasil akhirnya pingsutan yang kalah akan menjadi pembuat lutisan. Pembuat lutisan juga disesuaikan dengan si pembuat. Kami yang menang cuma pasrah bongkokan dengan pembuat bumbu. Di larang protes jika bumbu rujak rasanya tidak enak.

Apa hubungannya dengan cabe? Tentu ada. Secara umum bumbu lutisan terdiri dari gula merah, cabe, asem, bawang putih, dan kacang tanah yang digoreng. Tetapi ada yang punya kebiasaan menambahkan kencur agar segar. Ada pula yang menambahkan  terasi, agar aromanya lebih kuat dan rasanya lebih bernas. Nah, cabe inilah yang menentukan  “serunya”  rujakan bersama di masa kecil saya.


Saya masih ingat, di kampung saya Sumatera Selatan itu, ukuran cabe itu bukan berapa biji untuk satu kali lutisan? Tetapi berapa kilogram cabe yang akan dimasukkan dalam rmuan lutis? Bayangkan saja kepedasannya. Kalau bumbu lutisan biasanya warna dominannya adalah coklat gula Jawa, maka lutisan bikinan kelompok masa kecil kami berwarna merah saga.


Biasanya kesepakatan kami selalu berakhir di angka seperempat kilogram saja. Itu saja sudah membikin bibir kami semua jontor, njedir, muka merah meruap, telinga sampai pekak (budeg) saking panasnya.  Keringat  bercucuran di mana-mana. Dan ups…maaf umbel produksi dadakan ini meler kemana-mana. Saya ingat karena kami masih belia, maka kami kerap mengenakan ujung  kaos bagian bawah atau kerah baju untuk menyisihkan umbel itu. Yekssssss…kalau ingat betapa joroknya kami, kadang-kadang jadi malu jika mengenangnya.


Ho hah ho hah…Cuma itu aja lontaran mulut kami sepanjang acara lutisan bersama ini. Dan sekitar setengah jam kemudian acara pesta rujakan ini bubar dengan diakhiri  mengaduh-aduh kepedasan. Beberapa di antaranya mengeluh perutnya sakit. Besoknya, ketika kami bertemu di sekolah satu sama lain mengaku mencret-mencret. Toh, pesta rujakan dengan cabe gila-gilaan terus berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian hanya menjadi kenangan manis semata. Setamat SMP saya sudah pindah ke tanah Jawa dan menandai berakhirnya pesta rujakan itu.

Kegilaan saya pada cabe terus terjadi. Di Yogyakarta, rujakan saya beli melalui pedagang keliling yang memberi isyarat lewat bunyi-bunyiannya yang khas. “tek…tek …tek…tek…” Kami biasanya anak-anak kos langsung menghambur keluar. Berebutan pesan. Nah ini dia. Karena ritual rujakan di kampung halaman dengan cabe yang melimpah, maka biasanya  rujak pesanan saya  dengan cabe 15 biji. Mbak-mbak kos sampai melotot ngeri ketika saya pesan cabe sebanyak itu.

Dan suatu hari ketika saya menginjak bangku SMA, peristiwa itu terjadilah. Saya mengeluhkan sakit perut yang tiada henti. Sampai-sampai saya sulit berjalan. Dokter kemudian memberikan berita yang mengejutkan saya harus dioperasi karena terkena usus buntu.

Cabe salah satu faktornya. Dan begitulah, sejak operasi itu, cabe adalah satu benda yang harus saya jauhi. Sungguh mulut saya kuat menahan kepedasannya, tetapi tidak untuk  perut saya. Setelah 17 tahun berlalu, perut saya kian tak mau diajak bekerjasama dengan cabe.

Jika saya pesan gado-gado atau pecel dengan cabe satu biji saja, perut saya melilit kesakitan. Hingga suatu hari saya merasakan dampak cabe yang begitu hebat untuk tubuh saya. Saya pernah tidak bisa jalan, bahkan untuk ke toilet sekalipun.
Sungguh menderita. Bagaimana obatnya? Saya biasanya minum norit dan menghentikan konsumsi cabe sama sekali. Maka dua hari sakit itu hilang sama sekali.


Tetapi gara-gara cabe itu pula, saya setidaknya sudah di opname di rumah sakit tiga kali karena  usus atau lambungnya terluka. Tidak hanya mampu berjalan, saya muntah-muntah  dan diare sampai 25 kali sehari.  Jika sudah begini, di infuse dan masuk rumah sakit satu-satunya  solusi. Terakhir sepekan lalu peristiwa itu terjadi. Tubuh ini lemas, lunglai, benar-benar seperti tidak berfungsi.


Setelah sepekan dihajar muntah dan diare, rasa-rasanya saya sudah  mantap menyatakan “perang melawan cabe”. Cabe dehhhhh…..


Yogyakarta, 9 Desmeber 2011.

No comments:

Post a Comment