Pages

Wednesday, February 22, 2012

Tukang Parkir

Ketika Biennale Yogyakarta pada tahun 2010 lalu, seniman Theresia Agustina Sitompul,  merancang busana tukang parkir karena menurut dia profesi tukang parkir mungkin hanya ada di Indonesia. Mungkin saja benar. Tapi saya juga ingin menambahkan bahwa  tukang parkir yang menjadikannya profesi demikian serius kayaknya cuma ada di Yogyakarta. Teman-teman saya bahkan menganggap keberadaan mereka kayak benalu. 


Jalan-jalanlah ke semua sudut di sudut Yogyakarta. Gang mencit (cuma gang kecil) sekalipun, sudah ada yang mentongkrongi tukang parkir.  Modalnya pakai jaket orange dan sempritan. Mereka beroperasi bahkan tanpa tiket parkir sekalipun. Ini yang lebih aneh lagi, orang mengambil duit anjungan tunai mandiri (ATM)  yang sembari kita ambil duit cuma butuh waktu 5 menit  dan bisa memelototi kendaraan kita tanpa perlu dijaga, juga dipajaki, istilah kawan saya. Ada seorang mahasiswa bercerita,  dia mencek kiriman uang ke ATM. Uang belum terkirim, dia "dipajaki"Rp 1000 pula.


Teman lain juga bercerita, kasusnya di ATM juga. Dia mengambil uang transferan gaji. Eh ternyata belum  masuk. Uang di dompet tinggal recehan jumlahnya tak sampai Rp 500, karena itu yang dia punya. Begitu uang diberikan, si tukang parkir membuang uang itu ke jalan. Hampir menangis dia.
Padahal si tukang parkir tak memberikan sesobek kertas apapun sebagai tanda karcis parkir.


Cerita lain tentang teman saya. Dia seorang wartawan. Waduh...tiap kali kami liputan bersama hampir dipastikan dia akan  ribut dengan tukang parkir. Saya yang bersamanya sampai memerah. Tapi dia jelas tidak salah. Tiap kali dia dipungut uang parkir, maka dia meminta karcis parkir yang benar-benar baru. Si tukang parkir marah-marah. "Tidak ada karcis, tidak ada uang,"ujarnya. Dan dia tega tak mengeluarkan sesenpun uang jika si tukang parkir tak memberikan karcis parkir.  Itulah  yang  kadangkala bikin saya miris. Orang benar  minoritas, bisa malah salah atau dipersalahkan hanya gara-gara berani melawan. Sementara  kebanyakan orang memilih jalan yang aman-aman saja. Males ribut, males malu. Berdasarkan pengalaman saya,  si tukang parkir kebanyakan bermulut pedas jika kita menuntut karcis parkir yang menjadi hak kita.


Jika saya liputan, dalam sehari bisa mendatangi  banyak lokasi. Untuk makan saja, tiga tempat, itu berarti Rp 3000. Untuk lokasi liputan atau ada urusan ini itu, bisa Rp 3000-Rp 5000. Itu rutin. Jadi dalam sehari, saya sudah biasa mengeluarkan uang parkir Rp 8000. Jika dikalikan 30 hari saja, seharusnya saya sudah bisa memberikan pajak ke Yogyakarta hampir Rp 300.000. Nah, kalikan saja dengan jumlah penduduk di Yogyakarta untuk menghabiskan uang parkir. Tapi yang bikin saya heran, biaya retribusi parkir di semua kabupaten/kota ini kok ya nggak "sepiro" ya? Itu uang pajak lari kemana? Catatan, pengalaman ini tentu terlalu signifikan bagi warga yang tidak pernah mobile di rumah. Kalau cuma nongkrong di rumah, mana mungkin dia mengeluarkan uang parkir, bukan?


Nah, kecurangan-kecurangan kecil yang terjadi di depan mata ini kadang-kadang membuat saya mangkel. Saya dulu memilih  perang urat syaraf untuk mendapatkan karcis parkir. "Enak saja masuk kantong pribadi, mending aku  ribut biar bermanfaat untuk negara," begitu pikir saya.  Tapi kok ya lama-lama menghabiskan energi ya. Saya pun punya ide. Setiap saya memarkir kendaraan, saya terlebih dulu minta dengan sopan. "Pak, saya minta karcis parkirnya ya untuk laporan ke kantor." Wah manjur. Si tukang parkir menyambut dengan senyuman. Saya sebenarnya dag dig dug, awalnya. Jangan-jangan diomeli seperti yang sudah-sudah.


Karena mujarab, akhirnya trik ini terus saya gunakan ke tukang parkir mana saja. Berbohong sih. Tapi mending  bohong apa perang urat syaraf? Saya memilih bohong saja, daripada capek-capek cekcok cuma gara-gara uang Rp 1000. Hati juga lega bisa ikut berkontribusi meski sedikit membayar pajak retribusi ke pemerintah. Tapi ngomong-ngomong tiba-tiba saya kepikiran, kalau karcis parkir itu  dipalsukan, bukannya nggak ada efeknya? Haduhhhhh...Ya sudahlah.


Terakhir, saya cuma berharap melalui blog ini, mbok ya,  parkir di ATM dan gang-gang mencit di Yogyakarta itu ditertibkan. "Itu sudah keterlaluan,"kata teman saya seorang warga negara asing. Saya jelas setuju. Buat saya, tukang parkir bertebaran ke seluruh penjuru  itu bikin image jelek pemerintah. Rakyatnya  kapiran banget sih. Teman saya yang tinggal di Aceh bercerita, di daerah itu nyaris tidak ada tukang parkirnya. "Mereka gengsi terima uang Rp 1000 atau Rp 2000," katanya. Kota-kota lain yang pernah saya jelajahi juga hanya memberlakukan parkir di jalan-jalan protokol. Rumah makan kecuali yang terkenal hampir zero dari tukang parkir. ATM, gang-gang mencit hampir tidak ada  tukang parkirnya.  Kecuali ya kalau Yogyakarta bersedia mendapat sebutan kota tukang parkir. Mau?


Yogyakarta, 22 Februari 2012

Pukul 19.03

Friday, February 17, 2012

Trotoar

Salah satu pembenaran mengapa berat badan saya naik di sini  adalah karena jarang jalan kaki semenjak pindah ke Jogja (sudah ya ketawanya jangan keras-keras, lebih baik konsentrasikan membaca kalimat berikut ini). Kenapa saya jarang jalan kaki? Karena tidak ada trotoar yang nyaman untuk pejalan kaki.

Baru saja saya pergi ke mini market dekat rumah (kurang lebih 300 meter) ketika tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Akhirnya saya lari sambil memakai kantong plastik sebagai penutup kepala. Seharusnya sih dua menit saja sudah sampai rumah tapi ya itu tadi trotoar penuh digunakan sebagai tempat parkir sepeda motor, pedagang kaki lima, dll. Lucunya para pedagang kaki lima itu marah loh bila saya berjalan melewati angkringannya atau lesehannya, maunya saya yang disuruh turun ke jalan raya. Aneh betul kan?

Mungkin ini juga yang menyebabkan orang lain juga malas berjalan kaki di sini, office boy di kantor misalnya kalau pergi jajan yang jaraknya mungkin hanya 300 meter saja naik sepeda motor. Setiap kali saya pergi jalan kaki, orang-orang selalu bertanya kok jalan toh mbak? Sepertinya sesuatu banget ya saya pergi berjalan kaki ? hehehehehe

Belum lama ini juga sempat beredar di youtube mengenai seorang ibu di Jakarta pengguna trotoar yang tidak mau memberi jalan ke pengendara sepeda motor yang naik ke atas trotoar. Saya sendiri belum lihat jadi hanya dapat cerita, katanya para pengendara sepeda motor sewaktu diwawancara malah mengatakan bahwa si ibu pejalan kaki itu tidak waras, bukannya mereka yang tidak waras naik sepeda motor ke di atas trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki.


Jadi ternyata fungsi dan tingkat kewarasan atau norma yang berlaku sudah bergeser ya? Pejalan kaki silahkan di jalan raya, pengendara motor dan pedagang silahkan menggunakan trotoar.



Sunday, February 12, 2012

Antara menerima,berusaha dan permisif

hasil jepret di SD Tumbuh 2 Yogyakarta
Menurut pengamatan saya selama ini, dalam hidup, ada beberapa hal di mana saya punya kuasa dan bisa merubahnya tetapi banyak hal di mana saya harus belajar untuk  menerima hal tersebut.


Contoh hal yang bisa saya rubah: menjaga mulut supaya tidak asal njeplak, merubah attitude saya terhadap orang-orang yang kurang saya suka, menjaga agar emosi tidak meledak-ledak.

Contoh hal yang tidak bisa dirubah dan perlu belajar untuk menerima kenyataan ini: macet di Jakarta. Mau saya nangis, maki-maki, mengomel seperti apapun tidak akan merubah kenyataan bahwa Jakarta itu memang macet! Harus diterima dan dinikmati sambil bersyukur bahwa saat ini saya hidup di Jogja hehehe
Contoh lain lagi yang buat saya cukup menohok (halah bahasanya lebay banget) adalah koneksi internet yang byar pet bikin emosi. Menurut teknisi 147 kemungkinan besar koneksi internet saya jadi lamban karena modem adsl rusak, modem rusak kemungkinan karena tegangan listrik naik turun. Hal ini membuat saya berpikir tentang contoh berikutnya mengenai hal-hal yang harus diterima yaitu mati listrik yang sering sekali terjadi di daerah tempat tinggal saya ini. Mati listrik di daerah ini sudah langganan sehingga Rurit sering mentertawakan status ngomel saya di blackberry, ya ya ya ... mentertawakan sampai akhirnya giliran dia yang kena mati listrik berkali-kali, hanya bisa misuh-misuh toh akhirnya?

Hal ini membuat saya jadi berpikir, seberapa permisif kah saya jadinya. Di mana batasan untuk mencoba mengerti atau memaklumi dan berjuang atas hak saya sebagai konsumen. Misalnya listrik, sebagai konsumen setia PLN seberapa hak saya untuk menuntut listrik menyala dengan semestinya dan tegangan listrik stabil. Sampai di mana batas maklum saya, apakah setiap hujan kemudian listrik mati itu wajar (menurut PLN itu normal)? Apakah karena saya dan anda begitu permisif PLN tidak merasa perlu memperbaiki servicenya?
Lah balada listrik mati ini ternyata rentetannya ke mana-mana, yang jelas alat-alat elektronik di rumah saya beberapa sudah mulai error dan saya yakin aliran listrik yang tidak menentu inilah penyebabnya. Apakah PLN mau bertanggung jawab membetulkan barang-barang saya? Pastinya tidak kan? Tapi mau protes juga percuma, karena toh tidak membawa hasil. Tapi apakah benar percuma? Masak sih bila masyarakat kompak protes ke PLN tidak akan membawa hasil? Tapi malas ah percuma juga demo gak ngefek, gitu kata teman saya, ya itulah yang membuat kita jadi permisif, pasrah, memaklumi saja daripada repot atau makan hati.... atau seperti Maztrie tulis di blognya, jadi membebek, jadi ya jangan heran kalau negara ini tidak maju-maju.

Saya jadi ingat, diawal abad ini ketika saya pulang ke Indonesia dan pergi belanja ke supermarket mendapat kembalian permen. Saya ingat betul saya protes habis-habisan sampai supervisornya Hero perlu dipanggil karena saya menolak dengan tegas diberi kembalian permen.  Akhirnya karena saya kalah suara dan adik saya udah merah mukanya karena malu, permen tersebut saya terima sebagai kembalian, dan besoknya saya balik lagi ke situ saya bayar yg recehnya dengan permen tersebut, eh ditolak! Kembali supervisor dipanggil dan tidak ada jalan keluar yang memuaskan, sekali lagi saya harus mengalah karena mengutip omongan adik saya; "Ya memang seperti itu di sini mbak!" Sekarang, tidak lagi saya temui fenomena kembalian dengan permen, kata teman saya akhirnya banyak yang protes sehingga kemudian dilarang, nah nyatanya itu bisa!



Ditulis sore-sore di kala hujan deras di Jogja sambil misuh-misuh karena koneksi internet lagi-lagi lebih lambat daripada semut!
ps. akhirnya malah mati,dilanjut nulis blog di HP!

Thursday, February 9, 2012

Cinta oh cinta

Cinta…tak ku mengerti…sekarang ingin…esok tak ingin…oh cinta…biar kucari … sampai kudapat … yg aku maksud … itu katanya Warna..salah satu lagu favorite saya. Definisi cinta emang macem2 … saya inget Om saya dulu nulis di pintu kamarnya gede2 : Cinta membuat tai kucing serasa coklat!!!

Takaran cinta pun berubah sesuai dengan umur dan jaman. Jaman masih SMP atau SMA dulu takarannya… pokoknya harus anak band!!! Pas SMA nambah, harus gondrong … kriteria yg bikin Papa saya suka stress ngeliat tamu-tamu yg mengunjungi anak perempuannya. Komentar standard si bokap: “Rambut gondrong, gak karuan…apa gak kelilipan itu matanya kalo naik motor??!!” Jawaban standard anaknya: “Alaa kayak Papa jaman dulu gak gondrong aja niru Beatles tuh… gondrong wagu malahan bulet-bulet gitu ” (anak kurang ajar emang yak hehehe).

Balik lagi ke takaran cinta tadi. Tiap orang punya takaran masing-masing. Temen saya ada yg ukurannya rajin ke gereja. Jadi walopun menurut saya itu cowo gak jelas niat baiknya ke temen saya itu, tapi berhubung tiap jam 6 pagi teng dia ke gereja Kota Baru sebelum berangkat ke sekolah…ya kepincut lah si temen saya itu (saya gak bilang ke dia bahwa si gondrong itu niat ke gereja krn mau ngecengin dia…. gak mau merusak ilusi indah dia ah).

Jaman udah kuliah ukuranpun berubah... berapa banyak yg kepincut sama teman di senat atau organisasi, saking kagum akan kepawaian si doi dalam memimpin. Tentu saja disamping hal-hal yg saya sebutkan tadi sih si cowo harus baik hati dong ya… itu udah gak perlu disebut lagi kan…

Udah mulai kerja, takaran untuk jatuh cinta menjadi semakin banyak… karena kan … ini bukan cinta monyet lagi… tapi udah serius ..ya toh? (Ngomong-ngomong kok bisa disebut cinta monyet itu dari mana ya? ) Jadi bukan hanya hal-hal yg tampak di permukaan aja yg penting, tapi mulai ngomongin hal-hal yg dalem… pandangan hidup, rencana masa depan, dll.

Bukannya saya mau bilang kalo cinta remaja itu dangkal loh… cuman ya beda aja sih. Dari hasil pengalaman saya sendiri dan mengamati adik-adik kelas itu. Pacaran jaman sekolah itu berantemnya palingan sebangsa…kenapa kok tadi jemput sekolahnya telat *ngambek* atau… kenapa kok tadi kamu boncengan sama cowo lain (makanya lain kali jangan telat dong jemputnya)*pasang tampang sangar, siap ngehajar itu cowo* Terus krisis sama ortu palingan sih sebangsa…ketangkap basah pergi sama pacar padahal ngakunya kelompok belajar, dll.

Setelah usia bertambah dan pacaran menjadi arena ajang menjajaki…semua menjadi lebih serius. Acara ngambek pun mulai berkurang. Perbedaan yg ada diusahakan diselesaikan dengan diskusi. Di tahap ini … lebih banyak logika yg berbicara, sehingga kadang hati dilupakan. Di tahap ini saya setuju banget sama temen saya yg bilang bahwa cinta itu menanggung beban berat, tapi tidak terasa berat… karena kan ditanggung berdua, baik susah maupun seneng.

Terkadang, kita terdorong untuk ‘jatuh cinta’ karena umur udah semakin nambah… desakan keluarga…. terpengaruh lingkungan (gak ada teman yg single lagi), membuat kita sering menanggung beban berat itu sendirian. Jangan dong ah. Ikutin Warna aja tuh di atas….Oh cinta…akan kucari …. sampai kudapat..yg aku maksud….

(reposting dari blog lama)

Wednesday, February 8, 2012

Gondrong belum tentu sangar


Jaman dulu bila ada cowo berambut gondrong (dan juga ber tattoo) kesannya itu cowok sangar, ugal-ugalan.... mungkin sudah tidak sesuai untuk jaman sekarang, tapi saya ingin berbagi  cerita lama ini yang sudah pernah saya tulis di blog personal saya.

Dulu setiap pembagian raport, murid tidak boleh mengambil sendiri harus orang tua atau wali murid. Nah, waktu saya kelas dua, ada satu anak JB yg udah mulai ngerayu beberapa minggu sebelumnya agar diijinkan menjadi wali murid saya. Ckk ckk … segitu inginnya mereka masuk sekolah saya dulu yg penuh dng segudang cewe sexy dan yg emang terkenal betul saat itu.

Setelah dibayarin nonton, diantar jemput sekolah, dibeliin silver queen (biasa deh pake acara jual mahal dikit hehehe) akhirnya saya setuju dan mulai ngerayu papa untuk membuat surat ijin. Untungnya saja anak JB satu ini udah kayak sodara sih sama kita, tapi bukan sodara beneran loh walopun dulu kita ngakunya sodara sepupu (ya ya saya ngaku deh di sini … buat anda-anda yg dulu nge fans berat sama cah JB satu ini … dia bukan sodara saya, cuman sama-sama dari Bali dan kebetulan tetangga pula), jadi si papa mau deh membuat surat wali…kebetulan dia masih ada 3 anak lagi yg harus diambil raportnya hari itu…jadi malah kebetulan :) 

Pas hari H .. si ‘sodara’ saya ini rada nervous … dan akhirnya minta ditemenin mantan anak JB lainnya. Ya udah deh saya cengar cengir aja … untung saya udah kelas dua waktu itu. Coba masih kelas satu, bisa besokannya di gojlok habis-habisan ama kakak kelas.
Eniwei … akhirnya hari itu saya bersama dua orang tinggi gondrong..satu putih, satu coklat manis … idola remaja… eh anak Stece waktu itu ;) datang ke sekolah. begitu masuk halaman … udah deh .. teman-teman udah mulai noleh… dan…wuzzzzzzzz berita tersebar begitu cepat…udah deh mulai pada teriak-teriak histeris …
Untuk yg belum pernah ke Stece: muridnya cewe semua, kira-kira ada 1000 murid (jadi silahkan bayangkan 1000 cewe teriak histeris kayak gimana). Bentuk bangunan sekolah seperti huruf U. Begitu masuk gerbang langsung halaman sekolah yg terletak di tengah, jadi benar-benar terbuka dan semua murid bisa lihat dari ruang kelas. Dan kelas saya waktu itu 2 Sos 1 itu paling pojok kiri atas lantai 3 yg untuk mencapai ke situ tangganya ada di tengah. Jadi kebayang dong begitu kita masuk itu dua cowo digerayangi dan disuitin dan diteriakin!!! Dan ternyata…. dua makhluk ganteng dan gondrong itu tidak berani berkutik … cuman dieeeeeeeeeeeeeeeemmmmmmm aja sambil bisik-bisik … “Kelasmu mana toh kok jauh bgt?” Jawaban saya, “Oh aku gak bilang ya kalo kelasku tuh paling pojok dan paling atas? Uppsss ….

Hehehehehe terbukti kan kalo gondrong belum tentu sangar dan bahwa anak JB tidak lebih berani daripada anak Stece. Nyatanya pas sekolah dimulai lagi dan si anak JB ‘sodara’ saya itu mau bolos sekolah, yang disuruh mengantar surat (dan juga menulis dan memalsukan tanda tangan) ke sekolahnya ya saya. Dan saya santai-santai aja tuh pake seragam kotak-kotak sendirian sebelum sekolah mampir ke sana dulu. Ya jujur aja sebenernya dalam hati deg-degan abis, tapi ternyata sampe sana pas saya disuitin malah dng pedenya dadah dadah ….tau gak maksudnya ? itu tuh  kayak Ibu Mega kalo pas kampanye hahahahahahahahaha

Keterangan:
Stece, nama keren dari SMA Stella Duce I di Jogja. Sekolah homogen yg isinya cewe semua.
JB, nama (maunya) keren dari SMA De Britto di Jogja juga. Sekolah homogen isinya cowo semua.
Dulunya jadi JB jadi satu ama Stece tapi terus pisah. Karena itu selalu ada seperti ‘ikatan batin’ antar dua SMA ini. Eh sekarang udah bukan SMA tapi SMU yah?

Tuesday, February 7, 2012

Panggung


Panggung politik saat ini sedang tertuju pada Angelina Sondakh yang dijadikan tersangka KomisiPemberantasan Korupsi. Panggung akan kembali gegap gempita jika si artis yang mantan puteri Indonesia ituditahan. Belum ditahan saja,  informasi di televisi sudah "meraung-raung" tiada henti. Bikin saya sumpek. Kenapa? Sudah kadung pol-polan beritanya...eh endingnya...begitu-begitu aja. Maka dalam dunia perpolitikan, saya lebih suka menyebutnya panggung. 


Entah kenapa, kalau seseorang menjadi tersangka atau ditahan, tiba-tiba yang jadi tersangka menjadi lebihreligius, pakai kerudung, sering menyebut asma Allah. Sampai saya yakin  mereka yang berkerudung pasti merasa jengah dengan keadaan ini. Begitu pula si artis ini. Ketika yang bersangkutan dijadikan tersangka, dia memilih bungkam terhadap pers. Untuk membela dirinya, si artis  memilih bercuap-cuap di jejaring sosial bikin saya tersenyum geli. Begini bunyinya: Biar saya  wakilkan kepada Allah kedzoliman ini. Ya amplop. Kaget saya. Allah tidak berbuat apa-apa dan tidak tahu apa-apa, kenapa diwakilkan kepada Allah ya? Tapi ya sudahlah, namanya juga panggung.  


Buat saya, orang yang terjun dalam dunia politik membawa topeng dalam dirinya. Dengan  membawa topeng kemana-mana maka dia akan survive, mengejar jabatan, mendapatkan harta melimpah. Oh ya...soal apakah si artis ini benar-benar korupsi atau bukan, mungkin ilustrasi kisah Luna Maya-Ariel-dan Cut Tari bisa menjadi  cermin. Sesaat setelah video porno itu beredar,  Cut Tari dengan judesnya mengatakan ini kepada wartawan. "Saya tidak pernah melakukan itu. Saya bersumpah atas nama ibu saya." Kira-kira begitu.
Eh tak berapa lama, dengan bersimbah air mata,  Cut  Tari mengakui perbuatannya. Ini masih mending.


Apa yang terjadi dengan  Ariel dan Luna Maya?. Hingga saat ini keduanya membantah sosok dalam video itu. Ealah....padahal terang benderang betul sosok dalam video itu, Luna dan Ariel. Semua orang bisa mengakses melalui internet. Lha kalau  duit yang terima  cuma antara  si A, B, atau C yang menjadi saksi,  ya wajar-wajar saja kalau ada yang sampai mampus mengelaknya. Jadi kesimpulan kalian apa?


Yogyakarta, 7 Februari 2012

Pukul 11.02 

http://tjapoenk.blogspot.com

Sunday, January 22, 2012

Bergunjing

Kamus bahasa Indonesia Sekolah Dasar
Bergunjing menurut kamus besar bahasa Indonesia dan juga kamus bahasa Indonesia untuk sekolah dasar adalah berbicara tentang kejelekan atau kekurangan seseorang.

Jujur saya pernah bergunjing dan juga menikmati bergunjing. Tiap hari saya nonton E! dan membaca People Online untuk mengikuti berita terbaru para selebriti di Hollywood. Tentu saya juga pernah bergunjing dengan teman membicarakan teman-teman yang lainnya, saya rasa itu manusiawi. Tetapi seiring dengan bertambahnya usia, saya berusaha mengurangi bergunjing mengenai teman. Walaupun saya masih rajin mengikuti kisah para selebritis, ini adalah guilty pleasure saya. Kenapa saya suka mengikuti kisah para selebritits? Karena setiap kali membaca kisah mereka terutama mengenai patah hati, persoalan keluarga, saya jadi teringat bahwa uang, kekuasaan, kecantikan, menjadi terkenal ternyata tetap tidak bisa melindungi kita dari perasaan patah hati, sedih, bingung dsb jadi walaupun kelihatannya mereka sudah punya segalanya ternyata tidak jauh berbeda dengan saya. Hehehe mungkin aneh buat orang lain, tapi sungguh saya mulai mengikut para selebritis ini di saat saya sedang down beberapa saat yang lalu. Saya tidak tahu apakah ini termasuk kategori bergunjing, karena yang saya lakukan adalah membaca kisah mereka untuk konsumsi saya sendiri, saya tidak membahas hal ini dengan orang lain. Hanya terkadang apabila beritanya bombastis kadang saya suka share artikelnya di Twitter atau Facebook. Saya juga mencoba untuk tidak bergunjing mengenai teman sendiri, karena saya tahu setiap orang ada pasang surutnya, roda kehidupan terus berputar dan besok adalah suatu misteri.

Biasanya sih bila sampai membicarakan teman, terutama teman lama ya biasalah karena sudah lama tidak bertemu jadi bertanya-tanya bagaimana kabar teman ini dan juga teman-teman yang lain, biasanya sih sekitaran sudah punya anak berapa dan tinggal di mana atau kerja di mana. Apabila yang bersangkutan kelihatan tidak berkenan menjawab ya saya hormati dan tidak pertanya lebih lanjut.

Terkadang atau sering saya mendapat informasi atau bahan bergunjing dari teman mengenai teman yang lain, biasanya saya hanya ah oh saja tidak menanggapi karena saya ingin gunjingan ini berhenti sampai di sini saja. Karena saya tahu bagaimana rasanya apabila masalah pribadi kita diumbar oleh teman kita sendiri, pahit rasanya. Banyaknya orang yang sering curhat ke saya juga membuat saya semakin menghargai privacy seseorang. Karena buat saya kepercayaan itu mahal harganya.

Makanya susah buat saya untuk bisa memahami keinginan bergunjing seseorang yang begitu kuat sampai orang tersebut mencari informasi ke mana-mana. Teman saya di Amsterdam mengalami hal ini dan saya sangat salut karena si nona cantik ini bisa amat sangat cuek walaupun digunjingkan tiada henti dari jaman masih naik bus sampe sekarang sudah naik Mercy (toss dulu say!). Yang suka menggunjingkan teman saya ini aneh banget, sampai stalking dia di dunia sosmed padahal sudah lama tidak berteman. Artinya kan dia aktif mengikuti sepak terjang teman saya ini walaupun dia sudah berkoar-koar bahwa sudah tidak selevel dengan teman saya ini. Aneh bukan?

Baru-baru ini saya juga mengalami kejadian yang aneh. Ada orang yang mencari-cari informasi mengenai saya ke mana-mana dengan alasan supaya tidak salah ngomong bila bertemu dengan saya. Aneh bukan? Memangnya semua orang yang setiap hari saya temuin itu tahu kisah hidup saya? Tidak juga kan? Apabila kita berbicara dengan santun dan tanpa prejudice semestinya kita tidak perlu mengetahui ukuran sepatu lawan bicara kita untuk bisa berkomunikasi bukan?
Apabila karena merasa dirinya memiliki hidup yang bahagia dan sempurna kemudian takut menceritakan hal tersebut di depan saya karena takut nanti dikira menghina. Alangkah piciknya, bukankah setiap hari sudah membuat status di sosmed mengumbar kebahagiaannya?  (yang tentu saja haknya, saya tidak mengkritik hal itu)

Yang lebih aneh lagi, ada teman lama tiba-tiba datang ke rumah tanpa janjian dulu untuk selama sejam lebih mengoceh, tanpa saya harus bertanya, menceritakan duka nestapa teman-teman lama dan tentunya juga duka nestapa saya. Setelah itu tidak ada kabar beritanya lagi, rupanya hanya mampir untuk mencari bahan pergunjingan yang lebih aktual.

Lain kepala lain isinya, lain ladang lain belalang (loh!hahahaha) ... saya tidak bisa mengontrol apa yang keluar dari mulut orang lain, tapi saya bisa mengontrol apa yang saya tulis dan bicarakan. Sama seperti di blog ini, adalah opini saya sendiri, jadi apabila ada yang tidak berkenan ya saya harus siap menerima kritikan dan masukan, begitu bukan? Selamat berakhir pekan dan selamat merayakan Imlek bagi yang merayakan :)

Friday, January 20, 2012

Umuk


Umuk  kalau dibahasa Indonesiakan artinya kurang lebih pamer. Topik ini saya bagikan kepada teman-teman karena ada sesuatu yang  menggelitik setelah mengikuti jejaring sosial pada  beberapa tahun terakhir.
Dari jejaring sosial ini, saya kian yakin karakter setiap  manusia bisa tertangkap dari status-status yang dia wartakan. Lebih dari itu, seseorang memang jadi lebih suka "telanjang" dengan dirinya. Boleh jadi saya salah. Wajar saja wong saya bukan psikolog atau dukun hehehe. Saya tidak akan membahas yang serius-serius. Nanti malah di kira bergunjing. Yang lucu-lucu ajalah.  Biar asyik.
Ada beberapa tipe orang yang saya masukkan list ketika mengamati para facebooker ini.  Sukanya marah-marah dan  menyindir-nyindir orang. Karena masuk home, sialnya pas   selalu tertangkap mata saya. Sampai ikut-ikutan capek dibuatnya. Terpaksa saya mendeletenya. Eh belakangan saya baru tahu kalau sebenarnya ndak perlu mendelete orang karena yang bersangkutan bisa  di “hide” dalam facebook.  Hihihi, gaptek bener saya.  Mendelete orang itu sebenarnya juga ndak perlu, karena ini berarti kita  masih terpengaruh obyek luar. Padahal kalau obyek di luar kita tak bisa berubah, kita ndak perlu terseret di dalamnya. Cukup menyadari obyek itu saja. Ealah....  kok  ya kadang-kadang “ego” ini masih tebal ya. Hiks.

Kedua, seseorang yang merindui pacar dan selingkuhannya...hehe. Untuk soal selingkuhan, saya yakin yang dirindui pastilah akibat CLBK, yang ketemunya juga paling-paling di jejaring sosial juga. Hayo ngaku. Begini pengamatan sekilas,  saya hampir tidak pernah melihat status seorang istri atau suami yang  merindui pasangannya di status. Nah, kalau dia berlebai-lebai di facebook,ngomong rindu terus...ah...saya pastikan dia pasti rindu dengan  seseorang yang bukan suami atau istrinya. Hayo ngaku....Kangen suami ama istri itu sangat berbeda "touch"nya dengan selingkuhan lho. Wakakakak. (kayaknya saya sudah bener-bener nyinyir nih).
Saya lanjutkan deh. Untuk tipe  ketiga, ada yang  bikin status berdoa, dan minta-minta  terus. Ya Tuhan, lancarkanlah perjalananku. Ya Allah, mudahkanlah segala uruan hari ini. Ya Tuhan, semoga hari ini tidak hujan. Saya tuh  sebenarnya mau ngomong begini. “Ya Tuhan, pingin tahu dong, hari ini yang meminta-minta berapa orang? Boleh ngintip nggak? Pusing nggak harus mengabulkan permohonan mereka semua.” Itu pertanyaan usil saya. Tapi saya menahan diri tak membuatnya karena kok setelah saya piker-pikir nyinyir ya saya.  
Baru-baru ini sebuah artikel menyebutkan  anggota facebook di seluruh  dunia berjumlah 700 juta.  Kalau facebook jadi Negara, maka dia menjadi penduduk terpadat ke-4 di dunia setelah China, India, dan Amerika.  Saya membayangkan kalau separuhnya saja, yakni 350 juta orang di facebook minta pada Tuhan dengan berbagai macam hal, wah kalaupun Tuhan punya sayap satu detik, dia bisa melakukan berapa banyak  perkara ya? Hihihi. Atau cukup merem lalu bim salabim semua permintaan kita dikabulkan.
Ternyata, pikiran saya dan teman-teman senada. Alhamdulilah. Suatu hari saya melihat status teman bilang begini. “Apa Tuhan ada di facebook ya, kok pada minta-minta.” Kira-kira begitu  bunyinya. Gotcha. Saya tertawa terbahak-bahak. Teman saya jauh lebih berani ketimbang saya, deh. Tapi saya membela diri. “Tuh, kan nggak Cuma saya yang berpikiran itu.”
Lah kok jadi ngelantur. Kembali ke soal pengamatan saya di jejaring sosial.  Ada orang yang selalu  bikin status sempurna sekali hidupnya.  Kalau ada ponten, raportnya 10 deh. Blas nggak ada susahnya, dan tidak ada cacatnya blas. Hidupnya begitu sempurna.  Sampai-sampai si komentatornya banyak yang memberikan apresiasi, pujian dengan hidup si orang ini.  Saya mencoba berpikir positif. Oh mungkin si A ini masa lalunya  brengsek, sehingga ingin menjalani hidupnya dengan baik sekarang, bertobat, dan kini menjadi “Malaikat”.  Tapi saya pernah membaca buku, seseorang yang pintar menyembunyikan sesuatu dengan sempurna dalam hidupnya, padahal sebenarnya hidupnya tidak baik-baik saja, akan mengalami “bom” dalam hidupnya. Tinggal menunggu taaaaarrr…pecah. Tapi semoga endak ya? J
Tipe lainnya, selalu mengabarkan keberadaan dirinya. Ke bandara, lagi makan, sedang bobok dll. Weleh… saya nggak komen ah soal ini. Narsisismus. Hihihii. Apa itu. Nggak tahu deh. Asal nyebut aja. Nah tipe lainnya adalah  orang yang suka memamerkan  rumahnya, mobilnya, dan lain-lain.  Pendek kata ada orang yang memang sukanya “umuk.”
Pertama, saya memang ndak punya barang yang mesti dipamerkan. Kalaupun ada itu punya orang tua semua je. Bukan punya saya. Jangan-jangan karena itu saya ndak bisa umuk  ya. Bisa jadikan? Hahahaha. Kedua, orang yang saya tahu dia benar-benar tajir, tajirnya benar-benar ngap-ngapan, ndak pernah umuk kekayaannya di jejaring sosial. Hihihii. Lha mereka yang lebih tajir aja ndak sebegitunya, mosok kalaupun saya ada, berani  pamer sementara ada yang lebih dari saya. Di atas langit ada langit cing. 
Selidik punya selidik, ada teman yang bercerita, mereka yang  sudah tajir  tidak akan pernah pasang badan memposting yang mereka miliki  karena  berbagai alasan. Pertama takut digarong. Kedua, menghindari pajak. "JAdi kalau orang kaya yang super kaya, nggak akan mau memberitahu kekayaannya. Kalau perlu pakai  nama orang lain biar nggak ketahuan dia kaya." Nah lho.  Begitu ya pola pikir orang  tajir yang tajirnya nggak setengah-setengah itu. Hihihiihi. 
Saat saya ngobrol tentang  fenomena ini, teman saya bilang. "Ih itu namanya nyinyir, suka ngurusi orang lain."  Iya juga ya. Tapi begini. Saya utarakan alasannya.  Menurut saya menahan diri umuk di jejaring sosial itu juga mengurangi seorang yang lain "tidak panik." Tahu si A punya begini begitu, maka B atau C yang lain  merasa cemas, pingin punya hal yang sama. 
Saya lalu bercerita tentang pengalaman saya. Hampir tiap minggu saya jalan-jalan. Entah kota terdekat, atau kota jauh-jauh. Itu kan juga kategori umuk juga sebenarnya plus narsis.  Lalu salah satu teman saya bilang begini. "Enak ya kamu bisa jalan-jalan terus. Aku ndak bisa karena ada anak, kerja, dan lain-lain." Saya melihat ekspresi wajahnya sedih. Wah sejak itu saya jadi tidak enak deh. Tiba-tiba saja saya membayangkan, kalau saya jadi dia bagaimana ya? 
Tapi dasar kadang  diri ini juga pingin eksis, maka umuk tetap saja bagian sehari-hari. KAlaupun saya masih suka posting  jalan-jalan, frekwensinya dikurangi. Kecuali lho ya, memang itu pekerjaan saya. hehehe. LAlu, biasanya kalau sudah begitu saya membela diri. Umuk  posting jalan-jalan itu  "dosanya" lebih tipis ketimbang mereka yang umuk rumah, mobil, dan lain-lain.  Teman saya manyun. "Huuuu...ndak mutu. Sama sajalah." Intinya gini lho. Facebook itu kan beranda  diri kita. Mau posting apapun itu hak pribadi.  Tapi ya itu tadi kalau orang mencap kita tukang "umuk" ya jangan marah ya. Atau harus belajar lagi  etika berjejaring sosial. Peace ah.....

Yogyakarta, kaki bengkak punggung nyeri, obatnya ya ya menulis blog-lah.

Social media

Saya bukan pakar sosial media (sosmed) tapi pengamat saja. Belakangan ini banyak selebritis Hollywood yang kebakaran jenggot karena banyak berkoar di twitter atau facebook yang merupakan konsumsi publik sehingga postingan mereka tentunya bisa menimbulkan diskusi yang berlanjut di media massa. Dan ternyata bukan hanya di luar negeri saja, belum lama ini dunia twitter sempat ramai juga dengan perang twitternya salah satu eh salah dua artis di Indonesia.

(gambar nge link dari xing.com)
Internet, kemudian sosmed ini membuat dunia semakin transparan, apa yang kamu tulis tidak bisa ditarik kembali, mulutmu (atau lebih tepatnya, keyboardmu) adalah harimaumu. Belakangan ini saya sering membaca blog/status/notes teman-teman yang mengkritik status-status di sosmed ini yang membuat saya ingin menulis tentang hal ini.

Memang banyak orang yang 'membuka' dirinya di sosmed. Sedang marah dengan suami/istri? buat status.... ntar baikan terus dibelikan sesuatu...buat status. Sedang galau, buat status berdoa ke Tuhan...doa dikabulkan ...buat status lagi...dan masih banyak lagi. Buat saya pribadi semua status tersebut sah-sah saja, itu akun masing-masing, kalau tidak suka ya di unfriend aja kan gampang hehehehehehe
Belum lama ini saya sempat ngobrol dengan teman baik saya mengenai status-status galau di sosmed. Apakah mereka ini memang galau dari dulu atau menjadi galau karena sosmed? Saya rasa kok sosmed ini hanya media saja untuk mengekspresikan kegalauan. Sebetulnya dulu juga banyak yang galau, saya tahu karena saya sering menjadi tempat curhat berbagai kalangan sejak jaman belum ada internet hehehehe

Setelah tahun baru kemarin dua teman saya bertengkar di facebook mengenai isi status di facebook, karena ya itu tadi salah satu tidak setuju dengan status yang satunya. Sebetulnya mudah, tidak perlu dibaca atau di unfriend saja. Majunya teknologi juga membuat kita bisa memilih media mana yang ingin kita gunakan, kita baca, kita ikuti. Di sisi lain, kita juga tidak boleh marah bila tulisan kita dikritik atau didebat di public. Dengan mem publish tulisanmu itu artinya kamu memang siap untuk menerima komentar, kecuali itu di facebook dengan privacy setting atau di blog dengan setting tanpa komentar.



Pada akhirnya, silahkan memilah sendiri informasi apa yang ingin kita share dengan seluruh dunia. Ingat semua orang bisa mengakses informasi ini, calon pacar, calon mertua calon boss, tetangga, musuh dll. Dan jangan lupa juga dengan melemparkan opini ke dunia maya ini maka harus siap apabila orang yang mempunyai pendapat berbeda mengekspresikan pendapatnya tersebut. Dan juga, tetap jangan lupa etika atau netiquette yang perlu dijaga, terutama privacy orang lain tetap harus dihargai.

Selamat bersosial media :)

Monday, January 16, 2012

Etika memakai handphone/gadget

Tidak bisa dipungkiri, kehadiran gadget yang semakin canggih membuat manusia semakin tergantung dengan tekhnology. Saya sendiri - jujur - tidak betah seharian tidak browsing, cek email, chatting. Banyaknya handphone baru untuk mobile internet membuat dunia benar-benar serasa dalam genggaman.

Saya di sini tidak ingin menulis tentang kegunaan gadget-gadget tersebut melainkan lebih ke etika penggunaannya. Tentunya selain dunia serasa berada dalam genggaman, kitapun jadi selalu bisa dijangkau atau dihubungi melalui blackberry, iphone, handphone dll yang setia menemani kita ke mana saja. Tentu saja ada beberapa pekerjaan yang mengharuskan seseorang selalu bisa dihubungi, tapi tentunya tidak 24 jam sehari 7 hari dalam seminggu kan? Tapi, apakah segitu perlunya kita untuk tidak ketinggalan berita di twitter, facebook, email, bbm atau apapun itu sehingga kita tidak bisa meluangkan waktu untuk manusia real yang duduk di depan kita?
 
Sering di saat sedang berbincang-bincang, orang yg saya ajak bicara mendengarkan sambil membuka gadget nya yang membuat saya berpikir apakah saya begitu membosankan sehingga orang tersebut masih perlu membuka gadgetnya? Sering juga saya lihat dua orang yang sedang berkencan di restaurant duduk berhadapan tapi bukannya berbincang berdua melainkan masing-masing sibuk dengan gadgetnya.Bahkan di bioskop sering saya liat sepanjang film ada orang yang sibuk dengan gadgetnya, lah mendingan gak usah nonton aja ya kalau begitu?

 Saya sendiri biasanya tidak mengeluarkan blackberry bila sedang bertemu dengan orang. Kalaupun saya sampai mengeluarkan ya biasanya karena lawan bicara saya sibuk dengan handphone nya daripada bengong ya akhirnya saya juga ikutan buka. Etikanya menurut saya sih adalah tidak sopan membuka handphone disaat sedang berinteraksi dengan orang lain, kecuali memang sedang menunggu telpon penting atau kamu adalah seorang dokter yang sedang tugas jaga. Biasanya bila saya sedang menunggu telpon atau berita penting sebelumnya saya akan minta maaf dulu sebelumnya ke lawan bicara saya. Menurut saya apabila sedang bertemu dan salah satu malah sibuk buka facebook,bbm atau apapun itu artinya pembicaraan tidak menarik sehingga perlu untuk lawan bicaranya membuka gadgetnya yang pastinya lebih menarik dan kalau sudah begitu biasanya lebih baik pembicaraan diakhiri saja. Bukannya saya sok atau gimana tapi rasanya sungguh tidak menyenangkan apabila sedang berbicara tetapi lawan bicara kita tidak mendengarkan. Bagaimana menurutmu?