Pages

Wednesday, December 14, 2011

PMS

Satu hal yang saya merasa kurang beruntung menjadi perempuan adalah harus mengalami menstruasi. Ini karena saya terkena endometeorosis. Karena itu, jika pas  palang merah, saya  kesakitan sampai gulung-gulung, perut melintir,  pucat pasi bahkan sampai sulit berjalan menjadi  langganan rutin tiap bulan.

Kadang-kadang saya ngiri dengan temen yang tidak bermasalah dengan menstruasi. Datang bulan seperti hari-hari biasa, tak ada bedanya.  Beda dengan saya yang mesti berjuang dari  segala kesakitan. Bekerja tak bisa, males ngomong, males makan.Mau begini salah mau begitu juga salah. Semuanya serba tidak menyenangkan. 


Selain rasa sakit di hari H, ada yang lebih gawat dari itu sebenarnya. Yup. Pre Menstrual Syndrom. Mengapa saya bilang gawat? Karena ketika mengalami ini, kita seperti kehilangan diri kita. Saya misalnya bisa emosi meledak tidak karuan ketika PMS. Hubungan dengan temen, keluarga, dan pacar bisa terganggu gara-gara ini. Tak jarang hubungan rusak karena terkena PMS. Hiii....

Agar sering tak salah paham, kadang-kadang saya minta diingatkan pacar saya (kalau pas sedang pacaran hihihi) agar lebih baik menjauh ketimbang kena semprot. Bahaya jack. Begitu masa itu lewat, semuanya juga akan baik-baik saja. Kembali normal seperti biasa.


Dari pengamatan saya, PMS tidak selalu diawali dengan  emosi yang tinggi. Ada kalanya saat PMS muncul, saya jadi suka berdandan. Wajah lebih bercahaya dan jadi terlihat cantik ketimbang hari biasa. Nah, kalau masa ini muncul senangnya....:)

Yang tak kalah repotnya sindrome PMS adalah  ketika libido muncul sementara saya belum punya kekasih. Wahhhh...sing ada lawan. Hahahaha. Kalau udah begitu, saya biasanya jogging. (emang ada hubungannya? hehehe) saya percaya olahraga bisa membuat kita sejenak melupakan  libido yang  tinggi hehehe.

Yang lebih penting dari semua itu, menyadari masa PMS itu akan hadir, jelas membuat saya lebih bisa mengontrol diri. Meski pada prakteknya sering kelupaan. yang paling senang kalau pasangan di sebelah kita memahami kondisi ini. Dan menjadi lebih sabar menghadapi perempuan PMS. Wah senangnya....:)

Yogyakarta, 14 Desember 2011

Tuesday, December 13, 2011

Tentang Doa

Untuk mengerti esensi doa barangkali kita perlu menyelami apa yang bukan doa. Ada seseorang yang pergi kepada seorang guru sufi dengan mengendarai seekor unta. Sampai di halaman rumah gurunya, unta itu dibiarkan tanpa diikat di sebuah pohon. Orang itu berkata,"Guru, saya percayakan segala sesuatunya ke dalam penyelenggaraan Allah. Saya biarkan unta itu tanpa saya ikat di batang pohon."

Guru sufi itu membentaknya. ,"Hai orang tolol, keluar engkau dan tambatkan unta itu di batang pohon pohon sekarang." Allah tidak bisa diganggu dengan hal-hal yang seharusnya bisa kita selesaikan.

Sering kali kita naif dalam doa kita. Kalau anda lapar, carilah makan. Kalau Anda haus carilah minum. Kalau lapar dan haus jangan diam saja dan berdoa supaya Tuhan mendatangkan makanan dan minuman tanpa usaha. Maka, doa yang benar membuat kita bertindak benar.

(Dipetik dari buku Meditasi sebagai pembebasan diri, J Sudriyanta SJ)

Monday, December 12, 2011

Petang yang Indah

dalam sebuah percakapan petang

sahabatku: hemmmm...sepertinya aku mencintai seseorang
saya: siapakah dia?
sahabat : teman sekantor
saya: bagaimana kau mencintainya?
sahabat :pelan-pelan, tetapi lama-lama banyak
saya : dan dia tahu kau mencintainya?
sahabatku : nggak.
saya : yaelah...lagi??? jangan seperti aku.
sahabatku : when you dream about someone
and suddenly you REALIZE someone is just like that
in front of you jaminan deh, yang ada lo bingung harus gimana.

penutupnya: satu pesan untukmu dariku boleh tak? mencintailah satu hari ini saja, sepenuh-penuhnya. karena besok sudah memiliki cerita sendiri. dan tak usah mengingat yang krmn karena kmrn adl masa lalu. jadi ketika dia tak lagi mencintaimu suatu saat nanti, maka kau bisa mencintai lelaki lain. sama seperti kau punya cinta sebelumnya.

Ps. Kau boleh tak menyetujui pesan ini tentu saja.

tapi terimakasih ya, kau memberiku petang yang indah. aku merasai jatuh cintamu. krn aku sdh lama tdk. dan aku memerlukan itu rasanya. akhir2 ini aku perlu sedikit gejolak...karena semuanya berjalan stabil, baik-baik saja,  dan datar...:)

I love you, dear.

Sunday, December 11, 2011

Cabe

Sanggupkah kalian menyantap sesuatu tanpa cabe di dalamnya?  Apalagi kalau yang disantap makanan jenis bakso, soto, mi kuah. Ya ampun! Makan tanpa cabe itu buat saya ibarat masak sayur tanpa garam, pacaran dengan kekasih tetapi tak pernah menikmati kecupannya. Hehhe yang terakhir mah agak lebay.  Tetapi asli makan sesuatu tanpa ho hah ho hah itu sungguh garing, tawar, nggak berasa apa-apa rasanya.


Saya ingat ketika di bangku sekolah dasar,  kami punya acara  rujakan bareng teman-teman.  Ide rujakan  ini kami buat karena masing-masing punya pohon  sendiri, ada yang memiliki pepaya, mangga, jambu. Nenas dan timun, karena umumnya tidak kami miliki, maka membeli di pasar salah satu solusinya. Tapi biasanya saya yang berinisiatif membelinya. Nah, buah hasil  kebun masing-masing disatukan, lalu dibuatlah bumbu rujaknya. Asyik ya pesta rujakan ini?

Di kampung saya, rujakan lebih popular dengan sebutan lutisan. Sebelum menentukan siapa pembuat bumbunya, saya bersama membuat ritual hompimpahalaiyumgambreng. Hasil akhirnya pingsutan yang kalah akan menjadi pembuat lutisan. Pembuat lutisan juga disesuaikan dengan si pembuat. Kami yang menang cuma pasrah bongkokan dengan pembuat bumbu. Di larang protes jika bumbu rujak rasanya tidak enak.

Apa hubungannya dengan cabe? Tentu ada. Secara umum bumbu lutisan terdiri dari gula merah, cabe, asem, bawang putih, dan kacang tanah yang digoreng. Tetapi ada yang punya kebiasaan menambahkan kencur agar segar. Ada pula yang menambahkan  terasi, agar aromanya lebih kuat dan rasanya lebih bernas. Nah, cabe inilah yang menentukan  “serunya”  rujakan bersama di masa kecil saya.


Saya masih ingat, di kampung saya Sumatera Selatan itu, ukuran cabe itu bukan berapa biji untuk satu kali lutisan? Tetapi berapa kilogram cabe yang akan dimasukkan dalam rmuan lutis? Bayangkan saja kepedasannya. Kalau bumbu lutisan biasanya warna dominannya adalah coklat gula Jawa, maka lutisan bikinan kelompok masa kecil kami berwarna merah saga.


Biasanya kesepakatan kami selalu berakhir di angka seperempat kilogram saja. Itu saja sudah membikin bibir kami semua jontor, njedir, muka merah meruap, telinga sampai pekak (budeg) saking panasnya.  Keringat  bercucuran di mana-mana. Dan ups…maaf umbel produksi dadakan ini meler kemana-mana. Saya ingat karena kami masih belia, maka kami kerap mengenakan ujung  kaos bagian bawah atau kerah baju untuk menyisihkan umbel itu. Yekssssss…kalau ingat betapa joroknya kami, kadang-kadang jadi malu jika mengenangnya.


Ho hah ho hah…Cuma itu aja lontaran mulut kami sepanjang acara lutisan bersama ini. Dan sekitar setengah jam kemudian acara pesta rujakan ini bubar dengan diakhiri  mengaduh-aduh kepedasan. Beberapa di antaranya mengeluh perutnya sakit. Besoknya, ketika kami bertemu di sekolah satu sama lain mengaku mencret-mencret. Toh, pesta rujakan dengan cabe gila-gilaan terus berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian hanya menjadi kenangan manis semata. Setamat SMP saya sudah pindah ke tanah Jawa dan menandai berakhirnya pesta rujakan itu.

Kegilaan saya pada cabe terus terjadi. Di Yogyakarta, rujakan saya beli melalui pedagang keliling yang memberi isyarat lewat bunyi-bunyiannya yang khas. “tek…tek …tek…tek…” Kami biasanya anak-anak kos langsung menghambur keluar. Berebutan pesan. Nah ini dia. Karena ritual rujakan di kampung halaman dengan cabe yang melimpah, maka biasanya  rujak pesanan saya  dengan cabe 15 biji. Mbak-mbak kos sampai melotot ngeri ketika saya pesan cabe sebanyak itu.

Dan suatu hari ketika saya menginjak bangku SMA, peristiwa itu terjadilah. Saya mengeluhkan sakit perut yang tiada henti. Sampai-sampai saya sulit berjalan. Dokter kemudian memberikan berita yang mengejutkan saya harus dioperasi karena terkena usus buntu.

Cabe salah satu faktornya. Dan begitulah, sejak operasi itu, cabe adalah satu benda yang harus saya jauhi. Sungguh mulut saya kuat menahan kepedasannya, tetapi tidak untuk  perut saya. Setelah 17 tahun berlalu, perut saya kian tak mau diajak bekerjasama dengan cabe.

Jika saya pesan gado-gado atau pecel dengan cabe satu biji saja, perut saya melilit kesakitan. Hingga suatu hari saya merasakan dampak cabe yang begitu hebat untuk tubuh saya. Saya pernah tidak bisa jalan, bahkan untuk ke toilet sekalipun.
Sungguh menderita. Bagaimana obatnya? Saya biasanya minum norit dan menghentikan konsumsi cabe sama sekali. Maka dua hari sakit itu hilang sama sekali.


Tetapi gara-gara cabe itu pula, saya setidaknya sudah di opname di rumah sakit tiga kali karena  usus atau lambungnya terluka. Tidak hanya mampu berjalan, saya muntah-muntah  dan diare sampai 25 kali sehari.  Jika sudah begini, di infuse dan masuk rumah sakit satu-satunya  solusi. Terakhir sepekan lalu peristiwa itu terjadi. Tubuh ini lemas, lunglai, benar-benar seperti tidak berfungsi.


Setelah sepekan dihajar muntah dan diare, rasa-rasanya saya sudah  mantap menyatakan “perang melawan cabe”. Cabe dehhhhh…..


Yogyakarta, 9 Desmeber 2011.

Friday, December 9, 2011

KD, Raul, dan (Saya)

Ketika KD melakukan jumpa pers beberapa hari lalu, puluhan SMS mampir ke handphone saya. Macem-macem bunyinya. Tapi ada satu SMS yang cukup menggelitik sehingga mendorong saya menulis note ini. Bunyi SMS ini: "KD udah ngaku pacaran sama Raul. Masih mau ditahan juga tuh foto yang dijepret Rurit?

Apa hubungan KD, Raul, dan (saya)? Ini bermula ketika saya mendapat tugas meliput di negeri bekas provinsi ke-27 negara kita, Timor Leste, akhir Desember tahun lalu. Pertemuan itu tak sengaja. Saya diajak oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao untuk hadir dalam acara ulang tahun Presiden Timor Leste Ramos Horta. Penawaran Pak PM hanya sesaat setelah usai wawancara selama dua jam setengah jam dari satu jam yang direncanakan.

Salah satu tugas dari kantor yang mesti saya lakoni adalah mewawancarai Pak Ramos Horta. Acara dadakan ini jelas di luar rencana saya. Tapi mendapat kesempatan tak terduga untuk wawancara Pak Ramos jelas seperti mendapat durian jatuh. Maklum, saya belum sempat memasukkan surat permohonan wawancara lantaran libur Natal kantor pemerintahan tutup.

Pak PM menjanjikan akan mengenalkan saya pada Pak Ramos untuk kepentingan wawancara tersebut. Pertemuan itu terjadilah. Sebelum acara peniupan lilin , kami bertiga bertemu. “Transaksi" permintaan wawancara kepada Pak Presdien berjalan mulus, cuma butuh waktu lima menit. Saya diterima Pak Presiden, pukul 10.00 tanggal 27 Desember, keesokan harinya, tanpa birokrasi yang ruwet. (Ah andai Indonesia seperti ini. Mungkin nggak ya?)

Pak PM, Pak Presiden, dan saya kemudian berpisah. (Ya jelaslah, saya, kan bukan first lady-nya?) Mereka kemudian ngobrol bersama tamu yang malam itu berjumlah tak lebih 150 orang.

Begitu sendirian, saya celingukan. Mata saya menyapu pada tamu undangan yang hadir, siapa tahu ada yang saya kenal. Saat itulah saya menangkap dua sosok yang begitu dikenal di Indonesia. Christine Hakim dan salah satu diva Indonesia, Kris Dayanti. Dari obrolan teman-teman dan media portal yang kadang saya baca, KD panggilan akrabnya, tengah menjadi perbincangan hangat karena terlibat kisah asmara dengan pengusaha asal Timor Leste, Raul Lemos. Menurut pemberitaan, Raul masih terikat hukum perkawinan dengan istrinya . Tapi kalau benar, kok berani betul ya Raul mengajak KD dalam acara resmi presiden yang pasti dihadiri oleh banyak tamu penting di negara itu. (Apalagi dari informasi yang dengar di TL, istri Raul, keponakan bekas Perdana Menteri Marie Alkatiri)

Malam itu, KD terlihat anggun dengan rambutnya yang disanggul. Dia mengenakan batik warna coklat tua. Wajah KD tak hentinya mengulum senyum. Bungah itu jelas terpancar dari matanya yang bersinar.

Tentu KD tak sendirian. Sesosok lelaki tinggi tegap, berkulit coklat, dan dandy, menemani KD. Lantaran belum pernah melihat wajahnya, saya hanya menduga dia Raul. Tapi apa peduli saya? Memikirkan harus menyiapkan wawancara dengan Pak Presiden keesokan harinya saja sudah membuat saya nervous. Jadi, mana sempat ngurusin yang begituan.

Merasa sesama Indonesia, saya menyalami Christin Hakim, dan memperkenalkan diri sebagai wartawan Tempo. Agak sok akrab memang. Tapi rasanya garing juga kalau saya cuma diam mematung. CH kelihatan cuek. Sebaliknya, KD menyapa dengan ramah. Kami pun ngobrol.

Kepada KD, pertanyaan saya datar, kapan tiba di Dili, ngapain datang ke acara ini, atas undangan siapa, berapa lama tinggal di Dili, apa komentar dia tentang Dili? Saya bahkan tak menanyakan nama pria yang terus digandeng KD sepanjang acara itu. Tapi KD sempat menyebut “Pak Raul” sebagai pengusaha Timor leste yang berpotensi memajukan Timor Leste. Dalam wawancara singkat kami, KD juga bercerita tentang album barunya bersama Siti Nurhaliza, penyanyi asal Malaysia.

Selama kami berbincang, sesekali KD melayani beberapa fans yang minta tandatangannya. Kadang-kadang ditengah obrolan kami, Raul membisikkan sesutu ke telinga KD. Begitu pula sebaliknya, ketika KD ingin berbicara dengan Raul, maka tubuhnya yang pendek berjinjit menjangkau kuping Raul. Sungguh serasi dan berseri-seri.

Tak lama setelah itu, cara di mulai. Untuk Pak Presiden, KD menyanyikan dua buah lagu, satu lagu Timor, dan lagu Barat berjudul When You Tell that you love me.

Sebelum acara selesai, saya pamit pulang lantaran sudah dijemput. Tapi saya minta di foto bersama KD atas permintaan kakak dan teman jika bertemu public figure. Penata rias KD yang khusus dia bawa dari Indonesia-lah yang menjepret pose kami.

Dengan profesi wartawan, mestinya saya punya banyak koleksi foto para artis, aktor, maupun pejabat. Tapi saya kurang menaruh minat. Satu-satunya public figure yang saya “ngotot” minta berfoto adalah bersama Wakil Presiden Boediono, yang sempat saya wawancara ketika masa kampanye. Saya mengagumi ketenangannya, kesantunannya, dan kecerdasannya.

Usai kami bertiga foto bersama, saya ijin menjepretkan kamera kepada mereka berdua. KD tak menolak, sebaliknya Raul agak keberatan. Kepada saya, KD berujar,“Ini eksklusif lho.Ini baru pertama kalinya foto kami berdua di depan publik yang dijepret wartawan.” Saya pun dengan polos bilang, “Wah beruntung dong saya.” Tapi Raul buru-buru menyela. “Fotonya jangan dijual ya.” Saya membalas pernyataan Raul. “Saya kan bukan koran gosip,” saya menjawab sekenanya. Maksud saya, bukan posi media tempat saya bernaung untuk membuat pemberitaan semacam ini. Ada yang lebih pas, yakni tabloid dan infotainment.

Kami lantas berpisah. Tak terduga, saat pulang ke Indonesia, kami satu pesawat. Begitu turun dari pesawat, saya berada dalam bus transit yang sama. KD-lah yang menyapa duluan. “Hei mbak ketemu lagi.” Dari cerita teman-teman dan artis yang pernah saya wawancara, KD dikenal orang yang ramah pada siapa saja. Dalam dandanan yang santai, KD jauh lebih terlihat segar. Rambutnya yang sebelumnya disanggul dibiarkan tergerai. Satu hal yang sama dengan pertemuan sebelumnya dia hangat dan selalu menyunggingkan senyum.

Begitu masuk bandara Bali, semua orang harus mengantri cap paspor. Padahal antrian sudah mengular. Ketika bermaksud mengantri, Raul menawarkan bantuan. “Sekalian saja kita urus.” “Wah kebetulan,” dalam hati saya. Paspor saya pun berpindah tangan dan diuruskan oleh orang Raul di bandara.

Selama kurang lebih 40 menit, saya mengobrol dengan KD. Raul hanya sesekali menimpali, itupun kalau saya tanya. Setelah urusan paspor kelar, kami berpisah. Kepada saya, KD bilang akan bertahun baru ke Hongkong bersama kakaknya yang lebih dulu berada di sana. Cerita pertemuan antara KD-Raul dan saya selesai sudah. Tapi ternyata tidak dengan urusan foto.

Begitu tiba di Indonesia, saya langsung liputan harian. Liputan Dili sempat saya lupakan. Tapi cerita KD soal album barunya, saya kirimkan untuk Koran.

Tak dinyana, seminggu setelah pemuatan di Koran pada bulan Januari, ada teman dari sebuah tabloid menanyakan apakah saya memiliki foto KD. Soal, bagaimana dia tahu kalau saya bertemu KD, saya duga dari tulisan yang sudah terbit. Saya berterus terang kalau memang memiliki foto KD. Dia berniat membeli foto yang menurut dia belum ada satu pun media yang memuatnya. Saya menolak karena berbagai alasan.

Dia mencecar saya dengan berbagai pertanyaan, antara lain alasan saya enggan memberikan foto itu. Saya sempat menjawab, “Karena memang bukan urusan saya.” Sang temen mash tetep ngotot. Dalam “perdebatan” itu, lama-lama, kok saya merasa menjadi korban intimidatif dia ya? Dia bilang soal jurnalisme, soal wartawan senior, dan bla bla bla. Waduh, kok malah saya yang jadi korban.

Teman saya “ngotot” memakai foto KD-Raul sebagai alat bukti yang menguatkan liputan mereka. Tapi di sisi lain, saya paham, mungkin dia mendapat tekanan dari kantor tempat dia bekerja, agar dengan cara apapun mendapat foto itu.

Tapi saya tetap tidak bersedia memberikan foto mereka berdua. Saya memang sempat memberikan tawaran, silahkan ambil foto, asal ijin KD, tapi dia menolaknya.

Setelah itu, tidak ada cerita lagi. Saya berpikir urusan ini selesai. Saya juga tak tertarik “berjualan” meski saya tahu nilai keeksklusifan foto KD-Raul. Hingga tiga bulan berjalan, tepatnya tiga minggu lalu, teman yang sama mencoba menghubungi saya kembali. Selain dia, ada teman media lain yang berminat terhadap foto itu tetapi tidak terlalu serius memang. Berbeda dengan tabloid teman saya yang memang benar-benar membutuhkan foto itu.

Dia meminta saya mempertimbangkan kembali pemuatan foto KD-Raul dan berkonsultasi dengan kantor Jakarta. Saya berkontak dengan redaksi di Jakarta dan mengatakan tidak akan memberikan foto itu. Rupanya urusan foto belum selesai. Pemimpin redaksi tempat dia bekerja, mengontak atasan saya, meminta koleksi foto KD. Bisa ditebak, urusan ini melebar. Bagian foto tak pernah menemukan foto itu lantaran tidak pernah saya laporkan di bagian pendataan foto. Atasan saya yang semula tidak tahu menjadi tahu.

Namun, teman dari Jakarta dan Biro menjelaskan duduk permasalahannya dengan para “petinggi” media kami. Beruntung, media tempat saya bernaung masih menghargai sikap saya . Mereka satu suara soal foto KD-Raul, menjadi hak saya untuk mengedarkan atau tidak, menjual atau menyimpan foto eksklusif itu.

Ada beberapa alasan saya keukuh tidak ingin mengedarkan foto itu saat semua media mencari foto mereka berdua. Pertama, urusan itu tak berdampak kepada publik. Sebagai contoh, kasus korupsi, penyelewengan jabatan dan kekuasaan dll. Kalau misalnya, KD atau Raul terlibat kriminal atau mereka terkena kasus korupsi yang melibatkan pejabat, bisa jadi foto itu saya edarkan. Tetapi untuk persoalan pribadi, itu bukan ranah saya.

Kedua komersialisasi industri infotainment sudah demikian mengerikan. Bombardir pemberitaan yang ditayangkan berulang-ulang terhadap satu kasus, membuat saya miris. Sebaliknya, masyarakat tak mendapat apapun, kecuali tontonan yang kurang mendidik.

Memang, jika foto itu tayang di tabloid, tak sedahsyat bila tayang di infotainment. Tapi bagaimana jika hasil jepretan di tabloid itu lantas dipakai oleh infotainment dan ditayangkan secara bombardir. Bukankah saya juga turut mendukung komersialisasi ini terjadi di depan mata?

Karena pemberitaan yang bombastis, orang bahkan lupa lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi, termasuk KD bisa menghibur kita yang tengah jatuh cinta, lara, bahagia. Saya tidak terlalu ngefans- amat dengan lagu-lagu KD. Cuma, kalau berkaraoke, saya tak pernah lupa menyanyikan dua buah lagunya, Menghitung hari dan Penantian.

Saya tidak pernah menyesal, foto itu hanya menjadi bagian koleksi pribadi semata. Meski ganjarannya, saya jelas tidak mendapat apa-apa, uang ataupun popularitas. Saya dengan sadar memilih itu. Alasan mendasarnya, saya ingin menyisakan ruang pada diri saya yang akhirnya saya bagikan juga di sini: secuil hati nurani yang belum mati. Saya percaya nurani tidak akan pernah mati, jika kita terus berusaha menjaganya.

Tanpa mengurangi rasa duka yang mendalam peristiwa Tanjung Priok, semoga sekeping kisah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 15 April 2010

Thursday, December 8, 2011

Mengulang Tahun Bersama Sahabat, Iv

Selamat datang tahun yang di ulang. Tahun ini, meski bulan telah lewat satu purnama, kami, saya dan sahabat saya Eva (saya punya panggilan sayang untuk dia, Iv) memutuskan merayakannya di negeri yang pernah dinobatkan menjadi kota tercantik di Asia Tenggara, Saigon, Vietnam. Saigon kini bernama Hochiminh.

Usia saya hanya berselisih satu hari dengan Iv. Soal jarak usia, waw...jauh. Maksudnya saya jauh lebih tua. Soal umur, ndak usah dibahaslah ya hehehe. Bukan malu karena tua. Tetapi mengetahui usia seseorang seringkali membuat komunikasi menjadi berjarak. Ini  menurut saya lo. Saya tidak memaksakan diri jika ada yang berbeda dengan pendapat saya ;) Toh, meski usia berjarak, kami tetap fun dan mengelana bersama di negeri yang  oh my God...kami lebih sering menggunakan bahasa Tarzan.


Dari Yogya, tempat saya bermukim, saya menyiapkan lilin dan kado buat Iv. Saya memang melontarkan ide kepada Iv untuk  mengulang tahun kelahiran kami  dengan  bertukar kado dan membuat pesta kecil. Saya juga menyiapkan rok, yang aih....ternyata  muat di tubuh saya.  Pakaian yang saya kenakan hadiah dari seorang sahabat juga. saya tak percaya  rok itu muat mengingt tubuh saya segede gaban. Hiiiiiii....thanks sahabat untuk kadomu. Sepeertinya aku terlihat cantik  ya? hehehe.


Malam terakhir sebelum kami meninggalkan Vietnam, kami bikin acara itu. ah, Rere yang berangkat bersama kami, seolah  tahu ini malam kami berdua. Kameranya terarah pada kami berdua. Padahal biasanya, tertuju untukmu ya yeye. dan tentu saja,  dandan pol-polan dengan  salon Iv membuat saya yang memang tak pernah berdandan terlihat agak beda...kikikikikikik...


Kami berdua  tak memilih cafe yang mewah. Dengan rok yang begitu feminin  kami makan di pinggir jalan. Nggak  nyambung ching. Emang iya. Kenapa tidak? Kami memesan kepiting  dan kerang yang alamak enaknya. Lalu acara tukaran kado di mulai. Tak ketinggalan  dong, pakai acara meniup lilin yang saya bawa dari Indonesia (hehehe niat banget). Satu lilin kami tiup. Setelah acara tiup lilin kelar...Iv bertanya: "Make a wishnya apa?" Hah, saya bengong.  Tapi sedetik kemudian, saya sadar. “Saya nggak minta apa-apa.”

Iv memberi saya anting-anting kupu-kupu. Tapi  tepat di hari ulang tahun saya, dia memberi kata-kata bijak yang tak akan pernah saya lupa. “Semoga di hari yang indah ini, Mbak Rurit diberikan kebijaksanaan untuk dapat mengubah yang bisa diubah dan dapat menerima yang tidak dapat diubah dalam hidup, serta kebijaksanaan untuk dapat membedakan keduanya.” Bahkan saya masih terharu hingga saat ini.

Dan, terereng, perkenalkan lagi, nama saya Bernada Rurit. Saya belum menikah, dan sedang melakukan  perjalanan spiritual yang intensif sejak 2 tahun terakhir.   Lebih tepatnya perjalanan tanpa diri, sebuah proses yang terus menerus  akan saya lakukan hingga menutup mata.
                                                            ---

Nb:

Tahun kemarin merupakan  hal yang rumit dalam persahabatan saya meski  dalam beberapa saat, saya telah melewatinya dengan mulus.  Saya sempat  kebingungan dengan jawaban atas pertanyaan  yang saya ajukan  untuk diri saya.   “Mengapa seseorang bisa salah langkah dalam hidupnya?  Pertanyaan itu memiliki efek yang dahsyat karena  berpengaruh terhadap  interaksi dengani sahabat-sahabat saya.

Hingga suatu  hari, ketika saya memandang awan di atas jendela kamar saya, sebuah kata-kata bijak  mengalir dengan lembutnya. “Dalam hidup,  seseorang bisa salah langkah.”  Satu kalimat itu sudah menjelaskan banyak hal kepada saya. Saya tidak pernah mengajukan pertanyaan  itu lagi dan beban saya pun  terlepas. Seperti melayang di udara.

Wednesday, December 7, 2011

Tentang Musuh

Beberapa hari ini saya tergelitik  dengan kata musuh. Entah musuh dalam selimut, musuh boongan, atau musuh beneran. Siapa yang pernah musuhan? Atau kalaupun bukan musuh siapa yang pernah tidak disukai orng entah tanpa sebab atau karena alasan tertentu? Kalau belum saya acungi jempol. Seringkali musuh dianggap duri dalam daging. Kita bisa tidak nyenyak tidur, memikirkan perkataan-perkataannya atau sesuatu yang dilakukannya. Atau bisa pula ingin balas dendam karena tak terima dengan yang mereka lakukan. Padahal musuh atau orang yang tak menyukai kita, bukan tak berperan untuk penyadaran batin kita lo.

Saya teringat, ketika dai kondang Aa Gym ketika masih ngetop, memberi siraman rohani di salah satu televisi nasional. Topiknya tentang musuh. Terus terang saya masih ingat dengan baik siraman rohani yang cuma berlangsung beberapa menit saja dan ingin saya bagikan di sini. Mungkin tak persis sama, karena saya menggunakan bahasa saya sendiri dan beberapa hal memberikan penambahan di sana sini tanpa mengurangi maksud dan tujuannya.

Dalam siraman rohani  itu, dia menyampaikan  kita pasti akan berhadapan dengan musuh atau orang yang tidak menyukai kita. Tentu musuh atau orang yang tidak menyukai itu akan melontarkan hal-hal buruk tentang kita ketika berinteraksi dengan mereka. Pasti, kita akan sakit hati ketika mendengarnya. Padahal, menurut Aa Gym, pernyataan, ucapan, lontaran musuh atau orang yang tidak menyukai kita tak selamanya jelek bagi penyadaran diri kita. Mengapa? Karena, orang yang paling jujur menilai kepribadian kita apa adanya, justru biasanya musuh atau orang yang tidak menyukai kita.

Kalau kita punya sahabat, apalagi seiring senada, cenderung sungkan, enggan terus terang, mengatakan apa adanya tentang kita. Umumnya mereka hanya mengatakan hal yang baik-baik saja tentang kita. Bahkan kerapkali ketika jalan kita melenceng pun, dibiarkan saja. Tanpa disadari persahabatan yang tak jujur justru menjerumuskan sahabatnya ke dalam jurang kehancuran.

Seorang musuh atau orang yang tidak menyukai kita karena merasa benci, sebal, dendam, pada kita, maka cenderung akan melontarkan kekurangan-kekurangan kita. Semua yang jelek tentang kita dimuntahkan seperti peluru.
Biasanya begitu sang musuh mengatakan sesuatu tentang kita, maka kita akan marah dan berupaya membalas. Itu manusiawi. Tetapi jika kita merenungkan dan menyadari kembali ucapan musuh tadi, bisa jadi marah kita akan tertunda. Jangan-jangan apa yang mereka sampaikan ada benarnya.

Nah, kadang-kadang peran "musuh" memang dibutuhkan, untuk meneliti batin kita kembali dan mengajak kita masuk ke dalam diri. Bukankah kita seringkali sibuk dengan orang lain, bukannya diri kita? Benarkah yang mereka sampaikan itu? Karena bukankah kita dalam interaksi dengan orang lain kerapkali tidak menyadari batin kita bermasalah dan merugikan orang lain tanpa kita sadari?

Dengan keikhlasan, rendah hati, serta menyadari batin inilah, maka justru suatu saat kita akan merasa berterimakasih dengan "musuh" atau seseorang yang tidak menyukai kita karena telah memberikan penilaian tentang kita jujur, apa adanya. Justru penilaian jujur itu bukan dari sahabat yang kita sayangi. Musuh atau orang yang tak menyukai kita, selalu ada untuk menjaga terus kesadaran kita yang kerap kali "bablas". Melalui salah satu "musuh" inilah "eling" atau sadar itu bersama kita. Sehingga ketika tercerahkan, kita tak lagi menganggap musuh sebagai "musuh". Salam sadar setiap setiap.

Semoga bermanfaat untuk saya dan teman-teman.


Yogyakarta, 19 November 2011

Kulit putih itu cantik?

Sebuah fenomena yang saya perhatikan dari jauh adalah perubahan nilai estetika di Indonesia sejak pertengahan/akhir th 90an mengenai warna kulit seperti apa yang dianggap ideal.
Saya masih ingat dulu di iklan Citra (body lotion) kulit ideal adalah kulit berwarna sawo matang atau kuning langsat, sekarang iklan-iklan produk kecantikan menekankan bahwa cantik yang ideal adalah mereka yang berkulit putih.

Tentu saja cantik itu relatif. Tapi sekarang di Indonesia, dengan berkulit putih saja, paling tidak sudah mendekati cantik. Ini hanya hasil pengamatan pribadi saya sendiri loh. Dari komentar orang yang lama tidak bertemu saya biasanya “Ayu, ya ampun gemuk banget kamu sekarang! Tapi kamu putih loh sekarang.” Yang kemudian saya terjemahkan sebagai yah nggak apa-apa lah gemuk tapi putih, nggak parah kerusakannya hahahahahahahaha
Buat Amara, anak perempuan saya yang berumur 10 tahun, masalah kulit putih ini agak membingungkan, karena kulitnya sawo matang. Di Eropa, warna kulitnya ini banyak digilai dan Amara selalu mendapat pujian apalagi di musim panas karena kami sering berjemur sampai warnanya sawo matang banget….eh sesampai di Indonesia justru warna kulit yang digilai di Eropa tidak disukai dan banyak komentar dengan nada heran, "Amara kok item ya?" menyiratkan bahwa berkulit hitam atau coklat adalah jelek.


(ingin kulit coklat malah jadi orange)
Hal ini saya jadikan pembelajaran untuk Amara bahwa cantik itu relatif dan bahwa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Di Eropa kulit sawo matang itu cantik, sehat, prestige. Kenapa prestige? Ya artinya ada duit untuk berlibur dan berjemur di pantai, untuk perawatan atau ke tanning studio atau beli produk-produk kulit agar menjadi berwarna karena kulit putih pucat justru kurang disukai. Di Indonesia, kurang lebih sama hanya bedanya warna kulit yang lebih prestige itu warna putih. Bahkan belum lama ini saya liat ada lowongan pekerjaan di salah satu provider selular di Jogja syaratnya adalah sebagai berikut: wanita, tinggi min 160cm, putih, dsb dsb. Kalau di luar negeri itu sudah masuk kategori rasis sebetulnya. Tapi mungkin provider tersebut ingin jaga nama dengan menampilkan customer service yang putih, karena putih itu cantik, putih itu prestige.

Buat saya sendiri sih, kulit yang cantik adalah kulit yang bersih dan sehat… mau putih atau coklat yang penting bersih dan sehat. Jadi, apakah berkulit putih itu pasti cantik?

Sakit

Pernahkah kalian merasakan tubuh ini sudah tidak bisa diajak bekerjasama ketika kelelahan benar-benar mendera. Atau pernahkah kalian merasakan saat tubuh ini seakan  tak mampu berfungsi ketika maag akut menghantam perutmu? Makan tak bisa beraneka warna lantaran  jenis makanan yang dikunyah mesti seragam, hanya bubur sepanjang pekan. Berbaring terus terusan juga tak nyaman. Saya baru tahu bahwa kebanyakan tidur itu juga membuat tubuh lemas tak bergairah.

Tapi dari ketidakberdayaan ini saya menemukan satu hal. Saya menyadari   telah menyia-nyiakan waktu yang amat berharga dalam hidup ini. Saya merasa membuang waktu banyak untuk hal yang tidak perlu. Waktu terus berjalan. dan tiba-tiba ketika sudah terlampaui, tubuh ini, harapan, cita-cita, rencana  masih berada di titik yang sama  seperti berminggu-mingu lalu, berbulan lalu, bahkan bertahun lalu.

Bagaimana dengan kalian. Pernah merasa seperti saya?

Surabaya, 7 Desember 2011

Dalam ketidakberdayaan, dan menyempatkan diri untuk  menulis. 






Tuesday, December 6, 2011

Sensasiku

Masihkah Kalian Punya  Sensasi Yang Belum Terwujud?

Saya punya. Mungkin buat orang lain bukan sensasi,  tetapi buat saya ‘iya’.  Memang sih  sensasi saya  norak. Tapi namanya juga angan-angan,  nggak ada salahnya kan? Siapa tahu mewujud .   Pertanyaan itu diajukan oleh salah satu kawan ketika kami “nyangkruk “ bertahun lalu. Sembari menyeruput coklat, minuman kegemaran saya, kami menghabiskan  cerita sensasi ini sampai berbusa-busa.

Tadi malam,  obrolan sensasi  juga terjadi kala saya dan seorang kawan menyeruput coklat. Kali ini saya yang memulainya. Tak jelas bagaimana awalnya, tahu-tahu  obrolan sensasi menghangat.  Terbersitlah ide menuliskannya dlam note.  Nggak penting, mungkin.

Tapi akhir-akhir ini saya  mesti banyak menulis guna  menciptakan atmosfir menulis setelah saya padamkan selama empat bulan.  Apa alasannya, tidak penting untuk diceritakan. Terlebih kawan saya menagih tulisan  ini pagi tadi. Wah saya memang perlu diingatkan, biar nggak “nggambleh”. Jadi mari kita bahas sensasi  impian saya.

“Saya ingin berciuman dengan  orang yang saya cintai  di lift yang angka lantainya lebih dari 25,” kata saya kepada dia.  Saya berhenti sejenak,  menyeruput cuklat  bertabur keju di depan saya. Hemmm nikmatnya.  Mata teman saya terbeliak. “Hah? Nggak biasa ini?,” katanya.  “Ya namanya juga sensasi, pasti  agak anehlah,”  jawab saya buru-buru.  “Sensasinya dimana?,” tanyanya lagi. “Berciuman di lift yang punya  lantai di atas angka 25 itu butuh waktu agak lama, lho?. Setidaknya 10 menit bolak balik. Belum lagi kalau di tiap lantai ada yang tiba-tiba masuk. Nah deg-degannya itu yang  pasti bikin sensasi tersendiri. Antara menikmati ciuman itu sendiri dan harus berkonsentrasi jika “ting …ting” tanda ada orang masuk. Gugup pastilah, apalagi kalau ketahuan orang.

Teman saya manggut-manggut.  Ekspresinya  sulit saya ceritakan.  Tapi kurang lebih “Wong aneh tenan ki koncoku.” hihihihi. Memandanginya, saya cuma  cengar cengir dan mengulum senyum.

Cerita tentang gugup itu sendiri, bukan perkara sederhana untuk saya.  Gugup , buat saya adalah sensasi  yang  menggetarkan.  Coba kalian ingat, kapan terakhir kali gugup.  Gugup yang saya ceritakan bukan  karena ketahuan korupsi lho. Dalam konteks ini,  gugup yang sedang saya bincangkan  ketika kita sedang bersuka-suka dengan  teman,  pacaran  baru tetapi masih malu-malu, ketemu temen baru, atau ya gugup karena tidak ada  alasan. (aih kalau ini nggak mungkin).  Pendek kata, getaran  kegugupan itu sendiri,  sensasinya juga tak terjemahkan.  Bikin gagu, jantung berdegup lebih kencang,  ngomong salah-salah, atau bertindak juga jadi kacau. Nah, begitulah.  “Bikin hidup lebih hidup,” kata  sebuah iklan.

Nah, dalam kitannya  mewujudkan sensasi  itu, percaya tidak, saya pernah sampai mengamati dengan detil,  gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Karena  dulu saya tinggal di Jakarta,   apalagi kerap melakukan tugas jurnalistik, saya  jadi tahu  gedung-gedung mana saja yang memiliki lantai di atas  25 tingkat. Jam berapa  kantor itu padat pengunjung, jam berapa sela. Benar-benar niat ya?

Tapi  seperti  cerita bersambung, kisah  impian sensasi ini belum berakhir.  Bisa ditebak bukan?  Saya belum pernah melakukannya, meski  saya  punya pacar dalam beberapa masa.  Ehem.

Sensasi  kedua yang ingin saya lakukan adalah bersama yang tercinta  menyaksikan kembang api di Singapura.  Lalu apa sensasinya? Ini sebenarnya kisah yang  sempat saya  simpan rapat. Alasannya, sederhana, takut orang punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi  sudah  saya buang persepsi itu karena  tidak ada yang perlu ditakutkan.

Kejadiannya tahun 2002. Saya melancong  ala backpacker dengan dua sahabat saya Zara dan Siska.  Pada waktu itu, saya hanya  memberikan budgjet Rp 3 juta dlam perjalanan ke ke tiga negara  Singapura, Malaysia, dan Thailand.  Selama  dua minggu perjalanan itu,   keuangan sudah menipis di Thailand.  Dua sahabat saya memutuskan naik   pesawat dari Thailand ke Indonesia. Saya ngotot tinggal. Alasannya sederhana. Saya ingin membuktikan  Rp 3 juta itu bisa nggak sih keliling ke tiga negara?

Saya naik perjalanan darat dari Thailand ke Singapura sendirian. Hehehe cukup heroiklah. Satu malam di bus, bener-bener  garing.  Dari Singapura perjalanan mestinya berlanjut ke  Batam menuju  Jakarta  dengan  pesawat.

Dasar  naluri petualangan saya, duit  tak sampai  Rp 500.000 masih ngotot tinggal semalam  di Singapura. Ya…hari itu tanggal 31 Desember,  saya  menginjakkan kaki  kembali di Singapura.   Biar agak keren (norak  betul) saya pingin  bertahun baru di Singapura. Aih…rasanya  waktu  itu agak keren juga ya kalau pas lagi nongkrong  sama teman-teman, ditanya,” Tahun baru kemana?”  Lalu saya jawab “Singapura.” Yeksss… ingat itu saya jadi malu. Norak norak. Saya pingin mauk ke got  kalau ingat kenorakan  itu.  hiiii.

Jadi begitulah. Saya memutuskan, biar badai topan melanda, saya harus bertahun baru di  Singapura. Pesta kembang api-lah yang menjadi magnitnya.   Ini karena saya dengar, pesta kembang api di Singapura keren banget.  Kembang api seperti nafas hidup saya. Saya suka sekali.  Kesenangannya sulit dilukiskan.

Nah, Inilah awal cerita sensasi  itu.  Di stasiun MRT  Jurong (saya agak lupa) saya melihat bule yang lagi  bengong.  Tampangnya kelihatan baik. Saya menyapanya.  Dia bilang mau cari motel.  Keinginan kami sama.  Dasar sok tahu, saya bilang, saya punya referensi hotel yang biayanya murah antara lain daerah Tanjung Katong.  Ketika kami telepon, hotel penuh semua.  Saya memang  konyol, malam tahun baru di negeri yang menjadi tujuan wisata, belum pesan hotel. Waduh…saya mulai panic. 

Atas rekomendasi dari warga Singapur, kami diminta ke Little India. Di kawasan itu, menurut cerita mereka, ada banyak  pilihan hotel yang harganya miring. Dan tibalah kami  di hotel, ketika petang menjelang.  Begitu tiba di hotel, astaganaga. Saya hampir pingsan.   Mahal amat. Jelek amat.   Nggak ada  pendingin, puanasnya minta ampun, kumuh. Yang bikin saya melotot, kok bisa ya kawasan   kayak gini bisa jadi jualan  wisatanya Singapura. Halah. Indonesia jauh-jauh lebih asyik dan menarik deh.  Saya sudah mau balik badan, cabut dari tempat itu. Tetapi Tobias, nama turis Jerman itu, melarang saya. Dia bilang, “Kan cuma untuk tidur sebentar saja.  It’s oke-lah,” katanya.

Dan yaelah astaganaga. Harga kamarnya waktu itu   35 $ dengan kurs  Rp 5500. Sial, sial, sial. Bener-bener negara seiprit yang nggak yeye banget soal kemahalannya.  Sebagai perbandingan, saya menginap di Thailand dan Malaysia dengan tarif  Rp 125.000 hotel sudah AC dan dapat makan pagi.  Di Hotel Khaosan Road, kami lebih gila lagi, nginep Cuma Rp 20.00 semalam, tetapi jauh lebih manusia ketimbang kamar yang saya masuki di Singapur. Nggondok buanget.

Tobias sendiri juga terlihat  kaget dengan tarif  untuk hotel sejelek itu. Lantaran si backpacker ini  sudah menghabiskan uangnya  sebesar Rp 120 juta untuk keliling dunia, maka kondisi keuangannya juga sudah menipis.  Singapura adalah tujuan terakhirnya ke Asia. Selanjutnya dia akan mengunjungi Australia dan kembali ke Jerman.  Dengan duit yang makin cekak,  dia mengatakan  harus mengirit perjalanan.

Tak terduga, yang bikin saya melotot, dia berujar pada pemilik hotel. “Boleh nggak saya menginap di atap hotel ini.”  Saya terbeliak. Hah edan. Backpacker ya backpacker sih,  tapi saya ndak seedan itu, menginap di atas atap. Hiii.   Tapi saya diam saja.  Jelas saja si pemilik hotel tak memperbolehkan.  Tobias garuk-garuk kepala. Hemmm…sedetik kemudian,  dia bilang pada saya. “Hemmm…kamu keberatan tidak kalau kita share sewa kamar?  Mata saya melotot. Mungkin dia menangkap kecemasan saya. Dia bilang, “Kamu akan baik-baik saja,  kita hanya  sharing biaya kamar.” Sedetik saya berpikir. Tapi jujur, matanya terlihat  baik,  dan bukan tipe yang aneh-aneh.

Wadeuww….saya tolah toleh…Gugup….nah gugup memang sensasi  yang  asyik,kan? Si Tobias bilang, dia akan tidur di lantai kalau memang  tempat tidurnya hanya satu, meskipun harga kamar dibagi dua.  Hihihihi… Akhirnya saya mengangguk  setuju. Ternyata, tempat tidur kami  bersusun kayak jaman tanksi perang.  Bahannya bukan kayu, tetapi dari besi. Kalau kejedot kepala, lumayan juga tuh.  Dan saya bener-benr kejedut malam itu. Tobias mengambil tempat tidur  di atas, saya di bawah. Saya yakin aman, karena  untuk naik dan turun ke tempat tidur agak susah.

Rupanya  Tobias juga ingin menyaksikan pesta kembang api. Begitu tiba di hotel, dia  mencari informasi ke Orchard Road.  Saya memilih di hotel, mandi, dan istirahat. Tobias datang  2,5 jam kemudian.  Rupanya, dia jalan kaki dari Little India. (pantesan lama banget sampai hotel). Lokasi pesta kembang api itu di pinggir laut, Marina Bay.  Katanya  yang paling ramai dan  terbesar pada perayaan Tahun Baru.  Dari little India,  Tobias mengajak saya jalan kaki.  Katanya dekat. Tapi ternyata  1,5  jam  perjalanan. Gempor kaki saya. Alamakjan.  Jalan sama bule memang  doyannya pake kaki.

Dalam hati saya, jangan sampai  pulang jalan kaki lagi. Saya bilang ke dia. “Naik taksi deh, saya bayar nggak papa pulangnya.”  Tobias cuma  tertawa kecil. Dan begitu  sampai, lautan manusia sudah memenuhi kawasan Marina Bay. Untung kami tak terlewat gara-gara jalan kaki itu. Seperti yang  saya tebak, hampir sebagian besar orang berpasangan.  Duduk  di pinggir laut, angin cukup kencang bikin saya agak masuk angin. Saking asyiknya ngobrol, tak terasa jam sudah  menunjukkan  pukul 23.30. Dan ledakan api nan indah itu tibalah….wowww…saya bahkan masih mengingat keindahannya  hingga  sekarang.

Pesta kembang api   yang agak bikin  bibir saya menganga  adalah pesta kembang api  di halaman mall  Lippo Karawaci  tiap akhir pekan beberapa puluh tahun silam.  Tapi alamakjan, kembang api Singapura  benar-benar istimewa.  Kembang api itu  diluncurkan dari tengah laut. Langit  bersih…dan siiiiiiiuttttttt  duaaarrrr. Bulat bertingkat, ada yang  seperti kerucut,  ada yang seperti ekor naga.  Saya seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru. Wow…wow…indah sekali.  Seolah-olah sayalah yang menikmatinya sendirian.  Saya bahkan lupa  ada Tobias  di sebelah saya.

Saya benar-benar terhipnotis dengan pesta kembang api itu.  Tiba-tiba Tobias berteriak pada saya. “Ini sangat cantik, di negara saya saja, saya belum pernah menyaksikan yang seindah ini,” katanya.  Dalam hati saya mengatakan. “Wah syukur deh berarti aku nggak terlalu udik,  mengagumi  pesta kembang api ini. Dia yang dari negara  maju saja terkagum-kagum  hihi.”  Tobias tak henti-hentinya memotret  ke langit bertaburan kembang api.

Setengah jam diluncurkan…dan inilah saat menjelang detik pergantian  tahun. “10,9, 8, 7,6,5,4,3,2,1,” teriak massa.  Dan kembang api itu meluncur dari tengah laut seperti rentetan  mesiu jaman perang.  Bersaut-sautan.  Ledakan-ledakan api yang membentuk api indah  begitu membius saya.  Tempik sorak  dari lautan manusia terdengar. Happy new year…. Langit Marina Bay terang benderang oleh api yang bermacam-macam bentuknya.

Dan ketika dongakan leher kami terlepas dari langit, segera kami tersadar dengan pemadangan  di sekeliling kami.   Kami berdua   terkurung di antara pasangan-pasangan yang saling berlumatan bibir. Hanya beberapa inci dari tempat kami berdiri.  Clap clup clap clup, bercipokan menyambut tahun baru. Mereka mengepung kami dari depan, tengah, belakang.  Saya dan Tobias sama-sama  getir.  Kami berdua  sama-sama  jengah. Tetapi juga nggak bisa apa-apa.  Saya misuh-misuh dalam hati.  “Jangkrik, kelamutan kabeh.”  Tempat sudah benar,  suasana mendukung,  malam  kian melankolis, tetapi  orang di sebelah saya, bukan kekasih,  hanya orang asing. Ah, sedih betul, kawan.

 Saking gugupnya Tobias dengan pemandangan di sekitar, dia mengulurkan tangannya ke saya. Tapi lebih mirip kayak teletabbies itu lho, yang suka bilang “Berpelukan.” Nah, seperti itulah.  Dan saya menyambut pelukan itu.  “Bernada, happy new year,” katanya.  Matanya yang baik hati itu terlihat tulus. Lalu dia mencium pipi saya. Hihihihi..Tahun baru dengan orang asing,  dengan kepungan  pasangan  berciuman sungguh tak enak, kawan. 

 Sambil memandang langit  dimana kembang api  masih muncrat dengan indahnya,  saya berucap dalam hati. “Suatu saat saya akan ke sini,  menikmati kembang api, di malam tahun baru, berlumatan, jika perlu sampai pagi dengan orang yang tercinta.” Jadi begitulah…sensasi yang saya impikan itu.

Dan hem… bisa ditebak yang kedua kalinya.  Impian sensasi itu belum terwujud.  Sudah  beberapa kali  mengunjungi  Singapura, tetapi tidak  tahun baru, juga tidak dengan pacar. Aih….

Ending:

Tapi meski itu pengalaman manis dan getir,  setidaknya ada  beberapa hal berharga  yang bisa  saya bagikan.  Satu, laki-laki  dan perempuan dalam satu kamar, tidak  selalu harus “begituan” kata anak muda jaman sekarang.  Kedua, tiada taksi, tiada bus malam, apalagi ojeklah yauw (dalam hati saya bersyukur  tinggal di  Indonesia punya tukang ojek. Sumpah).  Malam itu, meski kegembiraan saya begitu berwarna seperti kembang api dan  kegetirannya  seperti menelan pil pahit, saya tak punya pilihan lain untuk jalan kaki. Hem…1,5  jam.  Lengkap sudah malam pergantian tahun itu.    Ketiga, percaya tidak,  meski kami melewatkan malam tahun bersama, kami sama-sama  tak meninggalkan alamat   email, nomer telepon, atau apapun itu.  Bahkan nama belakang keluarganya saja saya tak tahu sampai sekarang.  Jam 3 pagi kami  sampai hotel,  pukul 05.00 saya  mengendap-endap keluar dari hotel. Sebelumnya kami sudah berpamitan.  Tobias masih mengantuk. Matanya keriyip-keriyip. Tapi dia masih  turun dari tempat tidur, memeluk saya. “Goodbye,” katanya.  Saya juga menjawab pendek.”Goodbye.”


Yogyakarta, 17 Juli 2011

CLBK

CLBK buat saya artinya Cinta Lama Belum Kelar, bukan Cinta Lama Bersemi Kembali seperti yg sering dibilang orang.
Kenapa? Biasanya yg lama dan sudah dibuang (sudah diputus karena tidak cocok) dulu susah untuk bersemi lagi, tapi kalau memang belum tuntas alias belum kelar...nah ini dia....

Biasanya yg CLBK (menurut pengamatan saya) ini adalah mereka yang dulunya saling naksir tapi tidak berani menyatakan, atau kalah cepat sama teman sekost.... atau terpaksa putus karena beda agama atau status...


Banyak orang menyalahkan Facebook atau blackberry sebagai penyebab CLBK. Kata saya sih sebetulnya itu semua hanyalah sarana saja. Pada dasarnya kita sendiri yang penasaran dengan CLBK-CLBK tersebut makanya terus meng add di facebook atau Blackberry.

Sekarang tentunya sudah jauh lebih percaya diri dibanding dulu, jadi sudah berani menyapa, mengobrol dan tentunya batasan-batasan seperti agama dan status sosial yang dulu jadi pemisah sekarang menjadi tidak penting. Di sinilah cinta yang belum tuntas dulu menjadi berkembang minta dituntaskan. Sayangnya tentu saja sekarang rata-rata sudah menikah, sehingga cinta yang belum kelar ini menjadi semakin susah dikelarkan....membuat semakin penasaran, membuat rasa 'cinta' semakin besar, mengalahkan cinta yang sudah ada di rumah.

Dan bukankah biasanya apa yang tidak bisa dimiliki selalu tampak lebih indah daripada apa yang sudah dimiliki di rumah.Jadi, bagaimana solusinya? Kalau ada yang tau silahkan tulis di komentar di bawah ini ya hehehehehe

Saya menulis tentang CLBK ini karena banyak mendapat cerita curahan hati beberapa teman... saya rasa, mungkin karena jenuh...berpaling ke gebetan jaman masih muda dulu rasanya asik, karena mengenang lagi kenaifan jaman dulu...jaman masih muda, jaman belum banyak masalah, belum banyak beban....tetapi apakah kalau kemudian hubungan yang penuh nostalgi masa muda ini dikembangkan menjadi hubungan masa kini akan lebih baik daripada hubungan yang sudah dimiliki saat ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. Bagaimana menurutmu?

Sunday, December 4, 2011

Belajar Melepaskan Sesuatu

oleh Wejangan YM. Sri Pannyavaro Mahatera

Di tulis ulang oleh Bernada Rurit

Meditasi Mengenal Diri (MMD) mengenal diri bersifat universal. Agama apapun bisa mengikuti meditasi ini tanpa harus kehilangan imannya. Kalau dalam keseharian kita dituntut memburu atau mendapatkan sesuatu, seperti uang,jabatan, kekuasaan,  maka di sini Anda justru akan belajar melepaskan sesuatu. Jadi jika ada pertanyaan, dalam MMD anda mendapat apa? Saya justru bertanya sebaliknya. Anda  kehilangan apa setelah mengikuti meditasi.

Jelas, mengikuti MMD kita bukan  mendapatkan sesuatu atau mencari-cari sesuatu seperti yang diharapkan oleh kebanyakan orang. Ketika seseorang melatih meditasi maka dia sedang belajar melepaskan sesuatu. Melepaskan kebencian, melepaskan  kemarahan, ketakutan, dendam,  dan kecemasan

Melepaskan sesuatu jelas lebih sulit ketimbang memburu atau mendapatkan. Kalau kita mendapatkan sesuatu, jabatan, kekuasaan, uang dan lain-lain, maka kita akan merasa bahagia dan puas. Padahal kebahagiaan atau kepuasan itu hanya berlangsung sesaat dan tidak abadi.  Coba sebutkan kepuasan atau kebahagiaan apa yang berlangsung lama. Tidak ada bukan? Nah hanya dengan melepaskan sesuatu maka kita menjadi manusia yang bebas.

Melepaskan sesuatu ini membutuhkan latihan.  Di sini kita hanya memperhatikan pikiran, tanpa menilai, tanpa bereaksi. Sadar, hanya itu latihannya. Tanpa mengharapkan sesuatu, tanpa target, batin ini hanya menjadi penonton saja pikiran yang muncul. Sampai  pikiran ini diam dengan sendirinya. Selamat bermeditasi.


Meditasi Mengenal Diri 21-23 Oktober 2011 di Vihara Mendut

Friday, December 2, 2011

Merokok

Baru-baru ini saya mengikuti konferensi pers di  Fakultas Kedokteran Univeritas  Gadjah Mada. Mereka memprotes Rancangan  Undang-Undang Pengendalian Produk Tembakau (RUU PTT) yang berseberangan dengan  pemikiran UGM.  Keberatan umum yang disampaikan adalah tidak ada pasal yang menyebutkan komponen dampak penggunaan produk tembakau terhadap kesehatan yang jelas. Contohnya, penghilangan  gambar dampak   konsumsi tembakau  dibungkus rokok yang menurut  UGM  justru mudah dipahami oleh  perokok aktif berpendidikan rendah.

Setidaknya ada 5 keberatan yang disampaikan UGM  soal RUU itu. Adapun  pihak pembuat RUU sandingan,  Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan  UGM  balas menjawab keberatan  itu kira-kira begini,” “Justru draft ini menyeimbangkan  dari hulu ke hilir, bukan hanya dampak kesehatan saja, petani kan juga harus dipikirkan.”

Dua alasan yang dikemukan  keduanya sama-sama punya argumen yang kuat.  Pendapat UGM tentu saya sangat setuju karena  punya niat baik menyadarkan perokok untuk berhenti.  Terlebih melindungi perokok  pasif seperti saya. Tetapi  karena saya juga punya rasa kemanusiaan terhadap petani tembakau   dan jutaan  orang yang  bergantung dari pekerjaan mereka di pabrik rokok, maka  pendapat  PUSDEK UGM juga perlu diapresiasi.

Saya akan kembali ke dalam kehidupan sehari-hari.  Jujur,  saya tidak tahu apakah  ada atau tidaknya undang-undang itu akan membuat para perokok  itu “biadab”. Mengapa begitu?   Datanglah ke tempat-tempat public seperti terminal bus,  stasiun kereta api, bandara,  angkutan umum. Kita akan dengan mudah  menyaksikan para perokok plempas plempus, nyaris tidak berperasaan tanpa mempedulikan lingkungan sekitar.

Beberapa kali saya kerap memberitahu yang bersangkutan  agar tak merokok, eh yang ditegur malah marah .  Golongan tak berperasaan di sini bukan  mereka yang  tak berpendidikan saja. Mereka yang  masuk kategori kaum intelektual  juga melakukan hal ini. Ruang rapat gedung  DPR, di kantor pemerintah, tempat nongkrong para wartawan.

Ada  perokok yang sungguh saya benci  karena tega melakukan ini. Pertama perokok  naik mobil dan membuang punting rokoknya  begitu saja di tengah  jalan. Kedua, naik motor sambil merokok.  Ada alasan mendasar saya mengapa benci dengan perokok  tak biadab ini. Mereka sadar nggak ya, kalau abu rokok yang berapi itu bisa mengenai mata orang di belakangnya.  Pernah nggak mereka terpikir jika  suatu saat akibat perbuatan mereka,  korban yang ada di belakangnya  jadi buta, misalnya.  Atau bisa juga ketika mata mereka kelilipan, motor yang dikendarai hilang keseimbangan dan terjadilah tabrakan, lalu si korban mati.  Siapa tahu?  Sudahkah  mereka  berpikir sejauh itu bahwa tindakan mereka yang menjadi “kebiasaan” itu telah merugikan pihak lain?

Saya sendiri pernah  menjadi korban perokok sialan  yang naik motor.  Mata saya merah kena abunya, dan  tidak bekerja  sampai mata saya sembuh.  Bagaimana  orang yang merokok naik motor tadi? Jelas dia tidak tahu menjadi penyebab  “ketidakwarasannya” merokok  yang sungguh tak biadab.  Kedua, beberapa waktu lalu, saya  rontgen paru-paru karena mengeluh dada saya sesak. Dokter menanyakan pada saya, apakah saya merokok.  Tentu saja saya jawab “tidak”. Ternyata hasil rontgen memperlihatkan  ada bercak-bercak dan  paru-paru saya tidak bersih. Dokter pun menanyakan apakah lingkungan pekerjaan saya perokok. Gotcha. Saya jadi korban perokok  yang  sungguh tak “Biadab” ini. Saya bukan orang satu-satunya. Teman satu kos saya juga  bernasib seperti saya. Dia lebih parah lagi. Harus membeli obat yang mahal dan disarankan tidak masuk kantor beberapa minggu untukrecovery.

Boleh-boleh saja, sih, merokok, apalagi dengan dalih hak asasi manusia, siapapun berhak merokok.   Merokok memang hak, tapi mbok yang  waras, dong! Sebagai perokok pasif, saya mohon, merokoklah pada tempat tertutup. Bila perlu cuma kalian sendiri saja yang menikmatinya. Bukankah merokok hanya untuk kenikmatan bibir belaka. Jadi  beronanilah   dengan bibir kalian sendiri. Jangan mengajak  korban yang tidak tahu apa-apa karena asap yang  telah kalian hempaskan.

Semoga perokok di manapun berada “waras” dan biadab.


Yogyakarta, 10 November 2011