Pages

Friday, December 9, 2011

KD, Raul, dan (Saya)

Ketika KD melakukan jumpa pers beberapa hari lalu, puluhan SMS mampir ke handphone saya. Macem-macem bunyinya. Tapi ada satu SMS yang cukup menggelitik sehingga mendorong saya menulis note ini. Bunyi SMS ini: "KD udah ngaku pacaran sama Raul. Masih mau ditahan juga tuh foto yang dijepret Rurit?

Apa hubungan KD, Raul, dan (saya)? Ini bermula ketika saya mendapat tugas meliput di negeri bekas provinsi ke-27 negara kita, Timor Leste, akhir Desember tahun lalu. Pertemuan itu tak sengaja. Saya diajak oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao untuk hadir dalam acara ulang tahun Presiden Timor Leste Ramos Horta. Penawaran Pak PM hanya sesaat setelah usai wawancara selama dua jam setengah jam dari satu jam yang direncanakan.

Salah satu tugas dari kantor yang mesti saya lakoni adalah mewawancarai Pak Ramos Horta. Acara dadakan ini jelas di luar rencana saya. Tapi mendapat kesempatan tak terduga untuk wawancara Pak Ramos jelas seperti mendapat durian jatuh. Maklum, saya belum sempat memasukkan surat permohonan wawancara lantaran libur Natal kantor pemerintahan tutup.

Pak PM menjanjikan akan mengenalkan saya pada Pak Ramos untuk kepentingan wawancara tersebut. Pertemuan itu terjadilah. Sebelum acara peniupan lilin , kami bertiga bertemu. “Transaksi" permintaan wawancara kepada Pak Presdien berjalan mulus, cuma butuh waktu lima menit. Saya diterima Pak Presiden, pukul 10.00 tanggal 27 Desember, keesokan harinya, tanpa birokrasi yang ruwet. (Ah andai Indonesia seperti ini. Mungkin nggak ya?)

Pak PM, Pak Presiden, dan saya kemudian berpisah. (Ya jelaslah, saya, kan bukan first lady-nya?) Mereka kemudian ngobrol bersama tamu yang malam itu berjumlah tak lebih 150 orang.

Begitu sendirian, saya celingukan. Mata saya menyapu pada tamu undangan yang hadir, siapa tahu ada yang saya kenal. Saat itulah saya menangkap dua sosok yang begitu dikenal di Indonesia. Christine Hakim dan salah satu diva Indonesia, Kris Dayanti. Dari obrolan teman-teman dan media portal yang kadang saya baca, KD panggilan akrabnya, tengah menjadi perbincangan hangat karena terlibat kisah asmara dengan pengusaha asal Timor Leste, Raul Lemos. Menurut pemberitaan, Raul masih terikat hukum perkawinan dengan istrinya . Tapi kalau benar, kok berani betul ya Raul mengajak KD dalam acara resmi presiden yang pasti dihadiri oleh banyak tamu penting di negara itu. (Apalagi dari informasi yang dengar di TL, istri Raul, keponakan bekas Perdana Menteri Marie Alkatiri)

Malam itu, KD terlihat anggun dengan rambutnya yang disanggul. Dia mengenakan batik warna coklat tua. Wajah KD tak hentinya mengulum senyum. Bungah itu jelas terpancar dari matanya yang bersinar.

Tentu KD tak sendirian. Sesosok lelaki tinggi tegap, berkulit coklat, dan dandy, menemani KD. Lantaran belum pernah melihat wajahnya, saya hanya menduga dia Raul. Tapi apa peduli saya? Memikirkan harus menyiapkan wawancara dengan Pak Presiden keesokan harinya saja sudah membuat saya nervous. Jadi, mana sempat ngurusin yang begituan.

Merasa sesama Indonesia, saya menyalami Christin Hakim, dan memperkenalkan diri sebagai wartawan Tempo. Agak sok akrab memang. Tapi rasanya garing juga kalau saya cuma diam mematung. CH kelihatan cuek. Sebaliknya, KD menyapa dengan ramah. Kami pun ngobrol.

Kepada KD, pertanyaan saya datar, kapan tiba di Dili, ngapain datang ke acara ini, atas undangan siapa, berapa lama tinggal di Dili, apa komentar dia tentang Dili? Saya bahkan tak menanyakan nama pria yang terus digandeng KD sepanjang acara itu. Tapi KD sempat menyebut “Pak Raul” sebagai pengusaha Timor leste yang berpotensi memajukan Timor Leste. Dalam wawancara singkat kami, KD juga bercerita tentang album barunya bersama Siti Nurhaliza, penyanyi asal Malaysia.

Selama kami berbincang, sesekali KD melayani beberapa fans yang minta tandatangannya. Kadang-kadang ditengah obrolan kami, Raul membisikkan sesutu ke telinga KD. Begitu pula sebaliknya, ketika KD ingin berbicara dengan Raul, maka tubuhnya yang pendek berjinjit menjangkau kuping Raul. Sungguh serasi dan berseri-seri.

Tak lama setelah itu, cara di mulai. Untuk Pak Presiden, KD menyanyikan dua buah lagu, satu lagu Timor, dan lagu Barat berjudul When You Tell that you love me.

Sebelum acara selesai, saya pamit pulang lantaran sudah dijemput. Tapi saya minta di foto bersama KD atas permintaan kakak dan teman jika bertemu public figure. Penata rias KD yang khusus dia bawa dari Indonesia-lah yang menjepret pose kami.

Dengan profesi wartawan, mestinya saya punya banyak koleksi foto para artis, aktor, maupun pejabat. Tapi saya kurang menaruh minat. Satu-satunya public figure yang saya “ngotot” minta berfoto adalah bersama Wakil Presiden Boediono, yang sempat saya wawancara ketika masa kampanye. Saya mengagumi ketenangannya, kesantunannya, dan kecerdasannya.

Usai kami bertiga foto bersama, saya ijin menjepretkan kamera kepada mereka berdua. KD tak menolak, sebaliknya Raul agak keberatan. Kepada saya, KD berujar,“Ini eksklusif lho.Ini baru pertama kalinya foto kami berdua di depan publik yang dijepret wartawan.” Saya pun dengan polos bilang, “Wah beruntung dong saya.” Tapi Raul buru-buru menyela. “Fotonya jangan dijual ya.” Saya membalas pernyataan Raul. “Saya kan bukan koran gosip,” saya menjawab sekenanya. Maksud saya, bukan posi media tempat saya bernaung untuk membuat pemberitaan semacam ini. Ada yang lebih pas, yakni tabloid dan infotainment.

Kami lantas berpisah. Tak terduga, saat pulang ke Indonesia, kami satu pesawat. Begitu turun dari pesawat, saya berada dalam bus transit yang sama. KD-lah yang menyapa duluan. “Hei mbak ketemu lagi.” Dari cerita teman-teman dan artis yang pernah saya wawancara, KD dikenal orang yang ramah pada siapa saja. Dalam dandanan yang santai, KD jauh lebih terlihat segar. Rambutnya yang sebelumnya disanggul dibiarkan tergerai. Satu hal yang sama dengan pertemuan sebelumnya dia hangat dan selalu menyunggingkan senyum.

Begitu masuk bandara Bali, semua orang harus mengantri cap paspor. Padahal antrian sudah mengular. Ketika bermaksud mengantri, Raul menawarkan bantuan. “Sekalian saja kita urus.” “Wah kebetulan,” dalam hati saya. Paspor saya pun berpindah tangan dan diuruskan oleh orang Raul di bandara.

Selama kurang lebih 40 menit, saya mengobrol dengan KD. Raul hanya sesekali menimpali, itupun kalau saya tanya. Setelah urusan paspor kelar, kami berpisah. Kepada saya, KD bilang akan bertahun baru ke Hongkong bersama kakaknya yang lebih dulu berada di sana. Cerita pertemuan antara KD-Raul dan saya selesai sudah. Tapi ternyata tidak dengan urusan foto.

Begitu tiba di Indonesia, saya langsung liputan harian. Liputan Dili sempat saya lupakan. Tapi cerita KD soal album barunya, saya kirimkan untuk Koran.

Tak dinyana, seminggu setelah pemuatan di Koran pada bulan Januari, ada teman dari sebuah tabloid menanyakan apakah saya memiliki foto KD. Soal, bagaimana dia tahu kalau saya bertemu KD, saya duga dari tulisan yang sudah terbit. Saya berterus terang kalau memang memiliki foto KD. Dia berniat membeli foto yang menurut dia belum ada satu pun media yang memuatnya. Saya menolak karena berbagai alasan.

Dia mencecar saya dengan berbagai pertanyaan, antara lain alasan saya enggan memberikan foto itu. Saya sempat menjawab, “Karena memang bukan urusan saya.” Sang temen mash tetep ngotot. Dalam “perdebatan” itu, lama-lama, kok saya merasa menjadi korban intimidatif dia ya? Dia bilang soal jurnalisme, soal wartawan senior, dan bla bla bla. Waduh, kok malah saya yang jadi korban.

Teman saya “ngotot” memakai foto KD-Raul sebagai alat bukti yang menguatkan liputan mereka. Tapi di sisi lain, saya paham, mungkin dia mendapat tekanan dari kantor tempat dia bekerja, agar dengan cara apapun mendapat foto itu.

Tapi saya tetap tidak bersedia memberikan foto mereka berdua. Saya memang sempat memberikan tawaran, silahkan ambil foto, asal ijin KD, tapi dia menolaknya.

Setelah itu, tidak ada cerita lagi. Saya berpikir urusan ini selesai. Saya juga tak tertarik “berjualan” meski saya tahu nilai keeksklusifan foto KD-Raul. Hingga tiga bulan berjalan, tepatnya tiga minggu lalu, teman yang sama mencoba menghubungi saya kembali. Selain dia, ada teman media lain yang berminat terhadap foto itu tetapi tidak terlalu serius memang. Berbeda dengan tabloid teman saya yang memang benar-benar membutuhkan foto itu.

Dia meminta saya mempertimbangkan kembali pemuatan foto KD-Raul dan berkonsultasi dengan kantor Jakarta. Saya berkontak dengan redaksi di Jakarta dan mengatakan tidak akan memberikan foto itu. Rupanya urusan foto belum selesai. Pemimpin redaksi tempat dia bekerja, mengontak atasan saya, meminta koleksi foto KD. Bisa ditebak, urusan ini melebar. Bagian foto tak pernah menemukan foto itu lantaran tidak pernah saya laporkan di bagian pendataan foto. Atasan saya yang semula tidak tahu menjadi tahu.

Namun, teman dari Jakarta dan Biro menjelaskan duduk permasalahannya dengan para “petinggi” media kami. Beruntung, media tempat saya bernaung masih menghargai sikap saya . Mereka satu suara soal foto KD-Raul, menjadi hak saya untuk mengedarkan atau tidak, menjual atau menyimpan foto eksklusif itu.

Ada beberapa alasan saya keukuh tidak ingin mengedarkan foto itu saat semua media mencari foto mereka berdua. Pertama, urusan itu tak berdampak kepada publik. Sebagai contoh, kasus korupsi, penyelewengan jabatan dan kekuasaan dll. Kalau misalnya, KD atau Raul terlibat kriminal atau mereka terkena kasus korupsi yang melibatkan pejabat, bisa jadi foto itu saya edarkan. Tetapi untuk persoalan pribadi, itu bukan ranah saya.

Kedua komersialisasi industri infotainment sudah demikian mengerikan. Bombardir pemberitaan yang ditayangkan berulang-ulang terhadap satu kasus, membuat saya miris. Sebaliknya, masyarakat tak mendapat apapun, kecuali tontonan yang kurang mendidik.

Memang, jika foto itu tayang di tabloid, tak sedahsyat bila tayang di infotainment. Tapi bagaimana jika hasil jepretan di tabloid itu lantas dipakai oleh infotainment dan ditayangkan secara bombardir. Bukankah saya juga turut mendukung komersialisasi ini terjadi di depan mata?

Karena pemberitaan yang bombastis, orang bahkan lupa lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi, termasuk KD bisa menghibur kita yang tengah jatuh cinta, lara, bahagia. Saya tidak terlalu ngefans- amat dengan lagu-lagu KD. Cuma, kalau berkaraoke, saya tak pernah lupa menyanyikan dua buah lagunya, Menghitung hari dan Penantian.

Saya tidak pernah menyesal, foto itu hanya menjadi bagian koleksi pribadi semata. Meski ganjarannya, saya jelas tidak mendapat apa-apa, uang ataupun popularitas. Saya dengan sadar memilih itu. Alasan mendasarnya, saya ingin menyisakan ruang pada diri saya yang akhirnya saya bagikan juga di sini: secuil hati nurani yang belum mati. Saya percaya nurani tidak akan pernah mati, jika kita terus berusaha menjaganya.

Tanpa mengurangi rasa duka yang mendalam peristiwa Tanjung Priok, semoga sekeping kisah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 15 April 2010

5 comments:

  1. Loh loh loh...
    Setelah dari Kang DV..

    hihi kok aku nemu tulisan ini lagii..
    sakjane mBak Rurit ki meh nulis nangendi wae taa...?

    Tjapoenk-e meh gawa ngendi jee..?

    ReplyDelete
  2. gotrek hahahhahaa....buanuyak. semua ada ra popo to

    ReplyDelete
  3. eh yg di atas yg jawab Rurit kok keluarnya namaku ya?

    ReplyDelete
  4. Setting usernya yang sebagai "admin" di sharing mbakk...

    Trus lebih bagus lagi kalo navigasi "reply" di tongolin biar ntar gak bingung siapa njawab siapa gitu... #seekedarsaranlhooo

    ReplyDelete
  5. Halo Maztri, maturnuwun buat sarannya. Ya saya sudah mikir pasti karena Rurit hanya author bukan admin. Navigasi reply maksudnya yg mana ya? yg di bawah itu kan? harusnya sih udah ada (comment as...)mungkin Rurit gak liat hehehe

    ReplyDelete