Ketika KD melakukan jumpa pers beberapa hari lalu, puluhan SMS mampir ke
handphone saya. Macem-macem bunyinya. Tapi ada satu SMS yang cukup
menggelitik sehingga mendorong saya menulis note ini. Bunyi SMS ini:
"KD udah ngaku pacaran sama Raul. Masih mau ditahan juga tuh foto yang
dijepret Rurit?
Apa hubungan KD, Raul, dan (saya)? Ini bermula
ketika saya mendapat tugas meliput di negeri bekas provinsi ke-27
negara kita, Timor Leste, akhir Desember tahun lalu. Pertemuan itu tak
sengaja. Saya diajak oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao
untuk hadir dalam acara ulang tahun Presiden Timor Leste Ramos Horta.
Penawaran Pak PM hanya sesaat setelah usai wawancara selama dua jam
setengah jam dari satu jam yang direncanakan.
Salah satu tugas
dari kantor yang mesti saya lakoni adalah mewawancarai Pak Ramos Horta.
Acara dadakan ini jelas di luar rencana saya. Tapi mendapat kesempatan
tak terduga untuk wawancara Pak Ramos jelas seperti mendapat durian
jatuh. Maklum, saya belum sempat memasukkan surat permohonan wawancara
lantaran libur Natal kantor pemerintahan tutup.
Pak PM
menjanjikan akan mengenalkan saya pada Pak Ramos untuk kepentingan
wawancara tersebut. Pertemuan itu terjadilah. Sebelum acara peniupan
lilin , kami bertiga bertemu. “Transaksi" permintaan wawancara kepada
Pak Presdien berjalan mulus, cuma butuh waktu lima menit. Saya diterima
Pak Presiden, pukul 10.00 tanggal 27 Desember, keesokan harinya, tanpa
birokrasi yang ruwet. (Ah andai Indonesia seperti ini. Mungkin nggak
ya?)
Pak PM, Pak Presiden, dan saya kemudian berpisah. (Ya
jelaslah, saya, kan bukan first lady-nya?) Mereka kemudian ngobrol
bersama tamu yang malam itu berjumlah tak lebih 150 orang.
Begitu
sendirian, saya celingukan. Mata saya menyapu pada tamu undangan yang
hadir, siapa tahu ada yang saya kenal. Saat itulah saya menangkap dua
sosok yang begitu dikenal di Indonesia. Christine Hakim dan salah satu
diva Indonesia, Kris Dayanti. Dari obrolan teman-teman dan media portal
yang kadang saya baca, KD panggilan akrabnya, tengah menjadi
perbincangan hangat karena terlibat kisah asmara dengan pengusaha asal
Timor Leste, Raul Lemos. Menurut pemberitaan, Raul masih terikat hukum
perkawinan dengan istrinya . Tapi kalau benar, kok berani betul ya
Raul mengajak KD dalam acara resmi presiden yang pasti dihadiri oleh
banyak tamu penting di negara itu. (Apalagi dari informasi yang dengar
di TL, istri Raul, keponakan bekas Perdana Menteri Marie Alkatiri)
Malam
itu, KD terlihat anggun dengan rambutnya yang disanggul. Dia
mengenakan batik warna coklat tua. Wajah KD tak hentinya mengulum
senyum. Bungah itu jelas terpancar dari matanya yang bersinar.
Tentu
KD tak sendirian. Sesosok lelaki tinggi tegap, berkulit coklat, dan
dandy, menemani KD. Lantaran belum pernah melihat wajahnya, saya hanya
menduga dia Raul. Tapi apa peduli saya? Memikirkan harus menyiapkan
wawancara dengan Pak Presiden keesokan harinya saja sudah membuat saya
nervous. Jadi, mana sempat ngurusin yang begituan.
Merasa sesama
Indonesia, saya menyalami Christin Hakim, dan memperkenalkan diri
sebagai wartawan Tempo. Agak sok akrab memang. Tapi rasanya garing juga
kalau saya cuma diam mematung. CH kelihatan cuek. Sebaliknya, KD
menyapa dengan ramah. Kami pun ngobrol.
Kepada KD, pertanyaan
saya datar, kapan tiba di Dili, ngapain datang ke acara ini, atas
undangan siapa, berapa lama tinggal di Dili, apa komentar dia tentang
Dili? Saya bahkan tak menanyakan nama pria yang terus digandeng KD
sepanjang acara itu. Tapi KD sempat menyebut “Pak Raul” sebagai
pengusaha Timor leste yang berpotensi memajukan Timor Leste. Dalam
wawancara singkat kami, KD juga bercerita tentang album barunya
bersama Siti Nurhaliza, penyanyi asal Malaysia.
Selama kami
berbincang, sesekali KD melayani beberapa fans yang minta
tandatangannya. Kadang-kadang ditengah obrolan kami, Raul membisikkan
sesutu ke telinga KD. Begitu pula sebaliknya, ketika KD ingin
berbicara dengan Raul, maka tubuhnya yang pendek berjinjit menjangkau
kuping Raul. Sungguh serasi dan berseri-seri.
Tak lama
setelah itu, cara di mulai. Untuk Pak Presiden, KD menyanyikan dua
buah lagu, satu lagu Timor, dan lagu Barat berjudul When You Tell that
you love me.
Sebelum acara selesai, saya pamit pulang lantaran
sudah dijemput. Tapi saya minta di foto bersama KD atas permintaan
kakak dan teman jika bertemu public figure. Penata rias KD yang
khusus dia bawa dari Indonesia-lah yang menjepret pose kami.
Dengan
profesi wartawan, mestinya saya punya banyak koleksi foto para artis,
aktor, maupun pejabat. Tapi saya kurang menaruh minat. Satu-satunya
public figure yang saya “ngotot” minta berfoto adalah bersama Wakil
Presiden Boediono, yang sempat saya wawancara ketika masa kampanye.
Saya mengagumi ketenangannya, kesantunannya, dan kecerdasannya.
Usai
kami bertiga foto bersama, saya ijin menjepretkan kamera kepada
mereka berdua. KD tak menolak, sebaliknya Raul agak keberatan. Kepada
saya, KD berujar,“Ini eksklusif lho.Ini baru pertama kalinya foto kami
berdua di depan publik yang dijepret wartawan.” Saya pun dengan polos
bilang, “Wah beruntung dong saya.” Tapi Raul buru-buru menyela. “Fotonya
jangan dijual ya.” Saya membalas pernyataan Raul. “Saya kan bukan koran
gosip,” saya menjawab sekenanya. Maksud saya, bukan posi media tempat
saya bernaung untuk membuat pemberitaan semacam ini. Ada yang lebih pas,
yakni tabloid dan infotainment.
Kami lantas berpisah. Tak
terduga, saat pulang ke Indonesia, kami satu pesawat. Begitu turun dari
pesawat, saya berada dalam bus transit yang sama. KD-lah yang menyapa
duluan. “Hei mbak ketemu lagi.” Dari cerita teman-teman dan artis yang
pernah saya wawancara, KD dikenal orang yang ramah pada siapa saja.
Dalam dandanan yang santai, KD jauh lebih terlihat segar. Rambutnya yang
sebelumnya disanggul dibiarkan tergerai. Satu hal yang sama dengan
pertemuan sebelumnya dia hangat dan selalu menyunggingkan senyum.
Begitu
masuk bandara Bali, semua orang harus mengantri cap paspor. Padahal
antrian sudah mengular. Ketika bermaksud mengantri, Raul menawarkan
bantuan. “Sekalian saja kita urus.” “Wah kebetulan,” dalam hati saya.
Paspor saya pun berpindah tangan dan diuruskan oleh orang Raul di
bandara.
Selama kurang lebih 40 menit, saya mengobrol dengan KD.
Raul hanya sesekali menimpali, itupun kalau saya tanya. Setelah urusan
paspor kelar, kami berpisah. Kepada saya, KD bilang akan bertahun baru
ke Hongkong bersama kakaknya yang lebih dulu berada di sana. Cerita
pertemuan antara KD-Raul dan saya selesai sudah. Tapi ternyata tidak
dengan urusan foto.
Begitu tiba di Indonesia, saya langsung
liputan harian. Liputan Dili sempat saya lupakan. Tapi cerita KD soal
album barunya, saya kirimkan untuk Koran.
Tak dinyana, seminggu
setelah pemuatan di Koran pada bulan Januari, ada teman dari sebuah
tabloid menanyakan apakah saya memiliki foto KD. Soal, bagaimana dia
tahu kalau saya bertemu KD, saya duga dari tulisan yang sudah terbit.
Saya berterus terang kalau memang memiliki foto KD. Dia berniat membeli
foto yang menurut dia belum ada satu pun media yang memuatnya. Saya
menolak karena berbagai alasan.
Dia mencecar saya dengan berbagai
pertanyaan, antara lain alasan saya enggan memberikan foto itu. Saya
sempat menjawab, “Karena memang bukan urusan saya.” Sang temen mash
tetep ngotot. Dalam “perdebatan” itu, lama-lama, kok saya merasa
menjadi korban intimidatif dia ya? Dia bilang soal jurnalisme, soal
wartawan senior, dan bla bla bla. Waduh, kok malah saya yang jadi
korban.
Teman saya “ngotot” memakai foto KD-Raul sebagai alat
bukti yang menguatkan liputan mereka. Tapi di sisi lain, saya paham,
mungkin dia mendapat tekanan dari kantor tempat dia bekerja, agar dengan
cara apapun mendapat foto itu.
Tapi saya tetap tidak bersedia
memberikan foto mereka berdua. Saya memang sempat memberikan tawaran,
silahkan ambil foto, asal ijin KD, tapi dia menolaknya.
Setelah
itu, tidak ada cerita lagi. Saya berpikir urusan ini selesai. Saya juga
tak tertarik “berjualan” meski saya tahu nilai keeksklusifan foto
KD-Raul. Hingga tiga bulan berjalan, tepatnya tiga minggu lalu, teman
yang sama mencoba menghubungi saya kembali. Selain dia, ada teman media
lain yang berminat terhadap foto itu tetapi tidak terlalu serius
memang. Berbeda dengan tabloid teman saya yang memang benar-benar
membutuhkan foto itu.
Dia meminta saya mempertimbangkan kembali
pemuatan foto KD-Raul dan berkonsultasi dengan kantor Jakarta. Saya
berkontak dengan redaksi di Jakarta dan mengatakan tidak akan memberikan
foto itu. Rupanya urusan foto belum selesai. Pemimpin redaksi tempat
dia bekerja, mengontak atasan saya, meminta koleksi foto KD. Bisa
ditebak, urusan ini melebar. Bagian foto tak pernah menemukan foto itu
lantaran tidak pernah saya laporkan di bagian pendataan foto. Atasan
saya yang semula tidak tahu menjadi tahu.
Namun, teman dari
Jakarta dan Biro menjelaskan duduk permasalahannya dengan para
“petinggi” media kami. Beruntung, media tempat saya bernaung masih
menghargai sikap saya . Mereka satu suara soal foto KD-Raul, menjadi
hak saya untuk mengedarkan atau tidak, menjual atau menyimpan foto
eksklusif itu.
Ada beberapa alasan saya keukuh tidak ingin
mengedarkan foto itu saat semua media mencari foto mereka berdua.
Pertama, urusan itu tak berdampak kepada publik. Sebagai contoh,
kasus korupsi, penyelewengan jabatan dan kekuasaan dll. Kalau misalnya,
KD atau Raul terlibat kriminal atau mereka terkena kasus korupsi yang
melibatkan pejabat, bisa jadi foto itu saya edarkan. Tetapi untuk
persoalan pribadi, itu bukan ranah saya.
Kedua komersialisasi
industri infotainment sudah demikian mengerikan. Bombardir pemberitaan
yang ditayangkan berulang-ulang terhadap satu kasus, membuat saya
miris. Sebaliknya, masyarakat tak mendapat apapun, kecuali tontonan yang
kurang mendidik.
Memang, jika foto itu tayang di tabloid, tak
sedahsyat bila tayang di infotainment. Tapi bagaimana jika hasil
jepretan di tabloid itu lantas dipakai oleh infotainment dan
ditayangkan secara bombardir. Bukankah saya juga turut mendukung
komersialisasi ini terjadi di depan mata?
Karena pemberitaan
yang bombastis, orang bahkan lupa lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi,
termasuk KD bisa menghibur kita yang tengah jatuh cinta, lara, bahagia.
Saya tidak terlalu ngefans- amat dengan lagu-lagu KD. Cuma, kalau
berkaraoke, saya tak pernah lupa menyanyikan dua buah lagunya,
Menghitung hari dan Penantian.
Saya tidak pernah menyesal, foto
itu hanya menjadi bagian koleksi pribadi semata. Meski ganjarannya, saya
jelas tidak mendapat apa-apa, uang ataupun popularitas. Saya dengan
sadar memilih itu. Alasan mendasarnya, saya ingin menyisakan ruang pada
diri saya yang akhirnya saya bagikan juga di sini: secuil hati nurani
yang belum mati. Saya percaya nurani tidak akan pernah mati, jika kita
terus berusaha menjaganya.
Tanpa mengurangi rasa duka yang
mendalam peristiwa Tanjung Priok, semoga sekeping kisah ini bermanfaat
bagi siapa saja yang membacanya.
Yogyakarta, 15 April 2010
Loh loh loh...
ReplyDeleteSetelah dari Kang DV..
hihi kok aku nemu tulisan ini lagii..
sakjane mBak Rurit ki meh nulis nangendi wae taa...?
Tjapoenk-e meh gawa ngendi jee..?
gotrek hahahhahaa....buanuyak. semua ada ra popo to
ReplyDeleteeh yg di atas yg jawab Rurit kok keluarnya namaku ya?
ReplyDeleteSetting usernya yang sebagai "admin" di sharing mbakk...
ReplyDeleteTrus lebih bagus lagi kalo navigasi "reply" di tongolin biar ntar gak bingung siapa njawab siapa gitu... #seekedarsaranlhooo
Halo Maztri, maturnuwun buat sarannya. Ya saya sudah mikir pasti karena Rurit hanya author bukan admin. Navigasi reply maksudnya yg mana ya? yg di bawah itu kan? harusnya sih udah ada (comment as...)mungkin Rurit gak liat hehehe
ReplyDelete