Satu hal yang saya merasa kurang beruntung menjadi perempuan adalah
harus mengalami menstruasi. Ini karena saya terkena endometeorosis.
Karena itu, jika pas palang merah, saya kesakitan sampai
gulung-gulung, perut melintir, pucat pasi bahkan sampai sulit berjalan
menjadi langganan rutin tiap bulan.
Kadang-kadang saya
ngiri dengan temen yang tidak bermasalah dengan menstruasi. Datang bulan
seperti hari-hari biasa, tak ada bedanya. Beda dengan saya yang mesti
berjuang dari segala kesakitan. Bekerja tak bisa, males ngomong, males
makan.Mau begini salah mau begitu juga salah. Semuanya serba tidak
menyenangkan.
Selain rasa sakit di hari H, ada yang lebih gawat dari
itu sebenarnya. Yup. Pre Menstrual Syndrom. Mengapa saya bilang gawat?
Karena ketika mengalami ini, kita seperti kehilangan diri kita. Saya
misalnya bisa emosi meledak tidak karuan ketika PMS. Hubungan dengan
temen, keluarga, dan pacar bisa terganggu gara-gara ini. Tak jarang
hubungan rusak karena terkena PMS. Hiii....
Agar sering
tak salah paham, kadang-kadang saya minta diingatkan pacar saya (kalau
pas sedang pacaran hihihi) agar lebih baik menjauh ketimbang kena
semprot. Bahaya jack. Begitu masa itu lewat, semuanya juga akan
baik-baik saja. Kembali normal seperti biasa.
Dari
pengamatan saya, PMS tidak selalu diawali dengan emosi yang tinggi.
Ada kalanya saat PMS muncul, saya jadi suka berdandan. Wajah lebih
bercahaya dan jadi terlihat cantik ketimbang hari biasa. Nah, kalau masa
ini muncul senangnya....:)
Yang tak kalah repotnya sindrome PMS adalah ketika libido muncul
sementara saya belum punya kekasih. Wahhhh...sing ada lawan. Hahahaha.
Kalau udah begitu, saya biasanya jogging. (emang ada hubungannya?
hehehe) saya percaya olahraga bisa membuat kita sejenak melupakan
libido yang tinggi hehehe.
Yang lebih penting dari semua itu, menyadari masa PMS itu akan hadir,
jelas membuat saya lebih bisa mengontrol diri. Meski pada prakteknya
sering kelupaan. yang paling senang kalau pasangan di sebelah kita
memahami kondisi ini. Dan menjadi lebih sabar menghadapi perempuan PMS.
Wah senangnya....:)
Yogyakarta, 14 Desember 2011
Wednesday, December 14, 2011
Tuesday, December 13, 2011
Tentang Doa
Untuk mengerti esensi doa barangkali kita perlu menyelami apa yang bukan
doa. Ada seseorang yang pergi kepada seorang guru sufi dengan
mengendarai seekor unta. Sampai di halaman rumah gurunya, unta itu
dibiarkan tanpa diikat di sebuah pohon. Orang itu berkata,"Guru, saya
percayakan segala sesuatunya ke dalam penyelenggaraan Allah. Saya
biarkan unta itu tanpa saya ikat di batang pohon."
Guru sufi itu membentaknya. ,"Hai orang tolol, keluar engkau dan tambatkan unta itu di batang pohon pohon sekarang." Allah tidak bisa diganggu dengan hal-hal yang seharusnya bisa kita selesaikan.
Sering kali kita naif dalam doa kita. Kalau anda lapar, carilah makan. Kalau Anda haus carilah minum. Kalau lapar dan haus jangan diam saja dan berdoa supaya Tuhan mendatangkan makanan dan minuman tanpa usaha. Maka, doa yang benar membuat kita bertindak benar.
(Dipetik dari buku Meditasi sebagai pembebasan diri, J Sudriyanta SJ)
Guru sufi itu membentaknya. ,"Hai orang tolol, keluar engkau dan tambatkan unta itu di batang pohon pohon sekarang." Allah tidak bisa diganggu dengan hal-hal yang seharusnya bisa kita selesaikan.
Sering kali kita naif dalam doa kita. Kalau anda lapar, carilah makan. Kalau Anda haus carilah minum. Kalau lapar dan haus jangan diam saja dan berdoa supaya Tuhan mendatangkan makanan dan minuman tanpa usaha. Maka, doa yang benar membuat kita bertindak benar.
(Dipetik dari buku Meditasi sebagai pembebasan diri, J Sudriyanta SJ)
Monday, December 12, 2011
Petang yang Indah
dalam sebuah percakapan petang
sahabatku: hemmmm...sepertinya aku mencintai seseorang
saya: siapakah dia?
sahabat : teman sekantor
saya: bagaimana kau mencintainya?
sahabat :pelan-pelan, tetapi lama-lama banyak
saya : dan dia tahu kau mencintainya?
sahabatku : nggak.
saya : yaelah...lagi??? jangan seperti aku.
sahabatku : when you dream about someone
and suddenly you REALIZE someone is just like that
in front of you jaminan deh, yang ada lo bingung harus gimana.
penutupnya: satu pesan untukmu dariku boleh tak? mencintailah satu hari ini saja, sepenuh-penuhnya. karena besok sudah memiliki cerita sendiri. dan tak usah mengingat yang krmn karena kmrn adl masa lalu. jadi ketika dia tak lagi mencintaimu suatu saat nanti, maka kau bisa mencintai lelaki lain. sama seperti kau punya cinta sebelumnya.
Ps. Kau boleh tak menyetujui pesan ini tentu saja.
tapi terimakasih ya, kau memberiku petang yang indah. aku merasai jatuh cintamu. krn aku sdh lama tdk. dan aku memerlukan itu rasanya. akhir2 ini aku perlu sedikit gejolak...karena semuanya berjalan stabil, baik-baik saja, dan datar...:)
I love you, dear.
Sunday, December 11, 2011
Cabe
Sanggupkah kalian menyantap sesuatu tanpa cabe di
dalamnya? Apalagi kalau yang disantap
makanan jenis bakso, soto, mi kuah. Ya ampun! Makan tanpa cabe itu buat saya ibarat
masak sayur tanpa garam, pacaran dengan kekasih tetapi tak pernah menikmati
kecupannya. Hehhe yang terakhir mah agak lebay. Tetapi asli makan sesuatu tanpa ho hah ho hah
itu sungguh garing, tawar, nggak berasa apa-apa rasanya.
Saya ingat ketika di bangku sekolah dasar, kami punya acara rujakan bareng teman-teman. Ide rujakan ini kami buat karena masing-masing punya
pohon sendiri, ada yang memiliki pepaya,
mangga, jambu. Nenas dan timun, karena umumnya tidak kami miliki, maka membeli
di pasar salah satu solusinya. Tapi biasanya saya yang berinisiatif membelinya.
Nah, buah hasil kebun masing-masing
disatukan, lalu dibuatlah bumbu rujaknya. Asyik ya pesta rujakan ini?
Di kampung saya, rujakan lebih popular dengan sebutan
lutisan. Sebelum menentukan siapa pembuat bumbunya, saya bersama membuat ritual
hompimpahalaiyumgambreng. Hasil akhirnya pingsutan yang kalah akan menjadi
pembuat lutisan. Pembuat lutisan juga disesuaikan dengan si pembuat. Kami yang
menang cuma pasrah bongkokan dengan pembuat bumbu. Di larang protes jika bumbu
rujak rasanya tidak enak.
Apa hubungannya dengan cabe? Tentu ada. Secara umum bumbu
lutisan terdiri dari gula merah, cabe, asem, bawang putih, dan kacang tanah
yang digoreng. Tetapi ada yang punya kebiasaan menambahkan kencur agar segar. Ada pula yang menambahkan terasi, agar aromanya lebih kuat dan rasanya
lebih bernas. Nah, cabe inilah yang menentukan “serunya”
rujakan bersama di masa kecil saya.
Saya masih ingat, di kampung saya Sumatera Selatan itu,
ukuran cabe itu bukan berapa biji untuk satu kali lutisan? Tetapi berapa
kilogram cabe yang akan dimasukkan dalam rmuan lutis? Bayangkan saja
kepedasannya. Kalau bumbu lutisan biasanya warna dominannya adalah coklat gula
Jawa, maka lutisan bikinan kelompok masa kecil kami berwarna merah saga.
Biasanya kesepakatan kami selalu berakhir di angka
seperempat kilogram saja. Itu saja sudah membikin bibir kami semua jontor,
njedir, muka merah meruap, telinga sampai pekak (budeg) saking panasnya. Keringat
bercucuran di mana-mana. Dan ups…maaf umbel produksi dadakan ini meler
kemana-mana. Saya ingat karena kami masih belia, maka kami kerap mengenakan
ujung kaos bagian bawah atau kerah baju untuk
menyisihkan umbel itu. Yekssssss…kalau ingat betapa joroknya kami,
kadang-kadang jadi malu jika mengenangnya.
Ho hah ho hah…Cuma itu aja lontaran mulut kami sepanjang
acara lutisan bersama ini. Dan sekitar setengah jam kemudian acara pesta
rujakan ini bubar dengan diakhiri mengaduh-aduh kepedasan. Beberapa di antaranya
mengeluh perutnya sakit. Besoknya, ketika kami bertemu di sekolah satu sama
lain mengaku mencret-mencret. Toh, pesta rujakan dengan cabe gila-gilaan terus
berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian hanya menjadi kenangan manis
semata. Setamat SMP saya sudah pindah ke tanah Jawa dan menandai berakhirnya
pesta rujakan itu.
Kegilaan saya pada cabe terus terjadi. Di Yogyakarta,
rujakan saya beli melalui pedagang keliling yang memberi isyarat lewat
bunyi-bunyiannya yang khas. “tek…tek …tek…tek…” Kami biasanya anak-anak kos
langsung menghambur keluar. Berebutan pesan. Nah ini dia. Karena ritual rujakan
di kampung halaman dengan cabe yang melimpah, maka biasanya rujak pesanan saya dengan cabe 15 biji. Mbak-mbak kos sampai
melotot ngeri ketika saya pesan cabe sebanyak itu.
Dan suatu hari ketika saya menginjak bangku SMA, peristiwa
itu terjadilah. Saya mengeluhkan sakit perut yang tiada henti. Sampai-sampai
saya sulit berjalan. Dokter kemudian memberikan berita yang mengejutkan saya
harus dioperasi karena terkena usus buntu.
Cabe salah satu faktornya. Dan begitulah, sejak operasi itu,
cabe adalah satu benda yang harus saya jauhi. Sungguh mulut saya kuat menahan
kepedasannya, tetapi tidak untuk perut
saya. Setelah 17 tahun berlalu, perut saya kian tak mau diajak bekerjasama
dengan cabe.
Jika saya pesan gado-gado atau pecel dengan cabe satu biji
saja, perut saya melilit kesakitan. Hingga suatu hari saya merasakan dampak
cabe yang begitu hebat untuk tubuh saya. Saya pernah tidak bisa jalan, bahkan
untuk ke toilet sekalipun.
Sungguh menderita. Bagaimana obatnya? Saya biasanya minum
norit dan menghentikan konsumsi cabe sama sekali. Maka dua hari sakit itu
hilang sama sekali.
Tetapi gara-gara cabe itu pula, saya setidaknya sudah di
opname di rumah sakit tiga kali karena
usus atau lambungnya terluka. Tidak hanya mampu berjalan, saya
muntah-muntah dan diare sampai 25 kali
sehari. Jika sudah begini, di infuse dan
masuk rumah sakit satu-satunya solusi. Terakhir
sepekan lalu peristiwa itu terjadi. Tubuh ini lemas, lunglai, benar-benar
seperti tidak berfungsi.
Setelah sepekan dihajar muntah dan diare, rasa-rasanya saya
sudah mantap menyatakan “perang melawan
cabe”. Cabe dehhhhh…..
Yogyakarta, 9 Desmeber
2011.
Friday, December 9, 2011
KD, Raul, dan (Saya)
Ketika KD melakukan jumpa pers beberapa hari lalu, puluhan SMS mampir ke
handphone saya. Macem-macem bunyinya. Tapi ada satu SMS yang cukup
menggelitik sehingga mendorong saya menulis note ini. Bunyi SMS ini:
"KD udah ngaku pacaran sama Raul. Masih mau ditahan juga tuh foto yang
dijepret Rurit?
Apa hubungan KD, Raul, dan (saya)? Ini bermula ketika saya mendapat tugas meliput di negeri bekas provinsi ke-27 negara kita, Timor Leste, akhir Desember tahun lalu. Pertemuan itu tak sengaja. Saya diajak oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao untuk hadir dalam acara ulang tahun Presiden Timor Leste Ramos Horta. Penawaran Pak PM hanya sesaat setelah usai wawancara selama dua jam setengah jam dari satu jam yang direncanakan.
Salah satu tugas dari kantor yang mesti saya lakoni adalah mewawancarai Pak Ramos Horta. Acara dadakan ini jelas di luar rencana saya. Tapi mendapat kesempatan tak terduga untuk wawancara Pak Ramos jelas seperti mendapat durian jatuh. Maklum, saya belum sempat memasukkan surat permohonan wawancara lantaran libur Natal kantor pemerintahan tutup.
Pak PM menjanjikan akan mengenalkan saya pada Pak Ramos untuk kepentingan wawancara tersebut. Pertemuan itu terjadilah. Sebelum acara peniupan lilin , kami bertiga bertemu. “Transaksi" permintaan wawancara kepada Pak Presdien berjalan mulus, cuma butuh waktu lima menit. Saya diterima Pak Presiden, pukul 10.00 tanggal 27 Desember, keesokan harinya, tanpa birokrasi yang ruwet. (Ah andai Indonesia seperti ini. Mungkin nggak ya?)
Pak PM, Pak Presiden, dan saya kemudian berpisah. (Ya jelaslah, saya, kan bukan first lady-nya?) Mereka kemudian ngobrol bersama tamu yang malam itu berjumlah tak lebih 150 orang.
Begitu sendirian, saya celingukan. Mata saya menyapu pada tamu undangan yang hadir, siapa tahu ada yang saya kenal. Saat itulah saya menangkap dua sosok yang begitu dikenal di Indonesia. Christine Hakim dan salah satu diva Indonesia, Kris Dayanti. Dari obrolan teman-teman dan media portal yang kadang saya baca, KD panggilan akrabnya, tengah menjadi perbincangan hangat karena terlibat kisah asmara dengan pengusaha asal Timor Leste, Raul Lemos. Menurut pemberitaan, Raul masih terikat hukum perkawinan dengan istrinya . Tapi kalau benar, kok berani betul ya Raul mengajak KD dalam acara resmi presiden yang pasti dihadiri oleh banyak tamu penting di negara itu. (Apalagi dari informasi yang dengar di TL, istri Raul, keponakan bekas Perdana Menteri Marie Alkatiri)
Malam itu, KD terlihat anggun dengan rambutnya yang disanggul. Dia mengenakan batik warna coklat tua. Wajah KD tak hentinya mengulum senyum. Bungah itu jelas terpancar dari matanya yang bersinar.
Tentu KD tak sendirian. Sesosok lelaki tinggi tegap, berkulit coklat, dan dandy, menemani KD. Lantaran belum pernah melihat wajahnya, saya hanya menduga dia Raul. Tapi apa peduli saya? Memikirkan harus menyiapkan wawancara dengan Pak Presiden keesokan harinya saja sudah membuat saya nervous. Jadi, mana sempat ngurusin yang begituan.
Merasa sesama Indonesia, saya menyalami Christin Hakim, dan memperkenalkan diri sebagai wartawan Tempo. Agak sok akrab memang. Tapi rasanya garing juga kalau saya cuma diam mematung. CH kelihatan cuek. Sebaliknya, KD menyapa dengan ramah. Kami pun ngobrol.
Kepada KD, pertanyaan saya datar, kapan tiba di Dili, ngapain datang ke acara ini, atas undangan siapa, berapa lama tinggal di Dili, apa komentar dia tentang Dili? Saya bahkan tak menanyakan nama pria yang terus digandeng KD sepanjang acara itu. Tapi KD sempat menyebut “Pak Raul” sebagai pengusaha Timor leste yang berpotensi memajukan Timor Leste. Dalam wawancara singkat kami, KD juga bercerita tentang album barunya bersama Siti Nurhaliza, penyanyi asal Malaysia.
Selama kami berbincang, sesekali KD melayani beberapa fans yang minta tandatangannya. Kadang-kadang ditengah obrolan kami, Raul membisikkan sesutu ke telinga KD. Begitu pula sebaliknya, ketika KD ingin berbicara dengan Raul, maka tubuhnya yang pendek berjinjit menjangkau kuping Raul. Sungguh serasi dan berseri-seri.
Tak lama setelah itu, cara di mulai. Untuk Pak Presiden, KD menyanyikan dua buah lagu, satu lagu Timor, dan lagu Barat berjudul When You Tell that you love me.
Sebelum acara selesai, saya pamit pulang lantaran sudah dijemput. Tapi saya minta di foto bersama KD atas permintaan kakak dan teman jika bertemu public figure. Penata rias KD yang khusus dia bawa dari Indonesia-lah yang menjepret pose kami.
Dengan profesi wartawan, mestinya saya punya banyak koleksi foto para artis, aktor, maupun pejabat. Tapi saya kurang menaruh minat. Satu-satunya public figure yang saya “ngotot” minta berfoto adalah bersama Wakil Presiden Boediono, yang sempat saya wawancara ketika masa kampanye. Saya mengagumi ketenangannya, kesantunannya, dan kecerdasannya.
Usai kami bertiga foto bersama, saya ijin menjepretkan kamera kepada mereka berdua. KD tak menolak, sebaliknya Raul agak keberatan. Kepada saya, KD berujar,“Ini eksklusif lho.Ini baru pertama kalinya foto kami berdua di depan publik yang dijepret wartawan.” Saya pun dengan polos bilang, “Wah beruntung dong saya.” Tapi Raul buru-buru menyela. “Fotonya jangan dijual ya.” Saya membalas pernyataan Raul. “Saya kan bukan koran gosip,” saya menjawab sekenanya. Maksud saya, bukan posi media tempat saya bernaung untuk membuat pemberitaan semacam ini. Ada yang lebih pas, yakni tabloid dan infotainment.
Kami lantas berpisah. Tak terduga, saat pulang ke Indonesia, kami satu pesawat. Begitu turun dari pesawat, saya berada dalam bus transit yang sama. KD-lah yang menyapa duluan. “Hei mbak ketemu lagi.” Dari cerita teman-teman dan artis yang pernah saya wawancara, KD dikenal orang yang ramah pada siapa saja. Dalam dandanan yang santai, KD jauh lebih terlihat segar. Rambutnya yang sebelumnya disanggul dibiarkan tergerai. Satu hal yang sama dengan pertemuan sebelumnya dia hangat dan selalu menyunggingkan senyum.
Begitu masuk bandara Bali, semua orang harus mengantri cap paspor. Padahal antrian sudah mengular. Ketika bermaksud mengantri, Raul menawarkan bantuan. “Sekalian saja kita urus.” “Wah kebetulan,” dalam hati saya. Paspor saya pun berpindah tangan dan diuruskan oleh orang Raul di bandara.
Selama kurang lebih 40 menit, saya mengobrol dengan KD. Raul hanya sesekali menimpali, itupun kalau saya tanya. Setelah urusan paspor kelar, kami berpisah. Kepada saya, KD bilang akan bertahun baru ke Hongkong bersama kakaknya yang lebih dulu berada di sana. Cerita pertemuan antara KD-Raul dan saya selesai sudah. Tapi ternyata tidak dengan urusan foto.
Begitu tiba di Indonesia, saya langsung liputan harian. Liputan Dili sempat saya lupakan. Tapi cerita KD soal album barunya, saya kirimkan untuk Koran.
Tak dinyana, seminggu setelah pemuatan di Koran pada bulan Januari, ada teman dari sebuah tabloid menanyakan apakah saya memiliki foto KD. Soal, bagaimana dia tahu kalau saya bertemu KD, saya duga dari tulisan yang sudah terbit. Saya berterus terang kalau memang memiliki foto KD. Dia berniat membeli foto yang menurut dia belum ada satu pun media yang memuatnya. Saya menolak karena berbagai alasan.
Dia mencecar saya dengan berbagai pertanyaan, antara lain alasan saya enggan memberikan foto itu. Saya sempat menjawab, “Karena memang bukan urusan saya.” Sang temen mash tetep ngotot. Dalam “perdebatan” itu, lama-lama, kok saya merasa menjadi korban intimidatif dia ya? Dia bilang soal jurnalisme, soal wartawan senior, dan bla bla bla. Waduh, kok malah saya yang jadi korban.
Teman saya “ngotot” memakai foto KD-Raul sebagai alat bukti yang menguatkan liputan mereka. Tapi di sisi lain, saya paham, mungkin dia mendapat tekanan dari kantor tempat dia bekerja, agar dengan cara apapun mendapat foto itu.
Tapi saya tetap tidak bersedia memberikan foto mereka berdua. Saya memang sempat memberikan tawaran, silahkan ambil foto, asal ijin KD, tapi dia menolaknya.
Setelah itu, tidak ada cerita lagi. Saya berpikir urusan ini selesai. Saya juga tak tertarik “berjualan” meski saya tahu nilai keeksklusifan foto KD-Raul. Hingga tiga bulan berjalan, tepatnya tiga minggu lalu, teman yang sama mencoba menghubungi saya kembali. Selain dia, ada teman media lain yang berminat terhadap foto itu tetapi tidak terlalu serius memang. Berbeda dengan tabloid teman saya yang memang benar-benar membutuhkan foto itu.
Dia meminta saya mempertimbangkan kembali pemuatan foto KD-Raul dan berkonsultasi dengan kantor Jakarta. Saya berkontak dengan redaksi di Jakarta dan mengatakan tidak akan memberikan foto itu. Rupanya urusan foto belum selesai. Pemimpin redaksi tempat dia bekerja, mengontak atasan saya, meminta koleksi foto KD. Bisa ditebak, urusan ini melebar. Bagian foto tak pernah menemukan foto itu lantaran tidak pernah saya laporkan di bagian pendataan foto. Atasan saya yang semula tidak tahu menjadi tahu.
Namun, teman dari Jakarta dan Biro menjelaskan duduk permasalahannya dengan para “petinggi” media kami. Beruntung, media tempat saya bernaung masih menghargai sikap saya . Mereka satu suara soal foto KD-Raul, menjadi hak saya untuk mengedarkan atau tidak, menjual atau menyimpan foto eksklusif itu.
Ada beberapa alasan saya keukuh tidak ingin mengedarkan foto itu saat semua media mencari foto mereka berdua. Pertama, urusan itu tak berdampak kepada publik. Sebagai contoh, kasus korupsi, penyelewengan jabatan dan kekuasaan dll. Kalau misalnya, KD atau Raul terlibat kriminal atau mereka terkena kasus korupsi yang melibatkan pejabat, bisa jadi foto itu saya edarkan. Tetapi untuk persoalan pribadi, itu bukan ranah saya.
Kedua komersialisasi industri infotainment sudah demikian mengerikan. Bombardir pemberitaan yang ditayangkan berulang-ulang terhadap satu kasus, membuat saya miris. Sebaliknya, masyarakat tak mendapat apapun, kecuali tontonan yang kurang mendidik.
Memang, jika foto itu tayang di tabloid, tak sedahsyat bila tayang di infotainment. Tapi bagaimana jika hasil jepretan di tabloid itu lantas dipakai oleh infotainment dan ditayangkan secara bombardir. Bukankah saya juga turut mendukung komersialisasi ini terjadi di depan mata?
Karena pemberitaan yang bombastis, orang bahkan lupa lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi, termasuk KD bisa menghibur kita yang tengah jatuh cinta, lara, bahagia. Saya tidak terlalu ngefans- amat dengan lagu-lagu KD. Cuma, kalau berkaraoke, saya tak pernah lupa menyanyikan dua buah lagunya, Menghitung hari dan Penantian.
Saya tidak pernah menyesal, foto itu hanya menjadi bagian koleksi pribadi semata. Meski ganjarannya, saya jelas tidak mendapat apa-apa, uang ataupun popularitas. Saya dengan sadar memilih itu. Alasan mendasarnya, saya ingin menyisakan ruang pada diri saya yang akhirnya saya bagikan juga di sini: secuil hati nurani yang belum mati. Saya percaya nurani tidak akan pernah mati, jika kita terus berusaha menjaganya.
Tanpa mengurangi rasa duka yang mendalam peristiwa Tanjung Priok, semoga sekeping kisah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Yogyakarta, 15 April 2010
Apa hubungan KD, Raul, dan (saya)? Ini bermula ketika saya mendapat tugas meliput di negeri bekas provinsi ke-27 negara kita, Timor Leste, akhir Desember tahun lalu. Pertemuan itu tak sengaja. Saya diajak oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao untuk hadir dalam acara ulang tahun Presiden Timor Leste Ramos Horta. Penawaran Pak PM hanya sesaat setelah usai wawancara selama dua jam setengah jam dari satu jam yang direncanakan.
Salah satu tugas dari kantor yang mesti saya lakoni adalah mewawancarai Pak Ramos Horta. Acara dadakan ini jelas di luar rencana saya. Tapi mendapat kesempatan tak terduga untuk wawancara Pak Ramos jelas seperti mendapat durian jatuh. Maklum, saya belum sempat memasukkan surat permohonan wawancara lantaran libur Natal kantor pemerintahan tutup.
Pak PM menjanjikan akan mengenalkan saya pada Pak Ramos untuk kepentingan wawancara tersebut. Pertemuan itu terjadilah. Sebelum acara peniupan lilin , kami bertiga bertemu. “Transaksi" permintaan wawancara kepada Pak Presdien berjalan mulus, cuma butuh waktu lima menit. Saya diterima Pak Presiden, pukul 10.00 tanggal 27 Desember, keesokan harinya, tanpa birokrasi yang ruwet. (Ah andai Indonesia seperti ini. Mungkin nggak ya?)
Pak PM, Pak Presiden, dan saya kemudian berpisah. (Ya jelaslah, saya, kan bukan first lady-nya?) Mereka kemudian ngobrol bersama tamu yang malam itu berjumlah tak lebih 150 orang.
Begitu sendirian, saya celingukan. Mata saya menyapu pada tamu undangan yang hadir, siapa tahu ada yang saya kenal. Saat itulah saya menangkap dua sosok yang begitu dikenal di Indonesia. Christine Hakim dan salah satu diva Indonesia, Kris Dayanti. Dari obrolan teman-teman dan media portal yang kadang saya baca, KD panggilan akrabnya, tengah menjadi perbincangan hangat karena terlibat kisah asmara dengan pengusaha asal Timor Leste, Raul Lemos. Menurut pemberitaan, Raul masih terikat hukum perkawinan dengan istrinya . Tapi kalau benar, kok berani betul ya Raul mengajak KD dalam acara resmi presiden yang pasti dihadiri oleh banyak tamu penting di negara itu. (Apalagi dari informasi yang dengar di TL, istri Raul, keponakan bekas Perdana Menteri Marie Alkatiri)
Malam itu, KD terlihat anggun dengan rambutnya yang disanggul. Dia mengenakan batik warna coklat tua. Wajah KD tak hentinya mengulum senyum. Bungah itu jelas terpancar dari matanya yang bersinar.
Tentu KD tak sendirian. Sesosok lelaki tinggi tegap, berkulit coklat, dan dandy, menemani KD. Lantaran belum pernah melihat wajahnya, saya hanya menduga dia Raul. Tapi apa peduli saya? Memikirkan harus menyiapkan wawancara dengan Pak Presiden keesokan harinya saja sudah membuat saya nervous. Jadi, mana sempat ngurusin yang begituan.
Merasa sesama Indonesia, saya menyalami Christin Hakim, dan memperkenalkan diri sebagai wartawan Tempo. Agak sok akrab memang. Tapi rasanya garing juga kalau saya cuma diam mematung. CH kelihatan cuek. Sebaliknya, KD menyapa dengan ramah. Kami pun ngobrol.
Kepada KD, pertanyaan saya datar, kapan tiba di Dili, ngapain datang ke acara ini, atas undangan siapa, berapa lama tinggal di Dili, apa komentar dia tentang Dili? Saya bahkan tak menanyakan nama pria yang terus digandeng KD sepanjang acara itu. Tapi KD sempat menyebut “Pak Raul” sebagai pengusaha Timor leste yang berpotensi memajukan Timor Leste. Dalam wawancara singkat kami, KD juga bercerita tentang album barunya bersama Siti Nurhaliza, penyanyi asal Malaysia.
Selama kami berbincang, sesekali KD melayani beberapa fans yang minta tandatangannya. Kadang-kadang ditengah obrolan kami, Raul membisikkan sesutu ke telinga KD. Begitu pula sebaliknya, ketika KD ingin berbicara dengan Raul, maka tubuhnya yang pendek berjinjit menjangkau kuping Raul. Sungguh serasi dan berseri-seri.
Tak lama setelah itu, cara di mulai. Untuk Pak Presiden, KD menyanyikan dua buah lagu, satu lagu Timor, dan lagu Barat berjudul When You Tell that you love me.
Sebelum acara selesai, saya pamit pulang lantaran sudah dijemput. Tapi saya minta di foto bersama KD atas permintaan kakak dan teman jika bertemu public figure. Penata rias KD yang khusus dia bawa dari Indonesia-lah yang menjepret pose kami.
Dengan profesi wartawan, mestinya saya punya banyak koleksi foto para artis, aktor, maupun pejabat. Tapi saya kurang menaruh minat. Satu-satunya public figure yang saya “ngotot” minta berfoto adalah bersama Wakil Presiden Boediono, yang sempat saya wawancara ketika masa kampanye. Saya mengagumi ketenangannya, kesantunannya, dan kecerdasannya.
Usai kami bertiga foto bersama, saya ijin menjepretkan kamera kepada mereka berdua. KD tak menolak, sebaliknya Raul agak keberatan. Kepada saya, KD berujar,“Ini eksklusif lho.Ini baru pertama kalinya foto kami berdua di depan publik yang dijepret wartawan.” Saya pun dengan polos bilang, “Wah beruntung dong saya.” Tapi Raul buru-buru menyela. “Fotonya jangan dijual ya.” Saya membalas pernyataan Raul. “Saya kan bukan koran gosip,” saya menjawab sekenanya. Maksud saya, bukan posi media tempat saya bernaung untuk membuat pemberitaan semacam ini. Ada yang lebih pas, yakni tabloid dan infotainment.
Kami lantas berpisah. Tak terduga, saat pulang ke Indonesia, kami satu pesawat. Begitu turun dari pesawat, saya berada dalam bus transit yang sama. KD-lah yang menyapa duluan. “Hei mbak ketemu lagi.” Dari cerita teman-teman dan artis yang pernah saya wawancara, KD dikenal orang yang ramah pada siapa saja. Dalam dandanan yang santai, KD jauh lebih terlihat segar. Rambutnya yang sebelumnya disanggul dibiarkan tergerai. Satu hal yang sama dengan pertemuan sebelumnya dia hangat dan selalu menyunggingkan senyum.
Begitu masuk bandara Bali, semua orang harus mengantri cap paspor. Padahal antrian sudah mengular. Ketika bermaksud mengantri, Raul menawarkan bantuan. “Sekalian saja kita urus.” “Wah kebetulan,” dalam hati saya. Paspor saya pun berpindah tangan dan diuruskan oleh orang Raul di bandara.
Selama kurang lebih 40 menit, saya mengobrol dengan KD. Raul hanya sesekali menimpali, itupun kalau saya tanya. Setelah urusan paspor kelar, kami berpisah. Kepada saya, KD bilang akan bertahun baru ke Hongkong bersama kakaknya yang lebih dulu berada di sana. Cerita pertemuan antara KD-Raul dan saya selesai sudah. Tapi ternyata tidak dengan urusan foto.
Begitu tiba di Indonesia, saya langsung liputan harian. Liputan Dili sempat saya lupakan. Tapi cerita KD soal album barunya, saya kirimkan untuk Koran.
Tak dinyana, seminggu setelah pemuatan di Koran pada bulan Januari, ada teman dari sebuah tabloid menanyakan apakah saya memiliki foto KD. Soal, bagaimana dia tahu kalau saya bertemu KD, saya duga dari tulisan yang sudah terbit. Saya berterus terang kalau memang memiliki foto KD. Dia berniat membeli foto yang menurut dia belum ada satu pun media yang memuatnya. Saya menolak karena berbagai alasan.
Dia mencecar saya dengan berbagai pertanyaan, antara lain alasan saya enggan memberikan foto itu. Saya sempat menjawab, “Karena memang bukan urusan saya.” Sang temen mash tetep ngotot. Dalam “perdebatan” itu, lama-lama, kok saya merasa menjadi korban intimidatif dia ya? Dia bilang soal jurnalisme, soal wartawan senior, dan bla bla bla. Waduh, kok malah saya yang jadi korban.
Teman saya “ngotot” memakai foto KD-Raul sebagai alat bukti yang menguatkan liputan mereka. Tapi di sisi lain, saya paham, mungkin dia mendapat tekanan dari kantor tempat dia bekerja, agar dengan cara apapun mendapat foto itu.
Tapi saya tetap tidak bersedia memberikan foto mereka berdua. Saya memang sempat memberikan tawaran, silahkan ambil foto, asal ijin KD, tapi dia menolaknya.
Setelah itu, tidak ada cerita lagi. Saya berpikir urusan ini selesai. Saya juga tak tertarik “berjualan” meski saya tahu nilai keeksklusifan foto KD-Raul. Hingga tiga bulan berjalan, tepatnya tiga minggu lalu, teman yang sama mencoba menghubungi saya kembali. Selain dia, ada teman media lain yang berminat terhadap foto itu tetapi tidak terlalu serius memang. Berbeda dengan tabloid teman saya yang memang benar-benar membutuhkan foto itu.
Dia meminta saya mempertimbangkan kembali pemuatan foto KD-Raul dan berkonsultasi dengan kantor Jakarta. Saya berkontak dengan redaksi di Jakarta dan mengatakan tidak akan memberikan foto itu. Rupanya urusan foto belum selesai. Pemimpin redaksi tempat dia bekerja, mengontak atasan saya, meminta koleksi foto KD. Bisa ditebak, urusan ini melebar. Bagian foto tak pernah menemukan foto itu lantaran tidak pernah saya laporkan di bagian pendataan foto. Atasan saya yang semula tidak tahu menjadi tahu.
Namun, teman dari Jakarta dan Biro menjelaskan duduk permasalahannya dengan para “petinggi” media kami. Beruntung, media tempat saya bernaung masih menghargai sikap saya . Mereka satu suara soal foto KD-Raul, menjadi hak saya untuk mengedarkan atau tidak, menjual atau menyimpan foto eksklusif itu.
Ada beberapa alasan saya keukuh tidak ingin mengedarkan foto itu saat semua media mencari foto mereka berdua. Pertama, urusan itu tak berdampak kepada publik. Sebagai contoh, kasus korupsi, penyelewengan jabatan dan kekuasaan dll. Kalau misalnya, KD atau Raul terlibat kriminal atau mereka terkena kasus korupsi yang melibatkan pejabat, bisa jadi foto itu saya edarkan. Tetapi untuk persoalan pribadi, itu bukan ranah saya.
Kedua komersialisasi industri infotainment sudah demikian mengerikan. Bombardir pemberitaan yang ditayangkan berulang-ulang terhadap satu kasus, membuat saya miris. Sebaliknya, masyarakat tak mendapat apapun, kecuali tontonan yang kurang mendidik.
Memang, jika foto itu tayang di tabloid, tak sedahsyat bila tayang di infotainment. Tapi bagaimana jika hasil jepretan di tabloid itu lantas dipakai oleh infotainment dan ditayangkan secara bombardir. Bukankah saya juga turut mendukung komersialisasi ini terjadi di depan mata?
Karena pemberitaan yang bombastis, orang bahkan lupa lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi, termasuk KD bisa menghibur kita yang tengah jatuh cinta, lara, bahagia. Saya tidak terlalu ngefans- amat dengan lagu-lagu KD. Cuma, kalau berkaraoke, saya tak pernah lupa menyanyikan dua buah lagunya, Menghitung hari dan Penantian.
Saya tidak pernah menyesal, foto itu hanya menjadi bagian koleksi pribadi semata. Meski ganjarannya, saya jelas tidak mendapat apa-apa, uang ataupun popularitas. Saya dengan sadar memilih itu. Alasan mendasarnya, saya ingin menyisakan ruang pada diri saya yang akhirnya saya bagikan juga di sini: secuil hati nurani yang belum mati. Saya percaya nurani tidak akan pernah mati, jika kita terus berusaha menjaganya.
Tanpa mengurangi rasa duka yang mendalam peristiwa Tanjung Priok, semoga sekeping kisah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Yogyakarta, 15 April 2010
Thursday, December 8, 2011
Mengulang Tahun Bersama Sahabat, Iv
Selamat datang tahun yang di ulang. Tahun ini, meski bulan telah
lewat satu purnama, kami, saya dan sahabat saya Eva (saya punya
panggilan sayang untuk dia, Iv) memutuskan merayakannya di negeri yang
pernah dinobatkan menjadi kota tercantik di Asia Tenggara, Saigon,
Vietnam. Saigon kini bernama Hochiminh.
Usia saya hanya berselisih satu hari dengan Iv. Soal jarak usia, waw...jauh. Maksudnya saya jauh lebih tua. Soal umur, ndak usah dibahaslah ya hehehe. Bukan malu karena tua. Tetapi mengetahui usia seseorang seringkali membuat komunikasi menjadi berjarak. Ini menurut saya lo. Saya tidak memaksakan diri jika ada yang berbeda dengan pendapat saya ;) Toh, meski usia berjarak, kami tetap fun dan mengelana bersama di negeri yang oh my God...kami lebih sering menggunakan bahasa Tarzan.
Dari Yogya, tempat saya bermukim, saya menyiapkan lilin dan kado buat Iv. Saya memang melontarkan ide kepada Iv untuk mengulang tahun kelahiran kami dengan bertukar kado dan membuat pesta kecil. Saya juga menyiapkan rok, yang aih....ternyata muat di tubuh saya. Pakaian yang saya kenakan hadiah dari seorang sahabat juga. saya tak percaya rok itu muat mengingt tubuh saya segede gaban. Hiiiiiii....thanks sahabat untuk kadomu. Sepeertinya aku terlihat cantik ya? hehehe.
Malam terakhir sebelum kami meninggalkan Vietnam, kami bikin acara itu. ah, Rere yang berangkat bersama kami, seolah tahu ini malam kami berdua. Kameranya terarah pada kami berdua. Padahal biasanya, tertuju untukmu ya yeye. dan tentu saja, dandan pol-polan dengan salon Iv membuat saya yang memang tak pernah berdandan terlihat agak beda...kikikikikikik...
Kami berdua tak memilih cafe yang mewah. Dengan rok yang begitu feminin kami makan di pinggir jalan. Nggak nyambung ching. Emang iya. Kenapa tidak? Kami memesan kepiting dan kerang yang alamak enaknya. Lalu acara tukaran kado di mulai. Tak ketinggalan dong, pakai acara meniup lilin yang saya bawa dari Indonesia (hehehe niat banget). Satu lilin kami tiup. Setelah acara tiup lilin kelar...Iv bertanya: "Make a wishnya apa?" Hah, saya bengong. Tapi sedetik kemudian, saya sadar. “Saya nggak minta apa-apa.”
Iv memberi saya anting-anting kupu-kupu. Tapi tepat di hari ulang tahun saya, dia memberi kata-kata bijak yang tak akan pernah saya lupa. “Semoga di hari yang indah ini, Mbak Rurit diberikan kebijaksanaan untuk dapat mengubah yang bisa diubah dan dapat menerima yang tidak dapat diubah dalam hidup, serta kebijaksanaan untuk dapat membedakan keduanya.” Bahkan saya masih terharu hingga saat ini.
Dan, terereng, perkenalkan lagi, nama saya Bernada Rurit. Saya belum menikah, dan sedang melakukan perjalanan spiritual yang intensif sejak 2 tahun terakhir. Lebih tepatnya perjalanan tanpa diri, sebuah proses yang terus menerus akan saya lakukan hingga menutup mata.
---
Nb:
Tahun kemarin merupakan hal yang rumit dalam persahabatan saya meski dalam beberapa saat, saya telah melewatinya dengan mulus. Saya sempat kebingungan dengan jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan untuk diri saya. “Mengapa seseorang bisa salah langkah dalam hidupnya? Pertanyaan itu memiliki efek yang dahsyat karena berpengaruh terhadap interaksi dengani sahabat-sahabat saya.
Hingga suatu hari, ketika saya memandang awan di atas jendela kamar saya, sebuah kata-kata bijak mengalir dengan lembutnya. “Dalam hidup, seseorang bisa salah langkah.” Satu kalimat itu sudah menjelaskan banyak hal kepada saya. Saya tidak pernah mengajukan pertanyaan itu lagi dan beban saya pun terlepas. Seperti melayang di udara.
Usia saya hanya berselisih satu hari dengan Iv. Soal jarak usia, waw...jauh. Maksudnya saya jauh lebih tua. Soal umur, ndak usah dibahaslah ya hehehe. Bukan malu karena tua. Tetapi mengetahui usia seseorang seringkali membuat komunikasi menjadi berjarak. Ini menurut saya lo. Saya tidak memaksakan diri jika ada yang berbeda dengan pendapat saya ;) Toh, meski usia berjarak, kami tetap fun dan mengelana bersama di negeri yang oh my God...kami lebih sering menggunakan bahasa Tarzan.
Dari Yogya, tempat saya bermukim, saya menyiapkan lilin dan kado buat Iv. Saya memang melontarkan ide kepada Iv untuk mengulang tahun kelahiran kami dengan bertukar kado dan membuat pesta kecil. Saya juga menyiapkan rok, yang aih....ternyata muat di tubuh saya. Pakaian yang saya kenakan hadiah dari seorang sahabat juga. saya tak percaya rok itu muat mengingt tubuh saya segede gaban. Hiiiiiii....thanks sahabat untuk kadomu. Sepeertinya aku terlihat cantik ya? hehehe.
Malam terakhir sebelum kami meninggalkan Vietnam, kami bikin acara itu. ah, Rere yang berangkat bersama kami, seolah tahu ini malam kami berdua. Kameranya terarah pada kami berdua. Padahal biasanya, tertuju untukmu ya yeye. dan tentu saja, dandan pol-polan dengan salon Iv membuat saya yang memang tak pernah berdandan terlihat agak beda...kikikikikikik...
Kami berdua tak memilih cafe yang mewah. Dengan rok yang begitu feminin kami makan di pinggir jalan. Nggak nyambung ching. Emang iya. Kenapa tidak? Kami memesan kepiting dan kerang yang alamak enaknya. Lalu acara tukaran kado di mulai. Tak ketinggalan dong, pakai acara meniup lilin yang saya bawa dari Indonesia (hehehe niat banget). Satu lilin kami tiup. Setelah acara tiup lilin kelar...Iv bertanya: "Make a wishnya apa?" Hah, saya bengong. Tapi sedetik kemudian, saya sadar. “Saya nggak minta apa-apa.”
Iv memberi saya anting-anting kupu-kupu. Tapi tepat di hari ulang tahun saya, dia memberi kata-kata bijak yang tak akan pernah saya lupa. “Semoga di hari yang indah ini, Mbak Rurit diberikan kebijaksanaan untuk dapat mengubah yang bisa diubah dan dapat menerima yang tidak dapat diubah dalam hidup, serta kebijaksanaan untuk dapat membedakan keduanya.” Bahkan saya masih terharu hingga saat ini.
Dan, terereng, perkenalkan lagi, nama saya Bernada Rurit. Saya belum menikah, dan sedang melakukan perjalanan spiritual yang intensif sejak 2 tahun terakhir. Lebih tepatnya perjalanan tanpa diri, sebuah proses yang terus menerus akan saya lakukan hingga menutup mata.
---
Nb:
Tahun kemarin merupakan hal yang rumit dalam persahabatan saya meski dalam beberapa saat, saya telah melewatinya dengan mulus. Saya sempat kebingungan dengan jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan untuk diri saya. “Mengapa seseorang bisa salah langkah dalam hidupnya? Pertanyaan itu memiliki efek yang dahsyat karena berpengaruh terhadap interaksi dengani sahabat-sahabat saya.
Hingga suatu hari, ketika saya memandang awan di atas jendela kamar saya, sebuah kata-kata bijak mengalir dengan lembutnya. “Dalam hidup, seseorang bisa salah langkah.” Satu kalimat itu sudah menjelaskan banyak hal kepada saya. Saya tidak pernah mengajukan pertanyaan itu lagi dan beban saya pun terlepas. Seperti melayang di udara.
Wednesday, December 7, 2011
Tentang Musuh
Beberapa hari ini saya
tergelitik dengan kata musuh. Entah musuh dalam selimut, musuh boongan,
atau musuh beneran. Siapa yang pernah musuhan? Atau kalaupun bukan
musuh siapa yang pernah tidak disukai orng entah tanpa sebab atau karena
alasan tertentu? Kalau belum saya acungi jempol. Seringkali musuh
dianggap duri dalam daging. Kita bisa tidak nyenyak tidur, memikirkan
perkataan-perkataannya atau sesuatu yang dilakukannya. Atau bisa pula
ingin balas dendam karena tak terima dengan yang mereka lakukan.
Padahal musuh atau orang yang tak menyukai kita, bukan tak berperan
untuk penyadaran batin kita lo.
Saya teringat, ketika dai kondang Aa Gym ketika masih ngetop, memberi siraman rohani di salah satu televisi nasional. Topiknya tentang musuh. Terus terang saya masih ingat dengan baik siraman rohani yang cuma berlangsung beberapa menit saja dan ingin saya bagikan di sini. Mungkin tak persis sama, karena saya menggunakan bahasa saya sendiri dan beberapa hal memberikan penambahan di sana sini tanpa mengurangi maksud dan tujuannya.
Dalam siraman rohani itu, dia menyampaikan kita pasti akan berhadapan dengan musuh atau orang yang tidak menyukai kita. Tentu musuh atau orang yang tidak menyukai itu akan melontarkan hal-hal buruk tentang kita ketika berinteraksi dengan mereka. Pasti, kita akan sakit hati ketika mendengarnya. Padahal, menurut Aa Gym, pernyataan, ucapan, lontaran musuh atau orang yang tidak menyukai kita tak selamanya jelek bagi penyadaran diri kita. Mengapa? Karena, orang yang paling jujur menilai kepribadian kita apa adanya, justru biasanya musuh atau orang yang tidak menyukai kita.
Kalau kita punya sahabat, apalagi seiring senada, cenderung sungkan, enggan terus terang, mengatakan apa adanya tentang kita. Umumnya mereka hanya mengatakan hal yang baik-baik saja tentang kita. Bahkan kerapkali ketika jalan kita melenceng pun, dibiarkan saja. Tanpa disadari persahabatan yang tak jujur justru menjerumuskan sahabatnya ke dalam jurang kehancuran.
Seorang musuh atau orang yang tidak menyukai kita karena merasa benci, sebal, dendam, pada kita, maka cenderung akan melontarkan kekurangan-kekurangan kita. Semua yang jelek tentang kita dimuntahkan seperti peluru.
Biasanya begitu sang musuh mengatakan sesuatu tentang kita, maka kita akan marah dan berupaya membalas. Itu manusiawi. Tetapi jika kita merenungkan dan menyadari kembali ucapan musuh tadi, bisa jadi marah kita akan tertunda. Jangan-jangan apa yang mereka sampaikan ada benarnya.
Nah, kadang-kadang peran "musuh" memang dibutuhkan, untuk meneliti batin kita kembali dan mengajak kita masuk ke dalam diri. Bukankah kita seringkali sibuk dengan orang lain, bukannya diri kita? Benarkah yang mereka sampaikan itu? Karena bukankah kita dalam interaksi dengan orang lain kerapkali tidak menyadari batin kita bermasalah dan merugikan orang lain tanpa kita sadari?
Dengan keikhlasan, rendah hati, serta menyadari batin inilah, maka justru suatu saat kita akan merasa berterimakasih dengan "musuh" atau seseorang yang tidak menyukai kita karena telah memberikan penilaian tentang kita jujur, apa adanya. Justru penilaian jujur itu bukan dari sahabat yang kita sayangi. Musuh atau orang yang tak menyukai kita, selalu ada untuk menjaga terus kesadaran kita yang kerap kali "bablas". Melalui salah satu "musuh" inilah "eling" atau sadar itu bersama kita. Sehingga ketika tercerahkan, kita tak lagi menganggap musuh sebagai "musuh". Salam sadar setiap setiap.
Semoga bermanfaat untuk saya dan teman-teman.
Yogyakarta, 19 November 2011
Saya teringat, ketika dai kondang Aa Gym ketika masih ngetop, memberi siraman rohani di salah satu televisi nasional. Topiknya tentang musuh. Terus terang saya masih ingat dengan baik siraman rohani yang cuma berlangsung beberapa menit saja dan ingin saya bagikan di sini. Mungkin tak persis sama, karena saya menggunakan bahasa saya sendiri dan beberapa hal memberikan penambahan di sana sini tanpa mengurangi maksud dan tujuannya.
Dalam siraman rohani itu, dia menyampaikan kita pasti akan berhadapan dengan musuh atau orang yang tidak menyukai kita. Tentu musuh atau orang yang tidak menyukai itu akan melontarkan hal-hal buruk tentang kita ketika berinteraksi dengan mereka. Pasti, kita akan sakit hati ketika mendengarnya. Padahal, menurut Aa Gym, pernyataan, ucapan, lontaran musuh atau orang yang tidak menyukai kita tak selamanya jelek bagi penyadaran diri kita. Mengapa? Karena, orang yang paling jujur menilai kepribadian kita apa adanya, justru biasanya musuh atau orang yang tidak menyukai kita.
Kalau kita punya sahabat, apalagi seiring senada, cenderung sungkan, enggan terus terang, mengatakan apa adanya tentang kita. Umumnya mereka hanya mengatakan hal yang baik-baik saja tentang kita. Bahkan kerapkali ketika jalan kita melenceng pun, dibiarkan saja. Tanpa disadari persahabatan yang tak jujur justru menjerumuskan sahabatnya ke dalam jurang kehancuran.
Seorang musuh atau orang yang tidak menyukai kita karena merasa benci, sebal, dendam, pada kita, maka cenderung akan melontarkan kekurangan-kekurangan kita. Semua yang jelek tentang kita dimuntahkan seperti peluru.
Biasanya begitu sang musuh mengatakan sesuatu tentang kita, maka kita akan marah dan berupaya membalas. Itu manusiawi. Tetapi jika kita merenungkan dan menyadari kembali ucapan musuh tadi, bisa jadi marah kita akan tertunda. Jangan-jangan apa yang mereka sampaikan ada benarnya.
Nah, kadang-kadang peran "musuh" memang dibutuhkan, untuk meneliti batin kita kembali dan mengajak kita masuk ke dalam diri. Bukankah kita seringkali sibuk dengan orang lain, bukannya diri kita? Benarkah yang mereka sampaikan itu? Karena bukankah kita dalam interaksi dengan orang lain kerapkali tidak menyadari batin kita bermasalah dan merugikan orang lain tanpa kita sadari?
Dengan keikhlasan, rendah hati, serta menyadari batin inilah, maka justru suatu saat kita akan merasa berterimakasih dengan "musuh" atau seseorang yang tidak menyukai kita karena telah memberikan penilaian tentang kita jujur, apa adanya. Justru penilaian jujur itu bukan dari sahabat yang kita sayangi. Musuh atau orang yang tak menyukai kita, selalu ada untuk menjaga terus kesadaran kita yang kerap kali "bablas". Melalui salah satu "musuh" inilah "eling" atau sadar itu bersama kita. Sehingga ketika tercerahkan, kita tak lagi menganggap musuh sebagai "musuh". Salam sadar setiap setiap.
Semoga bermanfaat untuk saya dan teman-teman.
Yogyakarta, 19 November 2011
Kulit putih itu cantik?
Sebuah fenomena yang saya perhatikan dari jauh adalah perubahan nilai estetika di
Indonesia sejak pertengahan/akhir th 90an mengenai warna kulit seperti apa yang dianggap ideal.
Saya masih ingat dulu di iklan Citra (body lotion) kulit ideal adalah kulit berwarna sawo matang atau kuning langsat, sekarang iklan-iklan produk kecantikan menekankan bahwa cantik yang ideal adalah mereka yang berkulit putih.
Tentu saja cantik itu relatif. Tapi sekarang di Indonesia, dengan berkulit putih saja, paling tidak sudah mendekati cantik. Ini hanya hasil pengamatan pribadi saya sendiri loh. Dari komentar orang yang lama tidak bertemu saya biasanya “Ayu, ya ampun gemuk banget kamu sekarang! Tapi kamu putih loh sekarang.” Yang kemudian saya terjemahkan sebagai yah nggak apa-apa lah gemuk tapi putih, nggak parah kerusakannya hahahahahahahaha
Buat Amara, anak perempuan saya yang berumur 10 tahun, masalah kulit putih ini agak membingungkan, karena kulitnya sawo matang. Di Eropa, warna kulitnya ini banyak digilai dan Amara selalu mendapat pujian apalagi di musim panas karena kami sering berjemur sampai warnanya sawo matang banget….eh sesampai di Indonesia justru warna kulit yang digilai di Eropa tidak disukai dan banyak komentar dengan nada heran, "Amara kok item ya?" menyiratkan bahwa berkulit hitam atau coklat adalah jelek.
Hal ini saya jadikan
pembelajaran untuk Amara bahwa cantik itu relatif dan bahwa rumput tetangga
selalu terlihat lebih hijau. Di Eropa kulit sawo matang itu cantik,
sehat, prestige. Kenapa prestige? Ya artinya ada duit untuk berlibur dan berjemur
di pantai, untuk perawatan atau ke tanning studio atau beli produk-produk kulit
agar menjadi berwarna karena kulit putih pucat justru kurang disukai. Di
Indonesia, kurang lebih sama hanya bedanya warna kulit yang lebih prestige
itu warna putih. Bahkan belum lama ini saya liat ada lowongan pekerjaan di salah satu provider selular di Jogja syaratnya adalah sebagai berikut: wanita, tinggi min 160cm, putih, dsb dsb. Kalau di luar negeri itu sudah masuk kategori rasis sebetulnya. Tapi mungkin provider tersebut ingin jaga nama dengan menampilkan customer service yang putih, karena putih itu cantik, putih itu prestige.
Buat saya sendiri sih, kulit yang cantik adalah kulit yang bersih dan sehat… mau putih atau coklat yang penting bersih dan sehat. Jadi, apakah berkulit putih itu pasti cantik?
Saya masih ingat dulu di iklan Citra (body lotion) kulit ideal adalah kulit berwarna sawo matang atau kuning langsat, sekarang iklan-iklan produk kecantikan menekankan bahwa cantik yang ideal adalah mereka yang berkulit putih.
Tentu saja cantik itu relatif. Tapi sekarang di Indonesia, dengan berkulit putih saja, paling tidak sudah mendekati cantik. Ini hanya hasil pengamatan pribadi saya sendiri loh. Dari komentar orang yang lama tidak bertemu saya biasanya “Ayu, ya ampun gemuk banget kamu sekarang! Tapi kamu putih loh sekarang.” Yang kemudian saya terjemahkan sebagai yah nggak apa-apa lah gemuk tapi putih, nggak parah kerusakannya hahahahahahahaha
Buat Amara, anak perempuan saya yang berumur 10 tahun, masalah kulit putih ini agak membingungkan, karena kulitnya sawo matang. Di Eropa, warna kulitnya ini banyak digilai dan Amara selalu mendapat pujian apalagi di musim panas karena kami sering berjemur sampai warnanya sawo matang banget….eh sesampai di Indonesia justru warna kulit yang digilai di Eropa tidak disukai dan banyak komentar dengan nada heran, "Amara kok item ya?" menyiratkan bahwa berkulit hitam atau coklat adalah jelek.
![]() |
(ingin kulit coklat malah jadi orange) |
Buat saya sendiri sih, kulit yang cantik adalah kulit yang bersih dan sehat… mau putih atau coklat yang penting bersih dan sehat. Jadi, apakah berkulit putih itu pasti cantik?
Sakit
Pernahkah kalian merasakan tubuh ini sudah tidak bisa diajak bekerjasama ketika kelelahan benar-benar mendera. Atau pernahkah kalian merasakan saat tubuh ini seakan tak mampu berfungsi ketika maag akut menghantam perutmu? Makan tak bisa beraneka warna lantaran jenis makanan yang dikunyah mesti seragam, hanya bubur sepanjang pekan. Berbaring terus terusan juga tak nyaman. Saya baru tahu bahwa kebanyakan tidur itu juga membuat tubuh lemas tak bergairah.
Tapi dari ketidakberdayaan ini saya menemukan satu hal. Saya menyadari telah menyia-nyiakan waktu yang amat berharga dalam hidup ini. Saya merasa membuang waktu banyak untuk hal yang tidak perlu. Waktu terus berjalan. dan tiba-tiba ketika sudah terlampaui, tubuh ini, harapan, cita-cita, rencana masih berada di titik yang sama seperti berminggu-mingu lalu, berbulan lalu, bahkan bertahun lalu.
Bagaimana dengan kalian. Pernah merasa seperti saya?
Surabaya, 7 Desember 2011
Dalam ketidakberdayaan, dan menyempatkan diri untuk menulis.
Tapi dari ketidakberdayaan ini saya menemukan satu hal. Saya menyadari telah menyia-nyiakan waktu yang amat berharga dalam hidup ini. Saya merasa membuang waktu banyak untuk hal yang tidak perlu. Waktu terus berjalan. dan tiba-tiba ketika sudah terlampaui, tubuh ini, harapan, cita-cita, rencana masih berada di titik yang sama seperti berminggu-mingu lalu, berbulan lalu, bahkan bertahun lalu.
Bagaimana dengan kalian. Pernah merasa seperti saya?
Surabaya, 7 Desember 2011
Dalam ketidakberdayaan, dan menyempatkan diri untuk menulis.
Tuesday, December 6, 2011
Sensasiku
Masihkah Kalian Punya Sensasi Yang Belum Terwujud?
Saya punya. Mungkin buat orang lain bukan sensasi, tetapi buat saya ‘iya’. Memang sih sensasi saya norak. Tapi namanya juga angan-angan, nggak ada salahnya kan? Siapa tahu mewujud . Pertanyaan itu diajukan oleh salah satu kawan ketika kami “nyangkruk “ bertahun lalu. Sembari menyeruput coklat, minuman kegemaran saya, kami menghabiskan cerita sensasi ini sampai berbusa-busa.
Tadi malam, obrolan sensasi juga terjadi kala saya dan seorang kawan menyeruput coklat. Kali ini saya yang memulainya. Tak jelas bagaimana awalnya, tahu-tahu obrolan sensasi menghangat. Terbersitlah ide menuliskannya dlam note. Nggak penting, mungkin.
Tapi akhir-akhir ini saya mesti banyak menulis guna menciptakan atmosfir menulis setelah saya padamkan selama empat bulan. Apa alasannya, tidak penting untuk diceritakan. Terlebih kawan saya menagih tulisan ini pagi tadi. Wah saya memang perlu diingatkan, biar nggak “nggambleh”. Jadi mari kita bahas sensasi impian saya.
“Saya ingin berciuman dengan orang yang saya cintai di lift yang angka lantainya lebih dari 25,” kata saya kepada dia. Saya berhenti sejenak, menyeruput cuklat bertabur keju di depan saya. Hemmm nikmatnya. Mata teman saya terbeliak. “Hah? Nggak biasa ini?,” katanya. “Ya namanya juga sensasi, pasti agak anehlah,” jawab saya buru-buru. “Sensasinya dimana?,” tanyanya lagi. “Berciuman di lift yang punya lantai di atas angka 25 itu butuh waktu agak lama, lho?. Setidaknya 10 menit bolak balik. Belum lagi kalau di tiap lantai ada yang tiba-tiba masuk. Nah deg-degannya itu yang pasti bikin sensasi tersendiri. Antara menikmati ciuman itu sendiri dan harus berkonsentrasi jika “ting …ting” tanda ada orang masuk. Gugup pastilah, apalagi kalau ketahuan orang.
Teman saya manggut-manggut. Ekspresinya sulit saya ceritakan. Tapi kurang lebih “Wong aneh tenan ki koncoku.” hihihihi. Memandanginya, saya cuma cengar cengir dan mengulum senyum.
Cerita tentang gugup itu sendiri, bukan perkara sederhana untuk saya. Gugup , buat saya adalah sensasi yang menggetarkan. Coba kalian ingat, kapan terakhir kali gugup. Gugup yang saya ceritakan bukan karena ketahuan korupsi lho. Dalam konteks ini, gugup yang sedang saya bincangkan ketika kita sedang bersuka-suka dengan teman, pacaran baru tetapi masih malu-malu, ketemu temen baru, atau ya gugup karena tidak ada alasan. (aih kalau ini nggak mungkin). Pendek kata, getaran kegugupan itu sendiri, sensasinya juga tak terjemahkan. Bikin gagu, jantung berdegup lebih kencang, ngomong salah-salah, atau bertindak juga jadi kacau. Nah, begitulah. “Bikin hidup lebih hidup,” kata sebuah iklan.
Nah, dalam kitannya mewujudkan sensasi itu, percaya tidak, saya pernah sampai mengamati dengan detil, gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Karena dulu saya tinggal di Jakarta, apalagi kerap melakukan tugas jurnalistik, saya jadi tahu gedung-gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Jam berapa kantor itu padat pengunjung, jam berapa sela. Benar-benar niat ya?
Tapi seperti cerita bersambung, kisah impian sensasi ini belum berakhir. Bisa ditebak bukan? Saya belum pernah melakukannya, meski saya punya pacar dalam beberapa masa. Ehem.
Sensasi kedua yang ingin saya lakukan adalah bersama yang tercinta menyaksikan kembang api di Singapura. Lalu apa sensasinya? Ini sebenarnya kisah yang sempat saya simpan rapat. Alasannya, sederhana, takut orang punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi sudah saya buang persepsi itu karena tidak ada yang perlu ditakutkan.
Kejadiannya tahun 2002. Saya melancong ala backpacker dengan dua sahabat saya Zara dan Siska. Pada waktu itu, saya hanya memberikan budgjet Rp 3 juta dlam perjalanan ke ke tiga negara Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selama dua minggu perjalanan itu, keuangan sudah menipis di Thailand. Dua sahabat saya memutuskan naik pesawat dari Thailand ke Indonesia. Saya ngotot tinggal. Alasannya sederhana. Saya ingin membuktikan Rp 3 juta itu bisa nggak sih keliling ke tiga negara?
Saya naik perjalanan darat dari Thailand ke Singapura sendirian. Hehehe cukup heroiklah. Satu malam di bus, bener-bener garing. Dari Singapura perjalanan mestinya berlanjut ke Batam menuju Jakarta dengan pesawat.
Dasar naluri petualangan saya, duit tak sampai Rp 500.000 masih ngotot tinggal semalam di Singapura. Ya…hari itu tanggal 31 Desember, saya menginjakkan kaki kembali di Singapura. Biar agak keren (norak betul) saya pingin bertahun baru di Singapura. Aih…rasanya waktu itu agak keren juga ya kalau pas lagi nongkrong sama teman-teman, ditanya,” Tahun baru kemana?” Lalu saya jawab “Singapura.” Yeksss… ingat itu saya jadi malu. Norak norak. Saya pingin mauk ke got kalau ingat kenorakan itu. hiiii.
Jadi begitulah. Saya memutuskan, biar badai topan melanda, saya harus bertahun baru di Singapura. Pesta kembang api-lah yang menjadi magnitnya. Ini karena saya dengar, pesta kembang api di Singapura keren banget. Kembang api seperti nafas hidup saya. Saya suka sekali. Kesenangannya sulit dilukiskan.
Nah, Inilah awal cerita sensasi itu. Di stasiun MRT Jurong (saya agak lupa) saya melihat bule yang lagi bengong. Tampangnya kelihatan baik. Saya menyapanya. Dia bilang mau cari motel. Keinginan kami sama. Dasar sok tahu, saya bilang, saya punya referensi hotel yang biayanya murah antara lain daerah Tanjung Katong. Ketika kami telepon, hotel penuh semua. Saya memang konyol, malam tahun baru di negeri yang menjadi tujuan wisata, belum pesan hotel. Waduh…saya mulai panic.
Atas rekomendasi dari warga Singapur, kami diminta ke Little India. Di kawasan itu, menurut cerita mereka, ada banyak pilihan hotel yang harganya miring. Dan tibalah kami di hotel, ketika petang menjelang. Begitu tiba di hotel, astaganaga. Saya hampir pingsan. Mahal amat. Jelek amat. Nggak ada pendingin, puanasnya minta ampun, kumuh. Yang bikin saya melotot, kok bisa ya kawasan kayak gini bisa jadi jualan wisatanya Singapura. Halah. Indonesia jauh-jauh lebih asyik dan menarik deh. Saya sudah mau balik badan, cabut dari tempat itu. Tetapi Tobias, nama turis Jerman itu, melarang saya. Dia bilang, “Kan cuma untuk tidur sebentar saja. It’s oke-lah,” katanya.
Dan yaelah astaganaga. Harga kamarnya waktu itu 35 $ dengan kurs Rp 5500. Sial, sial, sial. Bener-bener negara seiprit yang nggak yeye banget soal kemahalannya. Sebagai perbandingan, saya menginap di Thailand dan Malaysia dengan tarif Rp 125.000 hotel sudah AC dan dapat makan pagi. Di Hotel Khaosan Road, kami lebih gila lagi, nginep Cuma Rp 20.00 semalam, tetapi jauh lebih manusia ketimbang kamar yang saya masuki di Singapur. Nggondok buanget.
Tobias sendiri juga terlihat kaget dengan tarif untuk hotel sejelek itu. Lantaran si backpacker ini sudah menghabiskan uangnya sebesar Rp 120 juta untuk keliling dunia, maka kondisi keuangannya juga sudah menipis. Singapura adalah tujuan terakhirnya ke Asia. Selanjutnya dia akan mengunjungi Australia dan kembali ke Jerman. Dengan duit yang makin cekak, dia mengatakan harus mengirit perjalanan.
Tak terduga, yang bikin saya melotot, dia berujar pada pemilik hotel. “Boleh nggak saya menginap di atap hotel ini.” Saya terbeliak. Hah edan. Backpacker ya backpacker sih, tapi saya ndak seedan itu, menginap di atas atap. Hiii. Tapi saya diam saja. Jelas saja si pemilik hotel tak memperbolehkan. Tobias garuk-garuk kepala. Hemmm…sedetik kemudian, dia bilang pada saya. “Hemmm…kamu keberatan tidak kalau kita share sewa kamar? Mata saya melotot. Mungkin dia menangkap kecemasan saya. Dia bilang, “Kamu akan baik-baik saja, kita hanya sharing biaya kamar.” Sedetik saya berpikir. Tapi jujur, matanya terlihat baik, dan bukan tipe yang aneh-aneh.
Wadeuww….saya tolah toleh…Gugup….nah gugup memang sensasi yang asyik,kan? Si Tobias bilang, dia akan tidur di lantai kalau memang tempat tidurnya hanya satu, meskipun harga kamar dibagi dua. Hihihihi… Akhirnya saya mengangguk setuju. Ternyata, tempat tidur kami bersusun kayak jaman tanksi perang. Bahannya bukan kayu, tetapi dari besi. Kalau kejedot kepala, lumayan juga tuh. Dan saya bener-benr kejedut malam itu. Tobias mengambil tempat tidur di atas, saya di bawah. Saya yakin aman, karena untuk naik dan turun ke tempat tidur agak susah.
Rupanya Tobias juga ingin menyaksikan pesta kembang api. Begitu tiba di hotel, dia mencari informasi ke Orchard Road. Saya memilih di hotel, mandi, dan istirahat. Tobias datang 2,5 jam kemudian. Rupanya, dia jalan kaki dari Little India. (pantesan lama banget sampai hotel). Lokasi pesta kembang api itu di pinggir laut, Marina Bay. Katanya yang paling ramai dan terbesar pada perayaan Tahun Baru. Dari little India, Tobias mengajak saya jalan kaki. Katanya dekat. Tapi ternyata 1,5 jam perjalanan. Gempor kaki saya. Alamakjan. Jalan sama bule memang doyannya pake kaki.
Dalam hati saya, jangan sampai pulang jalan kaki lagi. Saya bilang ke dia. “Naik taksi deh, saya bayar nggak papa pulangnya.” Tobias cuma tertawa kecil. Dan begitu sampai, lautan manusia sudah memenuhi kawasan Marina Bay. Untung kami tak terlewat gara-gara jalan kaki itu. Seperti yang saya tebak, hampir sebagian besar orang berpasangan. Duduk di pinggir laut, angin cukup kencang bikin saya agak masuk angin. Saking asyiknya ngobrol, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Dan ledakan api nan indah itu tibalah….wowww…saya bahkan masih mengingat keindahannya hingga sekarang.
Pesta kembang api yang agak bikin bibir saya menganga adalah pesta kembang api di halaman mall Lippo Karawaci tiap akhir pekan beberapa puluh tahun silam. Tapi alamakjan, kembang api Singapura benar-benar istimewa. Kembang api itu diluncurkan dari tengah laut. Langit bersih…dan siiiiiiiuttttttt duaaarrrr. Bulat bertingkat, ada yang seperti kerucut, ada yang seperti ekor naga. Saya seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru. Wow…wow…indah sekali. Seolah-olah sayalah yang menikmatinya sendirian. Saya bahkan lupa ada Tobias di sebelah saya.
Saya benar-benar terhipnotis dengan pesta kembang api itu. Tiba-tiba Tobias berteriak pada saya. “Ini sangat cantik, di negara saya saja, saya belum pernah menyaksikan yang seindah ini,” katanya. Dalam hati saya mengatakan. “Wah syukur deh berarti aku nggak terlalu udik, mengagumi pesta kembang api ini. Dia yang dari negara maju saja terkagum-kagum hihi.” Tobias tak henti-hentinya memotret ke langit bertaburan kembang api.
Setengah jam diluncurkan…dan inilah saat menjelang detik pergantian tahun. “10,9, 8, 7,6,5,4,3,2,1,” teriak massa. Dan kembang api itu meluncur dari tengah laut seperti rentetan mesiu jaman perang. Bersaut-sautan. Ledakan-ledakan api yang membentuk api indah begitu membius saya. Tempik sorak dari lautan manusia terdengar. Happy new year…. Langit Marina Bay terang benderang oleh api yang bermacam-macam bentuknya.
Dan ketika dongakan leher kami terlepas dari langit, segera kami tersadar dengan pemadangan di sekeliling kami. Kami berdua terkurung di antara pasangan-pasangan yang saling berlumatan bibir. Hanya beberapa inci dari tempat kami berdiri. Clap clup clap clup, bercipokan menyambut tahun baru. Mereka mengepung kami dari depan, tengah, belakang. Saya dan Tobias sama-sama getir. Kami berdua sama-sama jengah. Tetapi juga nggak bisa apa-apa. Saya misuh-misuh dalam hati. “Jangkrik, kelamutan kabeh.” Tempat sudah benar, suasana mendukung, malam kian melankolis, tetapi orang di sebelah saya, bukan kekasih, hanya orang asing. Ah, sedih betul, kawan.
Saking gugupnya Tobias dengan pemandangan di sekitar, dia mengulurkan tangannya ke saya. Tapi lebih mirip kayak teletabbies itu lho, yang suka bilang “Berpelukan.” Nah, seperti itulah. Dan saya menyambut pelukan itu. “Bernada, happy new year,” katanya. Matanya yang baik hati itu terlihat tulus. Lalu dia mencium pipi saya. Hihihihi..Tahun baru dengan orang asing, dengan kepungan pasangan berciuman sungguh tak enak, kawan.
Sambil memandang langit dimana kembang api masih muncrat dengan indahnya, saya berucap dalam hati. “Suatu saat saya akan ke sini, menikmati kembang api, di malam tahun baru, berlumatan, jika perlu sampai pagi dengan orang yang tercinta.” Jadi begitulah…sensasi yang saya impikan itu.
Dan hem… bisa ditebak yang kedua kalinya. Impian sensasi itu belum terwujud. Sudah beberapa kali mengunjungi Singapura, tetapi tidak tahun baru, juga tidak dengan pacar. Aih….
Ending:
Tapi meski itu pengalaman manis dan getir, setidaknya ada beberapa hal berharga yang bisa saya bagikan. Satu, laki-laki dan perempuan dalam satu kamar, tidak selalu harus “begituan” kata anak muda jaman sekarang. Kedua, tiada taksi, tiada bus malam, apalagi ojeklah yauw (dalam hati saya bersyukur tinggal di Indonesia punya tukang ojek. Sumpah). Malam itu, meski kegembiraan saya begitu berwarna seperti kembang api dan kegetirannya seperti menelan pil pahit, saya tak punya pilihan lain untuk jalan kaki. Hem…1,5 jam. Lengkap sudah malam pergantian tahun itu. Ketiga, percaya tidak, meski kami melewatkan malam tahun bersama, kami sama-sama tak meninggalkan alamat email, nomer telepon, atau apapun itu. Bahkan nama belakang keluarganya saja saya tak tahu sampai sekarang. Jam 3 pagi kami sampai hotel, pukul 05.00 saya mengendap-endap keluar dari hotel. Sebelumnya kami sudah berpamitan. Tobias masih mengantuk. Matanya keriyip-keriyip. Tapi dia masih turun dari tempat tidur, memeluk saya. “Goodbye,” katanya. Saya juga menjawab pendek.”Goodbye.”
Yogyakarta, 17 Juli 2011
Saya punya. Mungkin buat orang lain bukan sensasi, tetapi buat saya ‘iya’. Memang sih sensasi saya norak. Tapi namanya juga angan-angan, nggak ada salahnya kan? Siapa tahu mewujud . Pertanyaan itu diajukan oleh salah satu kawan ketika kami “nyangkruk “ bertahun lalu. Sembari menyeruput coklat, minuman kegemaran saya, kami menghabiskan cerita sensasi ini sampai berbusa-busa.
Tadi malam, obrolan sensasi juga terjadi kala saya dan seorang kawan menyeruput coklat. Kali ini saya yang memulainya. Tak jelas bagaimana awalnya, tahu-tahu obrolan sensasi menghangat. Terbersitlah ide menuliskannya dlam note. Nggak penting, mungkin.
Tapi akhir-akhir ini saya mesti banyak menulis guna menciptakan atmosfir menulis setelah saya padamkan selama empat bulan. Apa alasannya, tidak penting untuk diceritakan. Terlebih kawan saya menagih tulisan ini pagi tadi. Wah saya memang perlu diingatkan, biar nggak “nggambleh”. Jadi mari kita bahas sensasi impian saya.
“Saya ingin berciuman dengan orang yang saya cintai di lift yang angka lantainya lebih dari 25,” kata saya kepada dia. Saya berhenti sejenak, menyeruput cuklat bertabur keju di depan saya. Hemmm nikmatnya. Mata teman saya terbeliak. “Hah? Nggak biasa ini?,” katanya. “Ya namanya juga sensasi, pasti agak anehlah,” jawab saya buru-buru. “Sensasinya dimana?,” tanyanya lagi. “Berciuman di lift yang punya lantai di atas angka 25 itu butuh waktu agak lama, lho?. Setidaknya 10 menit bolak balik. Belum lagi kalau di tiap lantai ada yang tiba-tiba masuk. Nah deg-degannya itu yang pasti bikin sensasi tersendiri. Antara menikmati ciuman itu sendiri dan harus berkonsentrasi jika “ting …ting” tanda ada orang masuk. Gugup pastilah, apalagi kalau ketahuan orang.
Teman saya manggut-manggut. Ekspresinya sulit saya ceritakan. Tapi kurang lebih “Wong aneh tenan ki koncoku.” hihihihi. Memandanginya, saya cuma cengar cengir dan mengulum senyum.
Cerita tentang gugup itu sendiri, bukan perkara sederhana untuk saya. Gugup , buat saya adalah sensasi yang menggetarkan. Coba kalian ingat, kapan terakhir kali gugup. Gugup yang saya ceritakan bukan karena ketahuan korupsi lho. Dalam konteks ini, gugup yang sedang saya bincangkan ketika kita sedang bersuka-suka dengan teman, pacaran baru tetapi masih malu-malu, ketemu temen baru, atau ya gugup karena tidak ada alasan. (aih kalau ini nggak mungkin). Pendek kata, getaran kegugupan itu sendiri, sensasinya juga tak terjemahkan. Bikin gagu, jantung berdegup lebih kencang, ngomong salah-salah, atau bertindak juga jadi kacau. Nah, begitulah. “Bikin hidup lebih hidup,” kata sebuah iklan.
Nah, dalam kitannya mewujudkan sensasi itu, percaya tidak, saya pernah sampai mengamati dengan detil, gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Karena dulu saya tinggal di Jakarta, apalagi kerap melakukan tugas jurnalistik, saya jadi tahu gedung-gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Jam berapa kantor itu padat pengunjung, jam berapa sela. Benar-benar niat ya?
Tapi seperti cerita bersambung, kisah impian sensasi ini belum berakhir. Bisa ditebak bukan? Saya belum pernah melakukannya, meski saya punya pacar dalam beberapa masa. Ehem.
Sensasi kedua yang ingin saya lakukan adalah bersama yang tercinta menyaksikan kembang api di Singapura. Lalu apa sensasinya? Ini sebenarnya kisah yang sempat saya simpan rapat. Alasannya, sederhana, takut orang punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi sudah saya buang persepsi itu karena tidak ada yang perlu ditakutkan.
Kejadiannya tahun 2002. Saya melancong ala backpacker dengan dua sahabat saya Zara dan Siska. Pada waktu itu, saya hanya memberikan budgjet Rp 3 juta dlam perjalanan ke ke tiga negara Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selama dua minggu perjalanan itu, keuangan sudah menipis di Thailand. Dua sahabat saya memutuskan naik pesawat dari Thailand ke Indonesia. Saya ngotot tinggal. Alasannya sederhana. Saya ingin membuktikan Rp 3 juta itu bisa nggak sih keliling ke tiga negara?
Saya naik perjalanan darat dari Thailand ke Singapura sendirian. Hehehe cukup heroiklah. Satu malam di bus, bener-bener garing. Dari Singapura perjalanan mestinya berlanjut ke Batam menuju Jakarta dengan pesawat.
Dasar naluri petualangan saya, duit tak sampai Rp 500.000 masih ngotot tinggal semalam di Singapura. Ya…hari itu tanggal 31 Desember, saya menginjakkan kaki kembali di Singapura. Biar agak keren (norak betul) saya pingin bertahun baru di Singapura. Aih…rasanya waktu itu agak keren juga ya kalau pas lagi nongkrong sama teman-teman, ditanya,” Tahun baru kemana?” Lalu saya jawab “Singapura.” Yeksss… ingat itu saya jadi malu. Norak norak. Saya pingin mauk ke got kalau ingat kenorakan itu. hiiii.
Jadi begitulah. Saya memutuskan, biar badai topan melanda, saya harus bertahun baru di Singapura. Pesta kembang api-lah yang menjadi magnitnya. Ini karena saya dengar, pesta kembang api di Singapura keren banget. Kembang api seperti nafas hidup saya. Saya suka sekali. Kesenangannya sulit dilukiskan.
Nah, Inilah awal cerita sensasi itu. Di stasiun MRT Jurong (saya agak lupa) saya melihat bule yang lagi bengong. Tampangnya kelihatan baik. Saya menyapanya. Dia bilang mau cari motel. Keinginan kami sama. Dasar sok tahu, saya bilang, saya punya referensi hotel yang biayanya murah antara lain daerah Tanjung Katong. Ketika kami telepon, hotel penuh semua. Saya memang konyol, malam tahun baru di negeri yang menjadi tujuan wisata, belum pesan hotel. Waduh…saya mulai panic.
Atas rekomendasi dari warga Singapur, kami diminta ke Little India. Di kawasan itu, menurut cerita mereka, ada banyak pilihan hotel yang harganya miring. Dan tibalah kami di hotel, ketika petang menjelang. Begitu tiba di hotel, astaganaga. Saya hampir pingsan. Mahal amat. Jelek amat. Nggak ada pendingin, puanasnya minta ampun, kumuh. Yang bikin saya melotot, kok bisa ya kawasan kayak gini bisa jadi jualan wisatanya Singapura. Halah. Indonesia jauh-jauh lebih asyik dan menarik deh. Saya sudah mau balik badan, cabut dari tempat itu. Tetapi Tobias, nama turis Jerman itu, melarang saya. Dia bilang, “Kan cuma untuk tidur sebentar saja. It’s oke-lah,” katanya.
Dan yaelah astaganaga. Harga kamarnya waktu itu 35 $ dengan kurs Rp 5500. Sial, sial, sial. Bener-bener negara seiprit yang nggak yeye banget soal kemahalannya. Sebagai perbandingan, saya menginap di Thailand dan Malaysia dengan tarif Rp 125.000 hotel sudah AC dan dapat makan pagi. Di Hotel Khaosan Road, kami lebih gila lagi, nginep Cuma Rp 20.00 semalam, tetapi jauh lebih manusia ketimbang kamar yang saya masuki di Singapur. Nggondok buanget.
Tobias sendiri juga terlihat kaget dengan tarif untuk hotel sejelek itu. Lantaran si backpacker ini sudah menghabiskan uangnya sebesar Rp 120 juta untuk keliling dunia, maka kondisi keuangannya juga sudah menipis. Singapura adalah tujuan terakhirnya ke Asia. Selanjutnya dia akan mengunjungi Australia dan kembali ke Jerman. Dengan duit yang makin cekak, dia mengatakan harus mengirit perjalanan.
Tak terduga, yang bikin saya melotot, dia berujar pada pemilik hotel. “Boleh nggak saya menginap di atap hotel ini.” Saya terbeliak. Hah edan. Backpacker ya backpacker sih, tapi saya ndak seedan itu, menginap di atas atap. Hiii. Tapi saya diam saja. Jelas saja si pemilik hotel tak memperbolehkan. Tobias garuk-garuk kepala. Hemmm…sedetik kemudian, dia bilang pada saya. “Hemmm…kamu keberatan tidak kalau kita share sewa kamar? Mata saya melotot. Mungkin dia menangkap kecemasan saya. Dia bilang, “Kamu akan baik-baik saja, kita hanya sharing biaya kamar.” Sedetik saya berpikir. Tapi jujur, matanya terlihat baik, dan bukan tipe yang aneh-aneh.
Wadeuww….saya tolah toleh…Gugup….nah gugup memang sensasi yang asyik,kan? Si Tobias bilang, dia akan tidur di lantai kalau memang tempat tidurnya hanya satu, meskipun harga kamar dibagi dua. Hihihihi… Akhirnya saya mengangguk setuju. Ternyata, tempat tidur kami bersusun kayak jaman tanksi perang. Bahannya bukan kayu, tetapi dari besi. Kalau kejedot kepala, lumayan juga tuh. Dan saya bener-benr kejedut malam itu. Tobias mengambil tempat tidur di atas, saya di bawah. Saya yakin aman, karena untuk naik dan turun ke tempat tidur agak susah.
Rupanya Tobias juga ingin menyaksikan pesta kembang api. Begitu tiba di hotel, dia mencari informasi ke Orchard Road. Saya memilih di hotel, mandi, dan istirahat. Tobias datang 2,5 jam kemudian. Rupanya, dia jalan kaki dari Little India. (pantesan lama banget sampai hotel). Lokasi pesta kembang api itu di pinggir laut, Marina Bay. Katanya yang paling ramai dan terbesar pada perayaan Tahun Baru. Dari little India, Tobias mengajak saya jalan kaki. Katanya dekat. Tapi ternyata 1,5 jam perjalanan. Gempor kaki saya. Alamakjan. Jalan sama bule memang doyannya pake kaki.
Dalam hati saya, jangan sampai pulang jalan kaki lagi. Saya bilang ke dia. “Naik taksi deh, saya bayar nggak papa pulangnya.” Tobias cuma tertawa kecil. Dan begitu sampai, lautan manusia sudah memenuhi kawasan Marina Bay. Untung kami tak terlewat gara-gara jalan kaki itu. Seperti yang saya tebak, hampir sebagian besar orang berpasangan. Duduk di pinggir laut, angin cukup kencang bikin saya agak masuk angin. Saking asyiknya ngobrol, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Dan ledakan api nan indah itu tibalah….wowww…saya bahkan masih mengingat keindahannya hingga sekarang.
Pesta kembang api yang agak bikin bibir saya menganga adalah pesta kembang api di halaman mall Lippo Karawaci tiap akhir pekan beberapa puluh tahun silam. Tapi alamakjan, kembang api Singapura benar-benar istimewa. Kembang api itu diluncurkan dari tengah laut. Langit bersih…dan siiiiiiiuttttttt duaaarrrr. Bulat bertingkat, ada yang seperti kerucut, ada yang seperti ekor naga. Saya seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru. Wow…wow…indah sekali. Seolah-olah sayalah yang menikmatinya sendirian. Saya bahkan lupa ada Tobias di sebelah saya.
Saya benar-benar terhipnotis dengan pesta kembang api itu. Tiba-tiba Tobias berteriak pada saya. “Ini sangat cantik, di negara saya saja, saya belum pernah menyaksikan yang seindah ini,” katanya. Dalam hati saya mengatakan. “Wah syukur deh berarti aku nggak terlalu udik, mengagumi pesta kembang api ini. Dia yang dari negara maju saja terkagum-kagum hihi.” Tobias tak henti-hentinya memotret ke langit bertaburan kembang api.
Setengah jam diluncurkan…dan inilah saat menjelang detik pergantian tahun. “10,9, 8, 7,6,5,4,3,2,1,” teriak massa. Dan kembang api itu meluncur dari tengah laut seperti rentetan mesiu jaman perang. Bersaut-sautan. Ledakan-ledakan api yang membentuk api indah begitu membius saya. Tempik sorak dari lautan manusia terdengar. Happy new year…. Langit Marina Bay terang benderang oleh api yang bermacam-macam bentuknya.
Dan ketika dongakan leher kami terlepas dari langit, segera kami tersadar dengan pemadangan di sekeliling kami. Kami berdua terkurung di antara pasangan-pasangan yang saling berlumatan bibir. Hanya beberapa inci dari tempat kami berdiri. Clap clup clap clup, bercipokan menyambut tahun baru. Mereka mengepung kami dari depan, tengah, belakang. Saya dan Tobias sama-sama getir. Kami berdua sama-sama jengah. Tetapi juga nggak bisa apa-apa. Saya misuh-misuh dalam hati. “Jangkrik, kelamutan kabeh.” Tempat sudah benar, suasana mendukung, malam kian melankolis, tetapi orang di sebelah saya, bukan kekasih, hanya orang asing. Ah, sedih betul, kawan.
Saking gugupnya Tobias dengan pemandangan di sekitar, dia mengulurkan tangannya ke saya. Tapi lebih mirip kayak teletabbies itu lho, yang suka bilang “Berpelukan.” Nah, seperti itulah. Dan saya menyambut pelukan itu. “Bernada, happy new year,” katanya. Matanya yang baik hati itu terlihat tulus. Lalu dia mencium pipi saya. Hihihihi..Tahun baru dengan orang asing, dengan kepungan pasangan berciuman sungguh tak enak, kawan.
Sambil memandang langit dimana kembang api masih muncrat dengan indahnya, saya berucap dalam hati. “Suatu saat saya akan ke sini, menikmati kembang api, di malam tahun baru, berlumatan, jika perlu sampai pagi dengan orang yang tercinta.” Jadi begitulah…sensasi yang saya impikan itu.
Dan hem… bisa ditebak yang kedua kalinya. Impian sensasi itu belum terwujud. Sudah beberapa kali mengunjungi Singapura, tetapi tidak tahun baru, juga tidak dengan pacar. Aih….
Ending:
Tapi meski itu pengalaman manis dan getir, setidaknya ada beberapa hal berharga yang bisa saya bagikan. Satu, laki-laki dan perempuan dalam satu kamar, tidak selalu harus “begituan” kata anak muda jaman sekarang. Kedua, tiada taksi, tiada bus malam, apalagi ojeklah yauw (dalam hati saya bersyukur tinggal di Indonesia punya tukang ojek. Sumpah). Malam itu, meski kegembiraan saya begitu berwarna seperti kembang api dan kegetirannya seperti menelan pil pahit, saya tak punya pilihan lain untuk jalan kaki. Hem…1,5 jam. Lengkap sudah malam pergantian tahun itu. Ketiga, percaya tidak, meski kami melewatkan malam tahun bersama, kami sama-sama tak meninggalkan alamat email, nomer telepon, atau apapun itu. Bahkan nama belakang keluarganya saja saya tak tahu sampai sekarang. Jam 3 pagi kami sampai hotel, pukul 05.00 saya mengendap-endap keluar dari hotel. Sebelumnya kami sudah berpamitan. Tobias masih mengantuk. Matanya keriyip-keriyip. Tapi dia masih turun dari tempat tidur, memeluk saya. “Goodbye,” katanya. Saya juga menjawab pendek.”Goodbye.”
Yogyakarta, 17 Juli 2011
CLBK
CLBK buat saya artinya Cinta Lama Belum Kelar, bukan Cinta Lama Bersemi Kembali seperti yg sering dibilang orang.
Kenapa? Biasanya yg lama dan sudah dibuang (sudah diputus karena tidak cocok) dulu susah untuk bersemi lagi, tapi kalau memang belum tuntas alias belum kelar...nah ini dia....
Biasanya yg CLBK (menurut pengamatan saya) ini adalah mereka yang dulunya saling naksir tapi tidak berani menyatakan, atau kalah cepat sama teman sekost.... atau terpaksa putus karena beda agama atau status...
Banyak orang menyalahkan Facebook atau blackberry sebagai penyebab CLBK. Kata saya sih sebetulnya itu semua hanyalah sarana saja. Pada dasarnya kita sendiri yang penasaran dengan CLBK-CLBK tersebut makanya terus meng add di facebook atau Blackberry.
Sekarang tentunya sudah jauh lebih percaya diri dibanding dulu, jadi sudah berani menyapa, mengobrol dan tentunya batasan-batasan seperti agama dan status sosial yang dulu jadi pemisah sekarang menjadi tidak penting. Di sinilah cinta yang belum tuntas dulu menjadi berkembang minta dituntaskan. Sayangnya tentu saja sekarang rata-rata sudah menikah, sehingga cinta yang belum kelar ini menjadi semakin susah dikelarkan....membuat semakin penasaran, membuat rasa 'cinta' semakin besar, mengalahkan cinta yang sudah ada di rumah.
Dan bukankah biasanya apa yang tidak bisa dimiliki selalu tampak lebih indah daripada apa yang sudah dimiliki di rumah.Jadi, bagaimana solusinya? Kalau ada yang tau silahkan tulis di komentar di bawah ini ya hehehehehe
Saya menulis tentang CLBK ini karena banyak mendapat cerita curahan hati beberapa teman... saya rasa, mungkin karena jenuh...berpaling ke gebetan jaman masih muda dulu rasanya asik, karena mengenang lagi kenaifan jaman dulu...jaman masih muda, jaman belum banyak masalah, belum banyak beban....tetapi apakah kalau kemudian hubungan yang penuh nostalgi masa muda ini dikembangkan menjadi hubungan masa kini akan lebih baik daripada hubungan yang sudah dimiliki saat ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. Bagaimana menurutmu?
Kenapa? Biasanya yg lama dan sudah dibuang (sudah diputus karena tidak cocok) dulu susah untuk bersemi lagi, tapi kalau memang belum tuntas alias belum kelar...nah ini dia....
Biasanya yg CLBK (menurut pengamatan saya) ini adalah mereka yang dulunya saling naksir tapi tidak berani menyatakan, atau kalah cepat sama teman sekost.... atau terpaksa putus karena beda agama atau status...
Banyak orang menyalahkan Facebook atau blackberry sebagai penyebab CLBK. Kata saya sih sebetulnya itu semua hanyalah sarana saja. Pada dasarnya kita sendiri yang penasaran dengan CLBK-CLBK tersebut makanya terus meng add di facebook atau Blackberry.
Sekarang tentunya sudah jauh lebih percaya diri dibanding dulu, jadi sudah berani menyapa, mengobrol dan tentunya batasan-batasan seperti agama dan status sosial yang dulu jadi pemisah sekarang menjadi tidak penting. Di sinilah cinta yang belum tuntas dulu menjadi berkembang minta dituntaskan. Sayangnya tentu saja sekarang rata-rata sudah menikah, sehingga cinta yang belum kelar ini menjadi semakin susah dikelarkan....membuat semakin penasaran, membuat rasa 'cinta' semakin besar, mengalahkan cinta yang sudah ada di rumah.
Dan bukankah biasanya apa yang tidak bisa dimiliki selalu tampak lebih indah daripada apa yang sudah dimiliki di rumah.Jadi, bagaimana solusinya? Kalau ada yang tau silahkan tulis di komentar di bawah ini ya hehehehehe
Saya menulis tentang CLBK ini karena banyak mendapat cerita curahan hati beberapa teman... saya rasa, mungkin karena jenuh...berpaling ke gebetan jaman masih muda dulu rasanya asik, karena mengenang lagi kenaifan jaman dulu...jaman masih muda, jaman belum banyak masalah, belum banyak beban....tetapi apakah kalau kemudian hubungan yang penuh nostalgi masa muda ini dikembangkan menjadi hubungan masa kini akan lebih baik daripada hubungan yang sudah dimiliki saat ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. Bagaimana menurutmu?
Sunday, December 4, 2011
Belajar Melepaskan Sesuatu
oleh Wejangan YM. Sri Pannyavaro Mahatera
Di tulis ulang oleh Bernada Rurit
Meditasi Mengenal Diri (MMD) mengenal diri bersifat universal. Agama apapun bisa mengikuti meditasi ini tanpa harus kehilangan imannya. Kalau dalam keseharian kita dituntut memburu atau mendapatkan sesuatu, seperti uang,jabatan, kekuasaan, maka di sini Anda justru akan belajar melepaskan sesuatu. Jadi jika ada pertanyaan, dalam MMD anda mendapat apa? Saya justru bertanya sebaliknya. Anda kehilangan apa setelah mengikuti meditasi.
Jelas, mengikuti MMD kita bukan mendapatkan sesuatu atau mencari-cari sesuatu seperti yang diharapkan oleh kebanyakan orang. Ketika seseorang melatih meditasi maka dia sedang belajar melepaskan sesuatu. Melepaskan kebencian, melepaskan kemarahan, ketakutan, dendam, dan kecemasan
Melepaskan sesuatu jelas lebih sulit ketimbang memburu atau mendapatkan. Kalau kita mendapatkan sesuatu, jabatan, kekuasaan, uang dan lain-lain, maka kita akan merasa bahagia dan puas. Padahal kebahagiaan atau kepuasan itu hanya berlangsung sesaat dan tidak abadi. Coba sebutkan kepuasan atau kebahagiaan apa yang berlangsung lama. Tidak ada bukan? Nah hanya dengan melepaskan sesuatu maka kita menjadi manusia yang bebas.
Melepaskan sesuatu ini membutuhkan latihan. Di sini kita hanya memperhatikan pikiran, tanpa menilai, tanpa bereaksi. Sadar, hanya itu latihannya. Tanpa mengharapkan sesuatu, tanpa target, batin ini hanya menjadi penonton saja pikiran yang muncul. Sampai pikiran ini diam dengan sendirinya. Selamat bermeditasi.
Meditasi Mengenal Diri 21-23 Oktober 2011 di Vihara Mendut
Friday, December 2, 2011
Merokok
Baru-baru
ini saya mengikuti konferensi pers di Fakultas Kedokteran Univeritas
Gadjah Mada. Mereka memprotes Rancangan Undang-Undang Pengendalian
Produk Tembakau (RUU PTT) yang berseberangan dengan pemikiran UGM.
Keberatan umum yang disampaikan adalah tidak ada pasal yang menyebutkan
komponen dampak penggunaan produk tembakau terhadap kesehatan yang
jelas. Contohnya, penghilangan gambar dampak konsumsi tembakau
dibungkus rokok yang menurut UGM justru mudah dipahami oleh perokok
aktif berpendidikan rendah.
Setidaknya ada 5 keberatan yang disampaikan UGM soal RUU itu. Adapun pihak pembuat RUU sandingan, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM balas menjawab keberatan itu kira-kira begini,” “Justru draft ini menyeimbangkan dari hulu ke hilir, bukan hanya dampak kesehatan saja, petani kan juga harus dipikirkan.”
Dua alasan yang dikemukan keduanya sama-sama punya argumen yang kuat. Pendapat UGM tentu saya sangat setuju karena punya niat baik menyadarkan perokok untuk berhenti. Terlebih melindungi perokok pasif seperti saya. Tetapi karena saya juga punya rasa kemanusiaan terhadap petani tembakau dan jutaan orang yang bergantung dari pekerjaan mereka di pabrik rokok, maka pendapat PUSDEK UGM juga perlu diapresiasi.
Saya akan kembali ke dalam kehidupan sehari-hari. Jujur, saya tidak tahu apakah ada atau tidaknya undang-undang itu akan membuat para perokok itu “biadab”. Mengapa begitu? Datanglah ke tempat-tempat public seperti terminal bus, stasiun kereta api, bandara, angkutan umum. Kita akan dengan mudah menyaksikan para perokok plempas plempus, nyaris tidak berperasaan tanpa mempedulikan lingkungan sekitar.
Beberapa kali saya kerap memberitahu yang bersangkutan agar tak merokok, eh yang ditegur malah marah . Golongan tak berperasaan di sini bukan mereka yang tak berpendidikan saja. Mereka yang masuk kategori kaum intelektual juga melakukan hal ini. Ruang rapat gedung DPR, di kantor pemerintah, tempat nongkrong para wartawan.
Ada perokok yang sungguh saya benci karena tega melakukan ini. Pertama perokok naik mobil dan membuang punting rokoknya begitu saja di tengah jalan. Kedua, naik motor sambil merokok. Ada alasan mendasar saya mengapa benci dengan perokok tak biadab ini. Mereka sadar nggak ya, kalau abu rokok yang berapi itu bisa mengenai mata orang di belakangnya. Pernah nggak mereka terpikir jika suatu saat akibat perbuatan mereka, korban yang ada di belakangnya jadi buta, misalnya. Atau bisa juga ketika mata mereka kelilipan, motor yang dikendarai hilang keseimbangan dan terjadilah tabrakan, lalu si korban mati. Siapa tahu? Sudahkah mereka berpikir sejauh itu bahwa tindakan mereka yang menjadi “kebiasaan” itu telah merugikan pihak lain?
Saya sendiri pernah menjadi korban perokok sialan yang naik motor. Mata saya merah kena abunya, dan tidak bekerja sampai mata saya sembuh. Bagaimana orang yang merokok naik motor tadi? Jelas dia tidak tahu menjadi penyebab “ketidakwarasannya” merokok yang sungguh tak biadab. Kedua, beberapa waktu lalu, saya rontgen paru-paru karena mengeluh dada saya sesak. Dokter menanyakan pada saya, apakah saya merokok. Tentu saja saya jawab “tidak”. Ternyata hasil rontgen memperlihatkan ada bercak-bercak dan paru-paru saya tidak bersih. Dokter pun menanyakan apakah lingkungan pekerjaan saya perokok. Gotcha. Saya jadi korban perokok yang sungguh tak “Biadab” ini. Saya bukan orang satu-satunya. Teman satu kos saya juga bernasib seperti saya. Dia lebih parah lagi. Harus membeli obat yang mahal dan disarankan tidak masuk kantor beberapa minggu untukrecovery.
Boleh-boleh saja, sih, merokok, apalagi dengan dalih hak asasi manusia, siapapun berhak merokok. Merokok memang hak, tapi mbok yang waras, dong! Sebagai perokok pasif, saya mohon, merokoklah pada tempat tertutup. Bila perlu cuma kalian sendiri saja yang menikmatinya. Bukankah merokok hanya untuk kenikmatan bibir belaka. Jadi beronanilah dengan bibir kalian sendiri. Jangan mengajak korban yang tidak tahu apa-apa karena asap yang telah kalian hempaskan.
Semoga perokok di manapun berada “waras” dan biadab.
Yogyakarta, 10 November 2011
Setidaknya ada 5 keberatan yang disampaikan UGM soal RUU itu. Adapun pihak pembuat RUU sandingan, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM balas menjawab keberatan itu kira-kira begini,” “Justru draft ini menyeimbangkan dari hulu ke hilir, bukan hanya dampak kesehatan saja, petani kan juga harus dipikirkan.”
Dua alasan yang dikemukan keduanya sama-sama punya argumen yang kuat. Pendapat UGM tentu saya sangat setuju karena punya niat baik menyadarkan perokok untuk berhenti. Terlebih melindungi perokok pasif seperti saya. Tetapi karena saya juga punya rasa kemanusiaan terhadap petani tembakau dan jutaan orang yang bergantung dari pekerjaan mereka di pabrik rokok, maka pendapat PUSDEK UGM juga perlu diapresiasi.
Saya akan kembali ke dalam kehidupan sehari-hari. Jujur, saya tidak tahu apakah ada atau tidaknya undang-undang itu akan membuat para perokok itu “biadab”. Mengapa begitu? Datanglah ke tempat-tempat public seperti terminal bus, stasiun kereta api, bandara, angkutan umum. Kita akan dengan mudah menyaksikan para perokok plempas plempus, nyaris tidak berperasaan tanpa mempedulikan lingkungan sekitar.
Beberapa kali saya kerap memberitahu yang bersangkutan agar tak merokok, eh yang ditegur malah marah . Golongan tak berperasaan di sini bukan mereka yang tak berpendidikan saja. Mereka yang masuk kategori kaum intelektual juga melakukan hal ini. Ruang rapat gedung DPR, di kantor pemerintah, tempat nongkrong para wartawan.
Ada perokok yang sungguh saya benci karena tega melakukan ini. Pertama perokok naik mobil dan membuang punting rokoknya begitu saja di tengah jalan. Kedua, naik motor sambil merokok. Ada alasan mendasar saya mengapa benci dengan perokok tak biadab ini. Mereka sadar nggak ya, kalau abu rokok yang berapi itu bisa mengenai mata orang di belakangnya. Pernah nggak mereka terpikir jika suatu saat akibat perbuatan mereka, korban yang ada di belakangnya jadi buta, misalnya. Atau bisa juga ketika mata mereka kelilipan, motor yang dikendarai hilang keseimbangan dan terjadilah tabrakan, lalu si korban mati. Siapa tahu? Sudahkah mereka berpikir sejauh itu bahwa tindakan mereka yang menjadi “kebiasaan” itu telah merugikan pihak lain?
Saya sendiri pernah menjadi korban perokok sialan yang naik motor. Mata saya merah kena abunya, dan tidak bekerja sampai mata saya sembuh. Bagaimana orang yang merokok naik motor tadi? Jelas dia tidak tahu menjadi penyebab “ketidakwarasannya” merokok yang sungguh tak biadab. Kedua, beberapa waktu lalu, saya rontgen paru-paru karena mengeluh dada saya sesak. Dokter menanyakan pada saya, apakah saya merokok. Tentu saja saya jawab “tidak”. Ternyata hasil rontgen memperlihatkan ada bercak-bercak dan paru-paru saya tidak bersih. Dokter pun menanyakan apakah lingkungan pekerjaan saya perokok. Gotcha. Saya jadi korban perokok yang sungguh tak “Biadab” ini. Saya bukan orang satu-satunya. Teman satu kos saya juga bernasib seperti saya. Dia lebih parah lagi. Harus membeli obat yang mahal dan disarankan tidak masuk kantor beberapa minggu untukrecovery.
Boleh-boleh saja, sih, merokok, apalagi dengan dalih hak asasi manusia, siapapun berhak merokok. Merokok memang hak, tapi mbok yang waras, dong! Sebagai perokok pasif, saya mohon, merokoklah pada tempat tertutup. Bila perlu cuma kalian sendiri saja yang menikmatinya. Bukankah merokok hanya untuk kenikmatan bibir belaka. Jadi beronanilah dengan bibir kalian sendiri. Jangan mengajak korban yang tidak tahu apa-apa karena asap yang telah kalian hempaskan.
Semoga perokok di manapun berada “waras” dan biadab.
Yogyakarta, 10 November 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)