Ketika Biennale Yogyakarta pada tahun 2010 lalu, seniman Theresia Agustina Sitompul, merancang busana tukang parkir karena menurut dia profesi tukang parkir mungkin hanya ada di Indonesia. Mungkin saja benar. Tapi saya juga ingin menambahkan bahwa tukang parkir yang menjadikannya profesi demikian serius kayaknya cuma ada di Yogyakarta. Teman-teman saya bahkan menganggap keberadaan mereka kayak benalu.
Jalan-jalanlah ke semua sudut di sudut Yogyakarta. Gang mencit (cuma gang kecil) sekalipun, sudah ada yang mentongkrongi tukang parkir. Modalnya pakai jaket orange dan sempritan. Mereka beroperasi bahkan tanpa tiket parkir sekalipun. Ini yang lebih aneh lagi, orang mengambil duit anjungan tunai mandiri (ATM) yang sembari kita ambil duit cuma butuh waktu 5 menit dan bisa memelototi kendaraan kita tanpa perlu dijaga, juga dipajaki, istilah kawan saya. Ada seorang mahasiswa bercerita, dia mencek kiriman uang ke ATM. Uang belum terkirim, dia "dipajaki"Rp 1000 pula.
Teman lain juga bercerita, kasusnya di ATM juga. Dia mengambil uang transferan gaji. Eh ternyata belum masuk. Uang di dompet tinggal recehan jumlahnya tak sampai Rp 500, karena itu yang dia punya. Begitu uang diberikan, si tukang parkir membuang uang itu ke jalan. Hampir menangis dia.
Padahal si tukang parkir tak memberikan sesobek kertas apapun sebagai tanda karcis parkir.
Cerita lain tentang teman saya. Dia seorang wartawan. Waduh...tiap kali kami liputan bersama hampir dipastikan dia akan ribut dengan tukang parkir. Saya yang bersamanya sampai memerah. Tapi dia jelas tidak salah. Tiap kali dia dipungut uang parkir, maka dia meminta karcis parkir yang benar-benar baru. Si tukang parkir marah-marah. "Tidak ada karcis, tidak ada uang,"ujarnya. Dan dia tega tak mengeluarkan sesenpun uang jika si tukang parkir tak memberikan karcis parkir. Itulah yang kadangkala bikin saya miris. Orang benar minoritas, bisa malah salah atau dipersalahkan hanya gara-gara berani melawan. Sementara kebanyakan orang memilih jalan yang aman-aman saja. Males ribut, males malu. Berdasarkan pengalaman saya, si tukang parkir kebanyakan bermulut pedas jika kita menuntut karcis parkir yang menjadi hak kita.
Jika saya liputan, dalam sehari bisa mendatangi banyak lokasi. Untuk makan saja, tiga tempat, itu berarti Rp 3000. Untuk lokasi liputan atau ada urusan ini itu, bisa Rp 3000-Rp 5000. Itu rutin. Jadi dalam sehari, saya sudah biasa mengeluarkan uang parkir Rp 8000. Jika dikalikan 30 hari saja, seharusnya saya sudah bisa memberikan pajak ke Yogyakarta hampir Rp 300.000. Nah, kalikan saja dengan jumlah penduduk di Yogyakarta untuk menghabiskan uang parkir. Tapi yang bikin saya heran, biaya retribusi parkir di semua kabupaten/kota ini kok ya nggak "sepiro" ya? Itu uang pajak lari kemana? Catatan, pengalaman ini tentu terlalu signifikan bagi warga yang tidak pernah mobile di rumah. Kalau cuma nongkrong di rumah, mana mungkin dia mengeluarkan uang parkir, bukan?
Nah, kecurangan-kecurangan kecil yang terjadi di depan mata ini kadang-kadang membuat saya mangkel. Saya dulu memilih perang urat syaraf untuk mendapatkan karcis parkir. "Enak saja masuk kantong pribadi, mending aku ribut biar bermanfaat untuk negara," begitu pikir saya. Tapi kok ya lama-lama menghabiskan energi ya. Saya pun punya ide. Setiap saya memarkir kendaraan, saya terlebih dulu minta dengan sopan. "Pak, saya minta karcis parkirnya ya untuk laporan ke kantor." Wah manjur. Si tukang parkir menyambut dengan senyuman. Saya sebenarnya dag dig dug, awalnya. Jangan-jangan diomeli seperti yang sudah-sudah.
Karena mujarab, akhirnya trik ini terus saya gunakan ke tukang parkir mana saja. Berbohong sih. Tapi mending bohong apa perang urat syaraf? Saya memilih bohong saja, daripada capek-capek cekcok cuma gara-gara uang Rp 1000. Hati juga lega bisa ikut berkontribusi meski sedikit membayar pajak retribusi ke pemerintah. Tapi ngomong-ngomong tiba-tiba saya kepikiran, kalau karcis parkir itu dipalsukan, bukannya nggak ada efeknya? Haduhhhhh...Ya sudahlah.
Terakhir, saya cuma berharap melalui blog ini, mbok ya, parkir di ATM dan gang-gang mencit di Yogyakarta itu ditertibkan. "Itu sudah keterlaluan,"kata teman saya seorang warga negara asing. Saya jelas setuju. Buat saya, tukang parkir bertebaran ke seluruh penjuru itu bikin image jelek pemerintah. Rakyatnya kapiran banget sih. Teman saya yang tinggal di Aceh bercerita, di daerah itu nyaris tidak ada tukang parkirnya. "Mereka gengsi terima uang Rp 1000 atau Rp 2000," katanya. Kota-kota lain yang pernah saya jelajahi juga hanya memberlakukan parkir di jalan-jalan protokol. Rumah makan kecuali yang terkenal hampir zero dari tukang parkir. ATM, gang-gang mencit hampir tidak ada tukang parkirnya. Kecuali ya kalau Yogyakarta bersedia mendapat sebutan kota tukang parkir. Mau?
Yogyakarta, 22 Februari 2012
Pukul 19.03